/>https://maswashliyah.blogspot.com 2018 ~ MAS ALWASHLIYAH DESA PAKAM

Translate

PUISI OLEH MUHAMMAD RIFAL AZHARI

MADRASAH ALIYAH ALWASHLIYAH DESA PAKAM MENERIMA SISWA BARU TAHUN PELAJARAN 2024/2025

Jumat, 30 November 2018

MERIAH ; HUT ALWASHLIYAH KE 88 DI MAS ALWASHLIYAH DESA PAKAM



 
Peringatan Hari Lahir (Harlah) Al washliyah ke- 88 dengan tema "Hiduplah Alwashliyah Zaman Berzaman" dilaksanakan di halaman sekolah Perguruan Al-Jamiyatul Washliyah Desa Pakam Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara Sumatera Utara Kamis 29/11/2018. Pelaksanaan ini diprakarsai oleh Keluarga Besar MAS Alwashliyah Desa Pakam.
Hadir Pimpinan Cabang (PC) Al-Washliyah Kecamatan Medang Deras Ustadz Al asari S.Ag. M.Si, Ikatan Pelajar Al-Washliyah Batu Bara, Pj Kades Pakam Sarifudin, Kasek Perguruan Al-Washliyah se-Kecamatan Medang Deras, Formis Batu Bara, Masyarakat setempat ratusan pelajar Alwashliyah se-Kecamatan Medang Deras.
Pada sambutan Ketua Panitia kegiatan Harlah Al-Washliyah Ustadz Sahruman S.PdI mengajak para pelajar terus bersemangat mendalami ilmu agama dengan mengikuti pelatihan yang diadakan disekolah masing masing.
Pada kesempatan itu Pj Kepala Desa Pakam Sarifudin  mengucapkan selamat HUT Al Washliyah ke-88 dan mengharapkan para Santri dapat
lebih tekun mengikuti pelajaran yang diberikan para guru.
Selain itu beliau meminta supaya dapat meningkatkan pelajaran agama yang mana dengan ilmu agama maka Bangsa dan Negara akan kuat dan kokoh.
Beliau juga meminta kepada para santri tidak terlibat dengan pergaulan bebas diantaranya menghindari narkoba dan kejahatan lainnya " saya harap sekolah ini dapat meningkatkan extrakurikuler gunanya supaya para Siswa/i tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas" pintanya.
Ketua PC Al Wasliyah Kecamatan Medang Deras Ustadz Al asari S.Ag. Msi memberikan apresiasi kepada Panitia penyelenggara dan pengurus Cabang Al Washliyah yang  telah bersusah payah mensukseskan acara tersebut.
Momentum HUT Alwashliyah adalah sebagai momentum untuk meningkatkan dan menciptakan generasi Bangsa yang mampu memberikan kontribusi di-Masyarakat.
Alwashliyah lahir dari proses yang diprakarsai oleh tuan guru kita dan menjadikan Ormas Al Washliyah menjadi organisasi  terbesar di Indonesia.
Lembaga Perguruan Aljamiatul Washliyah tidak akan berkembang jika Ikatan Pelajar Alwashliyah tidak menerapkan pengkaderan yang mana dikatakan bapak pendiri "besar besarkanlah Al Washliyah tapi jangan mencari makan di Al Washliyah, Besar Besarkanlah Alwashliyah karena besarnya Alwashliyah hidup menjadi berkah".
 
