Sayyid Abdullah Al Haddad dikenal secara cukup meluas di Indonesia. Jika anda pernah mengenal sebuah amalan yang bernama ratib Al Haddad, maka yang menulis ratib ini adalah ulama yang berasal dari Hadramaut ini. Pada kesempatan ini akan dibicarakan tentang riwayat singkatnya.
Riwayat Singkat Sayyid Abdullah Al-Haddad
Al imam al-'allamah al-Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad Al-Alawi Al-Husaini atau yang lebih terkenal dengan Habib Abdullah Al-Haddad, dilahirkan di Subair di pinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Kamis, 5 Safar tahun 1044 H. Dia dibesarkan di kota Tarim yang terkenal pada masa itu sebagai pusat kaum 'Aawiyyin, sebutan bagi keturunan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Leluhur mereka pertama yang hijrah ke Hadramaut ialah Al imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja'far al-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhum.
Pada tahun 317 H, Ahmad Al Muhajir meninggalkan kota Basrah di Irak kemudian menetap di Hadramaut bersama 70 orang keluarga dan pengikutnya. Sejak itu berkembanglah keturunannya sehingga menjadi kabilah terbesar di sana banyak diantaranya menjadi tokoh-tokoh ulama yang terkemuka. Menurut taksiran Saleh bin Hamid Al Alawi Al-Hadrami, jumlah mereka pada tahun 1366 hijrah tidak kurang dari 70.000 jiwa terdiri atas kurang lebih 200 marga. Dari salah satu diantara marga-marga itulah yakni marga Al Haddad, Habib Abdullah ini berasal.
Dia dibesarkan di bawah pengawasan ketat ayahandanya, Sayyid Alwi bin Muhammad Al-Haddad, terutama setelah pada usia 4 tahun, kedua matanya menjadi buta akibat penyakit cacar. Agaknya musibah ini justru menjadi salah satu penyebab keberhasilannya kemudian dalam menuntut ilmu yang luas. Berkat perhatian khusus dan kasih sayang yang dicurahkan ayahandanya kepadanya, melebihi saudara-saudaranya yang lain, ditambah dengan bakat dan kecerdasan serta kecemerlangan otaknya yang melampaui rata-rata anak-anak yang sebaya dengannya. Habib Abdullah Al Haddad tumbuh sebagai pelajar yang dikagumi oleh setiap orang yang mengenalnya. Allah subhanahu wa ta'ala telah menggantikan penglihatan lahirnya dengan penglihatan batinnya di samping kemampuan menghafal yang kuat. Dalam usianya yang sangat dini, ia berhasil menghafal seluruh al-Quranul Karim. Juga mempelajari dan menguasai buku-buku karangan Al Ghazali yang memang sangat digemari di kalangan masyarakat di sana. Pengaruh buku-buku inilah yang membawanya ke lingkungan hidup yang didominasi warna kesufian yang kuat. Kecenderungan ini, pada mulanya tidak berkenan di hati ayahnya, yang kemudian mengarahkannya akan mempelajari ilmu-ilmu syariat sebelum , apa yang oleh kalangan sufi disebut, ilmu ilmu hakikat.
Maka mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqih, tafsir dan sebagainya di bawah bimbingan sejumlah guru besar di zamannya. Mereka itu, antara lain, Al-'allamah Al-Sayyid Agil bin Abdurrahman Al-Sagaf, Al-'allamah Sahal bin Ahmad Bahasan, Al-'allamah Abdurrahman bin Said Aidit, Al-'allamah Umar bin Abdurrahman al-Attas dan lain-lain. Menurut keterangan Habib Abdullah Al- Haddad sendiri, dalam kitab kumpulan ucapan-ucapannya, berjudul Tatsbit al-Fuad, ia pernah berguru kepada tidak kurang dari seratus orang alim.