"Selamat HUT Alwashliyah semoga Al Washliyah tetap jaya hiduplah Alwasliyah dari zaman ke zaman dan selamat hari guru dan semoga para guru dapat lebih istiqomah menjalankan Tufoksi....takbir" tutupnya.
Srmentara Kasek Madrasah Aliyah Pakam Buya Jafar S.Ag dalam sambutan mengatakan
Pendiri Al Washliyah mempunyai cita cita dan Al Washliyah baik kecamatan, Daerah dari tingkat Nasional dan Internasional telah banyak menelurkan kader kader yang siap pakai.
Disamping itu, buya Jafar S.Ag mengucapkan Alhamdulilah karena Alwashliyah secara kuantitas telah mencapai tingkat yang memuaskan namun secara kwalitas beliau berharap kepada tenaga pendidik terutama guru disekolah ini  dapat lebih baik lagi karena mendidik adalah sifat terpuji dan ini perlu diinternalisasikan dan para kader Alwashliyah janganlah hanya mengharapkan imbalan semata namun pengabdian itu utamanya mencari ridho ALLAH dan tempat pengabdian.
Selain itu buya Jafar mengharapkan kepada seluruh siswa/i untuk dapat meningkatkan disiplin dan mendalami ilmu yang diajarkan.
" Semoga Alwashliyah hidup dari zaman ke zaman dan semoga menjadi guru sejati,marilah kita raih keberkahan mulai hari ini dan masa depan" pungkasnya.
 
Perayaan Harlah hari ini Perguruan Al-washliyah Pakam mengadakan perlombaan antar sekolah Kecamatan Medang Deras mulai dari TK/PAUD, SD, SMP/M.Ts,dan SLTA/Aliyah se-Kecamatan Medang Deras diantaranya MTQ, Tahfiz Qur'an, Sholat Jenazah, Cerdas Cermat, Kaligrafi, Mewarnai Logo Al-Washliyah dan Paduan Suara.
Acara diisi dengan tari tarian Melayu dan pada akhir acara para pelajar serta undangan dihibur dengan menampilkan pencak silat yang ditampilkan para Siswa/i dari sekolah tersebut