Pada masa mudanya itu seperti yang diceritakan orang-orang yang mengenalnya, ia lebih cenderung menjauhkan diri dari cara hidup para remaja seusianya. Pada waktu-waktu tertentu ia sering menyendiri di tempat-tempat sunyi, di lembah-lembah dan bukit-bukit sekitar kota Tarim untuk bertafakur dan beribadat titik namun kebiasaannya ini tidak mengurangi ketekunannya dalam menuntut ilmu, dari masjid yang satu ke masjid lainnya, dari kota yang satu ke kota yang lainnya. Mendengar dan menimba ilmu dari guru-guru yang masing-masing memiliki kekhususan di bidangnya. Di sela-sela itu, tak kurang pula ketekunan dalam beribadat titik setiap hari, selepas mengikuti pelajaran, ia bersalat sunnah di masjid tidak kurang dari 100 bahkan 200 rakaat seharinya. Adalah pemandangan yang biasa bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antara Tarim dan Seiwun menyaksikan seorang pemuda yang buta berjalan sendirian, di malam-malam yang sepi, untuk berziarah ke makam Al imam Ahmad Al Muhajir di desa Husaisah. Selesai berziarah, ia menimba air untuk mengisi kolam-kolam di masjid yang berada dekat dengan makam itu. setelah itu, ia pulang ke Tarim dengan hati yang puas dan jiwa yang telah dipenuhi bekal rohani. Selain makam tersebut, ia juga sering berziarah ke makam Al-imam Muhammad bin Ali al-fatih Al-Muqaddam serta tokoh-tokoh besar lainnya termasuk pula ziarah ke makam Nab Hud alaihissalam yang merupakan tradisi di Hadramaut pada setiap bulan sya'ban. Dengan ziarah seperti itu, jiwanya merasakan ketentraman dan memperoleh bekal rohani yang diperlukan dalam menempa diri dan melawan hawa nafsu.
Dalam pada itu, ia tidak pernah beristirahat dalam bersuluk demi pendekatan diri kepada Allah. Sebab, begitulah seharusnya yang dilakukan oleh seorang yang bersuluk. Seperti yang ditulisnya kemudian dalam salah satu suratnya: "suluk ialah berjalannya hati menuju pelurusan dan penerapan akhlak keimanan, serta pentahkikan peringkat-peringkat keyakinan dan segala yang berkaitan dengannya. Perjalanan hati itu haruslah dengan mendaki dari suatu makam yang telah dicapai ke arah makam lainnya yang lebih tinggi terus-menerus tanpa henti dari sejak awal sampai akhir. Itulah perjalanan batin di atas lintasan batin pula'.
Akhirnya, perjuangan tak kenal lelah yang dilakukannya selama puluhan tahun dalam menuntut ilmu dan menyucikan jiwa dari segala perilaku tercela, seraya mengisinya dengan akhlak Nabawiyah, telah mengantarkannya ke puncak kesempurnaan insan. Sehingga berhak ia memperoleh sebutan sebagai mujtahid mutlak dalam ilmu syariat dan al-quthb Al-ghouts dalam ilmu hakikat. Dan jadilah ia panutan kaum yang bertakwa. Teladan bagi berjalan lurus dan berhati tulus. Sumber ilmu bagi yang ingin meraihnya, serta rahmat bagi siapa saja yang mendambakannya.
Murid-muridnya berdatangan dari segenap pelosok. Banyak pula dari luar daerah Hadramaut yang mendengar tentangnya. Dan ketika pada tahun 1080 hijrah ia berangkat menuju al- Haramaini untuk menunaikan ibadah haji. Banyak diantara tokoh-tokoh ulama dan wali di sana yang meminta ijazah darinya sebagai pengakuan atas kedudukan yang tinggi walaupun ia pada mulanya bermaksud memintanya dari mereka.
Dengan kesibukan yang terus-menerus Al Habib Abdullah Al Haddad melewati tahun demi tahun dalam usianya yang penuh berkah dan kebaikan, jihad dan mujahadah, sampai saatnya ia memenuhi panggilan Tuhannya. Dan wafatlah ia dengan tenang pada malam Selasa, 7 dzulqoidah 1132 hijrah dalam usia 88 tahun. Ia dimakamkan di Zambal, tempat pemakaman keluarga dan leluhurnya di pinggiran kota Tarim. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melipatgandakan pahala baginya. Demikian pula atas kita semua bersamanya. Amin.
Sumber : Jurnal al-Hikmah, edisi 10, Juli-September 1993.
0 comments:
Posting Komentar