Rabu, 21 November 2018

METODE OTENTIFIKASI HADIS M. NASHIRUDDIN AL-ABANI


OLEH : AHMAD TAHER
(MAHASISWA IAT - FUSI - IAINSU)
BAB l
PENDAHULUAN

Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam agama Islam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah bersabda agar kaum Muslimin senantiasa berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah (hadis) sebagai bekal untuk keselamatan dunia dan akhirat. Berawal dari sabda Nabi tersebut,  para Sahabat dan generasi setelahnya senantiasa mencurahkan perhatiannya dalam menyampaikan  hadis-hadis Nabi kepada generasi di bawahnya.
Pada mulanya, periwayatan hadis hanya dilakukan melalui lisan saja, mengingat Rasulullah pernah  melarang para Sahabat (yang tidak mendapatkan izin Nabi) untuk menulis apa saja yang datang dari beliau selain Al-Qur’an karena ditakutkan  percampuran antara Al-Qur’an dan Hadis Nabi.  Inilah sebabnya penulisan (pembukuan) hadis belum terlaksana hingga abad ke-2 H.
Mengingat jarak masa antara Nabi dan masa pembukuan Hadis yang cukup jauh, ternyata ada bebarapa orang atau beberapa kaum yang dengan sengaja meriwayatkan hadis palsu dan mengatasnamakannya sebagai hadis Nabi SAW.  Berawal dari fakta tersebut, muncullah beberapa pengkaji/kritikus hadis dari zaman  salaf  hingga sekarang ini.
Salah satu ulama yang mencurahkan perhatiannya dalam pengkajian kritik atau otentitas hadis adalah M. Nashiruddin al-Albani. Semasa hidupnya beliau telah  menulis banyak karya yang berisikan takhrij atau ta’liq terhadap kitab-kitab hadis. Bahkan kitab Shohih Bukhari yang sudah mendapat pengakuan dari banyak ulama hadis akan keshahihannya tidak luput dari kajian/kritikan al-Albani.
Melalui makalah ini, penulis tertarik untuk memaparkan metode yang digunakan al-Albani dalam mengotentifikasi hadis-hadis Nabi serta tanggapan para ulama hadis lainnya terhadap hasil  pengkajian beliau.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi M. Nashiruddin  Al-Albani
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman, Muhammad Nashiruddin bin Nuh bin Adam al-Najati al-Albani, beliau lebih dikenal dengan nama al-Albani. Al-Albani lahir pada tahun 1333 H./1914 M. di kota Ashqodar (Askodera), ibukota Albania pada masa lampau[1]. Beliau berasal dari keluarga yang sederhana dan religius. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa ayahnya adalah seorang ulama besar dalam madzhab Hanafi dan menjadi rujukan masyarakat tentang berbagai permasalahan agama. Tidaklah  mengherankan jika al-Albani nantinya menjadi seorang tokoh agama khususnya dalam bidang hadis.[2]
Pada masa kecilnya, Raja Albania pada saat itu adalah  Ahmad Zagho (Zugu), seorang raja yang berpaham sekuler, hingga tak jarang muncul kebijakan-kebijakan kontroversial yang sulit diterima masyarakat. Salah satu kebijakan kontroversial tersebut adalah larangan penggunaan hijab bagi wanita yang menyebabkan banyak masyarakat Albania (termasuk keluarga al-Albani) hijrah ke negara lain seperti Syiria.
Awal pendidikan agama al-Albani dimulai dengan mempelajari ilmu bahasa Arab di  Madrasah Jam’iyyah al-Is’af al-Khairiyah di kota Damaskus. Setelah beliau menyelesaikan pendidikan  ibtidaiyahnya, beliau tidak lagi belajar formal namun beliau lebih fokus belajar ilmu Fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya secara talaqqi kepada ayahnya dan  ulama-ulama yang ada di Damaskus pada saat itu. Salah satu guru beliau adalah Said al-Burhani, seorang ulama qiro’ah yang mengajarkan qiro’ah imam Hafs kepada beliau.[3]
Ketertarikan al-Albani pada kajian hadis bermula pada saat beliau berumur 20 tahun. Pada saat itu, al-Albani sangat tertarik membaca tulisan-tulisan Rasyid Ridha yang berisikan ktikan-kritikan terhadap kita Ihya ‘Ulumuddin karya imam al-Gazali, khususnya tentang aspek tasawwuf dan hadis-hadis dhaif di dalamnya. Selain itu, al-Albani juga membaca serta mentahqiq  kitab Al-Mugni ‘an Hamli  Asfar fi Takhrij Ma fi Ihya’ min al-Akhbar, karangan   al-Iraqi mengenai kitab Ihya ‘Ulumuddin yang meneliti hadis-hadis  di dalamnya lalu memisahkan antara hadis shahih dan hadis dhaif.
Menurut beberapa riwayat, al-Albani tidak pernah tercatat mendapatkan pendidikan secara formal dalam bidang hadis, melainkan hanya belajar otodidak dengan mengunjungi perpustakaan–perpustakaan di Damaskus, khususnya perpustakaan al-Zahiriyah[4]. Di perpustakaan tersebut, al-Albani banyak menghabiskan waktu kesehariannya untuk membaca kitab-kitab agama khususnya bidang hadis. Waktu berkunjung perpustakaan tersebut adalah mulai pagi sampai siang (dzuhur), namun khusus al-Albani telah diizikan oleh penjaga perpustakaan membaca di sana bahkan sampai malam (isya). Hal ini dilakukan al-Albani disebabkan ekonomi yang tidak mendukung untuk membeli kitab-kitab agama yang tergolong mahal untuk yang kelas ekonominya seperti beliau. Begitulah kegiatan sehari-hari al-Albani di samping penghidupannya yang bekerja sebagai tukang reparasi jam yang ilmunya beliau warisi dari ayahnya.
Al-Albani pernah mengikuti majelis pengajian umum yang terdapat di sekitar kota Damaskus, diantara guru al-Albani adalah :
1.      Nuh Najati al-Hanafi (ayah beliau). Melalui ayahnya, al-Albani belajar al-Qur’an Tajwid, sharf, dan ilmu fiqh madzhab Hanafi
2.      Sa’id al-Burhani, seorang ulama madzhab Hanafi di Damaskus. Dengannya, al-Albani mempelajari kitab Maraq al-Falah dan kitab nahwu Sudur al-Zahab karya Ibn Hisyam, serta kitab balaghah lainnya.
3.      Muhammad Raghib al-Tabbakh. Diceritakan bahwa al-Albani mendapatkan ijazah periwayatan tanpa diminta, sebagai penghormatan atas kesungguhan al-Albani dalam menggeluti kajian hadis
4.      Ahmad ibn Muhammad Syakir, seorang ahli hadis Mesir pada zamannya. Beliau adalah murid dari Jamaluddin al-Qasimi.
Setelah sekian lama al-Albani menekuni pengkajian hadis, beliau mulai menuliskan beberapa artikel yang berisikan kritik-kritik terhadap hadis-hadis di kitab Ihya’ ‘Ulumiddin dan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dari sinilah nama al-Albani mulai dikenal bahkan sampai ke luar negeri seperti Arab Saudi, India, Maroko, dan sebagainya. Ia mulai diundang oleh lembaga-lembaga pengkajian hadis. Pada akhirnya, di tahun 1961, beliau mendapatkan gelar profesor hadis dari Islamic University of Madinah.[5]
Al-Albani pernah mengajar hadis dan kajiannya di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Di Yordania, beliau dimintakan oleh kerajaan untuk mengajar dan menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada fakultas pasca sarjana di sebuah perguruan tinggi di Yordania. Selain itu, beliau juga mengajar kajian hadis di damaskus. Banyaknya majelis yang diampu oleh al-Albani, tidak mengherankan jika muridnya juga sangat banyak, diantaranya adalah:
1.      Ihsan Ilahi Zahir, penulis kitab Bayan ‘Aqidah al-Syi’ah al-Imamiyyah
2.      Hijazi Muhammad Syarif, beliau adalah seorang pentahqiq hadis
3.      Zuhail ibn Muhammad al-Syuwais, pentahqiq kitab Haqiqah al-Shiyam karya Ibn Taimiyyah.
4.      Muhammad ‘Aid ‘Abasi, penulis kitab Bid’ah Ta’ashshub al-Madzhabi.
Semasa hidupnya, al-Albani telah menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan. Bukanlah hal yang mustahil jika akhirnya beliau menghasilkan banyak tulisan baik berupa tahqiq, ta’liq, takhrij, dan ikhtishar. Jumlah karya tulisnya menurut beberapa pendapat berkisar 117 buku, diantaranya:
1.      Silsilah al-Ahadits al-Shahihah wa Syaiun min Fiqh wa Fawa’idih
2.      Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah wa Al-Maudu’ah wa Atsaruha al-Sayyi’ fi al-Ummah
3.      Irwa’ul Ghalil
4.      Shahih wa Dhaif Jami’ al-Shaghir wa Ziyadatuh
5.      Dhaif Adab al-Mufrad
6.      Shifah Shalah al-Nabi,
7.      Muhktashar Shahih al-Bukhari
8.      Mukhtashar Shahih Muslim
9.      Dan lainnya.
Di akhir hayatnya, al-Albani menderita penyakit animea serta gangguan hati dan ginjal. Meskipun dalam keadaan terbaring ketika sakit, beliau masih menyempatkan diri untuk mengkaji hadis,[6] begitulah kesungguhan beliau dalam menekuni ilmu, khususnya dalam bidang hadis. Tepatnya pada sabtu 01 Oktober 1999M., beliau menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. al-Albani tutup usia 85 tahun dan dikebumikan di kota Oman, Yordania, tepatnya setelah isya’ pada hari wafatnya.[7]

B.     Metode Otentifikasi Hadis Al-Albani

Bila kita mencermati tulisan al-Albani dalam mengotentifikasi hadis, maka kita akan menemukan bahwa metode yang beliau pakai adalah sama dengan metode yang dipakai oleh ulama-ulama hadis lainnya, yaitu dengan: [8]
1.      menganalisa para rawi hadis dengan berpegang pada kitab-kitab tarajum (kamus-kamus biografi). Dalam  hal ini, yang paling ditekankan al-Abani adalah ketsiqohan para rawi serta kemuttasilan dalam periwayatannya.
2.      Apabila ada hadis yang shahih/hasan yang matannya sama dengan sebuah hadis yang kualitasnya dhaif, maka hadis shahih/hasan tersebut tidak bisa jadi penguat bagi status hadis yang lemah, akantetapi beliau lebih condong kepada mentakwil makna dari hadis shahih/hasan tersebut.
3.      Hadis yang sanadnya dhaif, berarti hadisnya juga dhaif, sehingga penafsiran apapun terhadap matan hadisnya tidak lagi relevan / penting bagi al-Albani

Menurut Kamaruddin Amin,  metode Al-Albani dalam mengotentifkasi hadis bukanlah suatu yang baru juga bukan inkonsisten, sebagaimana yang dilontarkan para pengkritiknya. Al-Albani tidak melenceng sedikitpun dari metode yang dipakai kesarjanaan Muslim tradisional, walau hasil dari pemikirannya berbeda dengan banyak pengkaji hadis yang turut berpartisipasi dalam mendiskusikan masalah ini.[9]
Untuk lebih lanjut, penulis akan memaparkan hasil kajian Kamaruddin Amin terhadap pendhaifan al-Albani terhadap sebuah hadis yang terdapat pada kitab Shahih Muslim :
لا تذبحوا  الا مسنة الا ان يعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن
”Jangan kalian menyembelih kuraban kecuali seekor sapi yang cukup umur, kecuali kalau sulit bagimu, maka seekor domba”.[10]
Menurut al-Albani, status hadis di atas adalah dhaif, disebabkan salah satu perawinya adalah Abu Al-Zubair dari Jabir ibn ‘Abdillah. Menurut al-Albani,  riwayat Abu Al-Zubair dari Jabir tidak bersambung dengan alasan:
1.      Para Kritikus hadis menilai Abu al-Zubair sebagai mudallis
2.      .Abu al-Zubair tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa apakah mendengar langsung hadis tersebut dari Jabir atau tidak, namun ia hanya menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut dengan lafadz ‘an (dari).
Al-Albani menjelaskan, sudah konsekuensi ulama hadis bahwa hadis yang diriwayatkan oleh seorang mudallis dengan menggunakan  lapadz ‘an (tidak menjelaskan secara eksplisit cara penerimaan hadisnya), maka hadis tersebut dianggaf dhaif atau lemah. Inilah yang menjadi alasan al-Albani dalam mendhaifkan hadis tersebut.
Al-Albani menyimpulkan bahwa kebenaran setiap hadis yang diriwayatkan oleh abu al-Zubair dari Jabir atau dari orang lainnya yang menggunakan lafadz ‘an  dan sejenisnya harus ditunda. Dengan kata lain, ketergantungan pada hadis tersebut harus ditunda sebelum cara penerimaanya jelas bahwa ia meriwayatkan hadis secara langsung.
Bila kita menelaah kitab-kitab biografi periwayat hadis,  maka kita akan menemukan bahwa sebenarnya penilain para ulama terhadap status abu al-Zuhri dalam meriwayatkan hadis terbagi dua, ada yang menganggapnya tsiqoh ada juga yang menganggapnya dhaif. Adapun ulama yang menilainya sebagai periwayat yang tsiqoh adalah Ibnu Ma’in, al-Nasa’I, Ibn al-Madini. Al-Razi bahkan menjelaskan bahwa hadis dari Abu al-Zubair bisa dijadikan sebagai hujjah. Ibn ‘Adi menganggapnya sebagai perawi terpercaya dengan alasan bahwa imam Malik telah meriwayat sejumlah hadis dari Abu al-Zubair, dan imam Malik diketahui adalah seorang yang selektif dalam meriwayatkan hadis dan tidak meriwayatkan hadis kecuali dari orang yang terpercaya.
Bila kita teliti lebih dalam, hadis di atas diriwayatkan dalam kutubus al-Sittah sebanyak 360. Pertanyaannya adalah: apakah ulama-ulama penyusun Kutub al-Sittah tidak mengetahui  status Abu al-Zubair sebagai mudallis? atau mereka mempunyai alasan penguat lainnya yang membuktikan bahwa riwayat abu al-Zubair tersebut bisa diterima.
Hadis diatas ternyata juga diriwayatkan oleh ‘Uqbah ibn ‘Amir, dan juga diriwayatkan oleh Mujasyi ibn Mas’ud yang keduanya dinilai tsiqoh (shahih) oleh para ulama hadis, termasuk al-Albani. Namun al-Albani mentakwilkan kedua hadis tersebut dengan menjelaskan bahwa kebolehan penyembelihan domba berumur satu tahun hanya berlaku khusus bagi  ‘Uqbah saja.[11]
Menurut Kamaruddin Amin, seorang sarjanawan barat bernama Motzki membahas secara rinci signifikansi terminologi periwayatan (Al-Tahamm wa al-Ada’) pada masa awal Islam. Dengan mengalisis riwayat Ibn Juraij  (W. 114M/732H). Motzki berkesipulan bahwa terminologi isnad (“samia” dan yang serupa, atau “an” dan sejenisnya) tidak digunakan secara konsisten pada masa mereka (Sahabat/Tabi’in), dengan kata lain, kata-kata tertentu digunakan secara bergantian. Tampaknya kesimpulan Motzki tentang riwayat Ibn Juraij dari ‘Atho’ juga berlaku pada kasus Abu al-Zubair – Jabir. Ini berarti, Abu al-Zubairpun mungkin menggunakan terminologi isnad secara inkonsisten.[12] Dengan demikian, terminologi-terminologi tersebut (al-Tammul wa al-Ada’ ) tidak berlaku sebagai kriteria keshahihan hadis bagi para ulama abad pertama hijriyah. Artinya,  para perawi di abad tersebut tidak secara sengaja dan tidak sadar menggunakan beragam terminologi tersebut sebagai cara menentukan tingkat keshahihan dan tidaknya sebuah hadis.


C.    Respon Ulama Hadis terhadap pemikiran Al-Albani

Semasa hidupnya, al-Albani sangatlah produktif dalam menghasilkan karya tulis. Diriwayatkan bahwa beliau telah berhasil menuliskan kurang lebih 117 tulisan. Bila kita teliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan banyak pemikiran beliau yang berseberangan dengan pemikiran para ulama lainnya, khususnya dalam kajian penetapan status hadis. Berdasarkan fakta ini, maka muncullah banyak komentar para ulama hadis yang membantah serta menolak pemikiran beliau disamping ada juga ulama yang memuji akan usahanya.
Diantara ulama yang kontra dengan pemikiran beliau adalah:
1.      Syaikh Hasan Ali al-Segaf  yang mengatakan dalam bukunya Tanaqudh al-Albani al-Wadhihah,  bahwa banyak sekali (sekitar 1.200) pemikiran al-Albani yang kontradiksi dan inkonsistensi .
2.      Abdullah al-Harari, seorang ulama hadis negara Syiria yang menjelaskan kesalahan-kesalahan al-Albani melalui bukunya yang berjudul Tabyin al-Dhalah al-Albani.
3.      Abdullah al-Ghumari, ulama hadis asal Maroko
4.      Syaikh Ramadhan al-Buthi juga mengkritik al-Albani melalui bukunya yang berjudul Al-Lamadzhabiyah Akhtar Bid’ah Tuhadiduhu al-Syari’ah al-Islamiyyah
5.      Mahmud Sa’id Mamduh  mengarang kitab al-Ta’rif bi Awham man Qassama al-Sunan ila Shahih wa Dhaif yang berisikan kritikan terhadap al-Albani ketika menshahihkan juga mendhaifkan hadis-hadis pada kitab sunan
6.      KH. Musthafa Ya’qub, guru besar Hadis serta mantan imam besar masjid al-Istiqlal, Jakarta
7.      A. Shihabuddin. Beliau mengkritik al-Albani lewat bukunya yang berjudul Membongkar Kejumudan Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahabi

Adapun  ilmuan yang memuji pemikiran al-Albani  diantaranya:
1.      Muhammad Raghib al-Tabbakh, seorang  ulama hadis  sekaligus sejarawan di kota Halab (Aleppo). Berdasarkan pengakuannya terhadap keilmuna hadis al-Albani, al-Tabbakh memberikan ijazah sekaligus sanad yang bersambung sampai imam Ahmad ibn Hanbal
2.      Zaid ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Fayyadh, mantan guru besar di Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’us al-Islamiyyah, beliau mengatakan bahwa al-Albani adalah guru besar dalam bidang hadis pada abad  ini
3.      Dr. Amin al-Mishri, mantan kajur  pascasarjana di Jam’iyah al-Islamiyyah. Beliau berkata bahwa termasuk kemalangan dunia adalah bahwa para doktor seperti beliau menjadi guru besar bidang hadis di perguruan tinggi, padahal orang seperti beliau masih layak menjadi murid al-Albani
4.      Dr. Syubhi Ash-Salah, mantan kepala bidang Hadis di Universitas Damaskus
5.      Dr. Ahmad al-Asal, kepala studi islam di Universitas Riyadh
6.      Muhammad  Thayyin Awkij, mantan kepala ilmu tafsir dan hadis di Universitas Ankara, Turki[13]
Dari sekian banyak kritikus terhadap pemikiran al-Albani,  menurut penulis , pemaparan  A . Shihabuddin  termasuk yang  cukup mengherankan. Beliau memaparkan bahwa:
1. Al-Albani sendiri secara -tidak langsung- pernah mengakui kecerobohannya dalam menilai hadis. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab Taraju’ al-Allamah al-Albani fi ma Nashsha ‘alaih Tashhihan aw Tadh’ifan. Dalam kitab ini, al-Albani mengakui keslahannya dalam menshahihkan serta mendhaifkan hadis yang berjumlah sebanyak 621 hadis
2. Al-Albani mendapatkan kritikan dari ulama yang sefaham dengannya, yaitu Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin. Dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-‘aqidah al-Wasathiyah, al-Utsaimin menjelaskan:
“Dewasa ini, ada seorang laki-laki (al-Albani) yang tidak memiliki ilmu agama sama sekali yang mengatakan bahwa adzan jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Rasul, dan kita harus membatasi pada adzan kedua saja. Kita katakan kepada laki-laki tersebut, bahwa sesungguhnya sunnah Utsman RA.  adalah sunnah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunnah Rasul. Dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan Sahabat yang lebih mengetahui dan lebih punya Ghirah terhadap agama Allah dari pada dia (al-Albani). ‘Utsman termasuk Khulaf al-Rasyidin yang memperoleh petunjuk, dan diperintahkan Rasul untuk diikuti.”[14]

BAB  III
KESIMPULAN

Muhammad Nashiruddin al-Albani ibn Nuh ibn Adam al-Najati merupakan ulama kontemporer kelahiran Albania, yaitu salah satu negara bagian barat semenanjung negara-negara balkan di eropa. Sewaktu beliau masih kecil, keluarga beliau pindah ke negeri Syiria disebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah (kerajaan) yang mengarah kepada faham sekuler, dan untuk menjaga kesucian pemahaman agama, ayahnya memutuskan untuk hijrah ke Negeri Syiria, tepatnya ke kota damaskus.
Al-Albani mulai tertarik mendalami kajian hadis ketika berumur 20 tahun. Menurut beberapa riwarat, al-Albani hanya belajar otodidak di beberapa perpustakaan yang ada di kota Damaskus,  tanpa melalui bimbingan seorang guru, kemudian hal inilah yang menjadi salah satu celah bagi pengkritiknya dalam menjatuhkan atau menyalahkan pemikiran-pemikiran beliau yang notabene berseberangan dengan pemikiran para pakar hadis lainnya.
Adapun metode otentifikasi hadis oleh al-Albani pada dasarnya tidak ada perbedaan yang siknifikan dengan pakar hadis lainnya, yaitu dengan menganalisa rentetan sanad hadis dengan berpegang kepada kitab-kitab biografi hadis. Menurutnya, hadis yang sanad/periwayatnya tidak tsiqah, maka matannya otomatis tidak perlu dikaji lagi, karna status hadis tersebut sudah otomatis menjadi dhaif. Di samping itu, al-Albani juga terkesan tidak menerima hadis yang serupa (tapi sanadnya berbeda) sebagai syahid untuk meningkatkan keabsahan hadis yang dianggap dhaif olehnya. Dengan demikian, banyak hasil tahqiqan hadis beliau yang bertentangan dengan pemikiran ahli hadis lainnya.
Pro dan kontra atas karya dan pemikiran beliau tidak pernah surut. Dari beberapa hasilpenelitian menunjukkan bahwa al-Albani tidak konsisten dalam penetapan status hadis. Oleh karena itu, hasil takhrij al-Albani sudah selayaknya dikaji ulang guna melihat metode penetapan kualitas hadis yang beliau gunakan.


DAFTAR PUSTAKA

 
Abu Bakar ,Umar. Nashiruddin al-Albani dalam Kenangan, terj. Abu Ihsan al-Maidani, (Solo: At-Tibyan , 2000).
Ibn Bamualim , Mubarak. Biografi Syaikh al-Albani; Mujaddid dan ahli Hadis Abad ini. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2002).
Al-Gharib, Abdul Basith ibn Yusuf. Koreksi Ulang Syaikh al-Albani, terj. Abd. Al-Munawwar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Al-Qusyari,, Muslim ibn Hajjaj. Al-Jami’ al-Shahih. (Dar kutub al-‘Arabiyah).
Al-Sadhan , Abdul Aziz. al-Imam al-Albani,(Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1986).
Al-Syaibani, Muhammad Ibrahim. Hayah al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanau al-‘ulama’ ‘Alaih, (Maktabah al-Saddawa , 1987).
Amin., Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009).
Audah , Athiyah. Shafahat Baidha min Hayati al-Albani, (Yaman: Dar ‘Atsar, 2001).
Nafisatulmuawwanah.blogspot.com/2015/10/normal-0-false-in-x-none-ar.html?m=1
Shihabuddin, A.  Membongkar Kejumudan menjawab Tuduhan-tuduhan Salfi Wahabi, (Jakarta: Noura Books, 2014).


[1] Muhammad Ibrahim al-Syaibani, Hayah al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanau al-‘ulama’ ‘Alaih, (Maktabah al-Saddawa , 1987), hlm. 44

[2]. Mubarak bin Bamualim, Biografi Syaikh al-Albani; Mujaddid dan ahli Hadis Abad ini. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2002), hlm. 12

[3]. Abdul Basith ibn Yusuf al-Gharib, Koreksi Ulang Syaikh al-Albani, terj. Abd. Al-Munawwar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 23
[4]. Umar Abu Bakar, Nashiruddin al-Albani dalam Kenangan, terj. Abu Ihsan al-Maidani, (Solo: At-Tibyan , 2000), hlm. 26
[5].Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 71.
,
[6] . Athiyah Audah, Shafahat Baidha min Hayati al-Albani, (Yaman: Dar ‘Atsar, 2001), hlm 93

[7]. Abdul Aziz Al-Sadhan , al-Imam al-Albani,(Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1986), hlm.292

[8].  Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 73-75
[9].  Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 73

[10]. Muslim ibn Hajjaj  al-Qusyari, Al-Jami’ al-Shahih. (Dar kutub al-‘Arabiyah), Hadis No. 1374/1955.
[11]. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 75
.
[12]  Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 78
[13]Nafisatulmuawwanah.blogspot.com/2015/10/normal-0-false-in-x-none-ar.html?m=1, diakses pada tanggal 09 Oktober 2018.
[14] A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan menjawab Tuduhan-tuduhan Salfi Wahabi, (Jakarta: Noura Books, 2014), hlm. 18, 22.