/>https://maswashliyah.blogspot.com Juni 2020 ~ MAS ALWASHLIYAH DESA PAKAM

Translate

PUISI OLEH MUHAMMAD RIFAL AZHARI

MADRASAH ALIYAH ALWASHLIYAH DESA PAKAM MENERIMA SISWA BARU TAHUN PELAJARAN 2024/2025

Minggu, 28 Juni 2020

ALIRAN TEOLOGI WAHABI



A.    Latar Belakang
Dakwah salafiyah yang dibawa oleh Muhammad  bin Abdul Wahhab adalah seruan untuk mengajak kembali kepada manhaj sahabat Rasulullah saw., yaitu dakwah yang diserukan Rasulullah saw. . dan dakwah yang diserukan para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin.
Kemunduran umat Islam menurut analisa Lothrop Soddart dalam bukunya “The New World of Islam” karena ketahayulan dan mistik yang merusak tauhid. Sedangkan menurut Hans Khong seorang orientalis berkebangsaan Jerman yang tinggal di Amerika, menegaskan bahwa sebab pokok kemunduran umat Islam ialah penyelewengan dan penyalahgunaan, formalisme kosong dan dekadensi.[1]
Umat Islam bisa meraih kembali kejayaan Islam yang pernah gemilang di masa Rasulullah saw., khulafa ar-rasyidin, sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin, hanya dengan kembali kepada metode dakwah yang mereka tempuh, yaitu dengan dakwah salafiyah. Inti dakwah salafiyah adalah memurnikan ajaran Islam dari khurafat, bidah, penyimpangan, formalitas kosong dan dekadensi moral. Sehingga peradaban madani dan umat Islam sebagai rahmatan lil alamin akan kembali terwujud.

B.     Latar Historis Munculnya
1.      Profil Syaikh Muhammad  Bin Abdul Wahhab.
Nama lengkapnya adalah Muhammad  bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad  bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad  at-Tamimi al-Hanbali an-Najd i. Ia lahir di kota Uyainah, kurang lebih 70 km arah barat laut kota Riyadh, yang terletak di wilayah Najd  tahun 1115 Hijriah ( 1701 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Ia wafat dengan umur sekitar 91 tahun, dengan meninggalkan 18 anak dari beberapa istri.[2]
Sejak kecilnya, Syaikh Muhammad  memiliki minat yang sangat besar terhadap buku-buku tafsir, Hadis, dan prinsip-prinsip keimanan (akidah). Mulanya Muhammad  bin Abdul Wahhab hidup di lingkungan Sunni pengikut mazhab Hanbali, dia mempelajari fikih mazhab Hanbali dari ayahnya yang merupakan seorang ulama mazhab Hanbali.  Ayahnya Syaikh Abdul Wahhab juga seorang qadhi (hakim). Selain itu dia mempelajari dari beberapa gurunya. Dia pernah mengaji kepada beberapa guru agama Mekah dan Madinah, di antaranya Syaikh Muhammad  Hayat as-Sindi, Syaikh Muhammad  ibnu Sulaiman al-Kurdi, dan lainnya.
Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab merupakan sosok yang sangat mencintai amar ma’ruf nahi munkar dan sabar menghadapi resikonya. Sejak muda beliau mulai berdakwah di Bashrah, namun setelah ditindas dengan teror dan ancaman, maka beliau kembali ke Najd  dan tinggal di daerah Huraimila. Setelah ayahnya menjadi hakim di Uyainah beliau hijrah ke daerah tersebut dan melanjutkan misi dakwahnya. Dakwah beliau di Uyainah kurang kondusif, karena amir Usman bin Hamad bin Muammar mengusirnya bahkan merencanakan ingin membunuhnya. Kemudian pada tahun 1157 H beliau hijrah dari Uyainah dengan berjalan kaki dalam cuaca yang cukup panas hingga sampai di Dir’iyah. Akhirnya bersama amir Muhammad  bin Su’ud di Dir’iyah, berdasarkan manhaj Salafus Shalih beliau memurnikan tauhid dari syirik dan khurafat, dan menumpas berbagai kesesatan, kebidahan dan kemaksiatan hingga menyebar ke seantero dunia.[3]
Sejak perkembangan usianya yang masih remaja, Syaikh Muhammad  memandang kegiatan-kegiatan ibadah keagamaan penduduk Najd  sebagai hal yang menyimpang. Usai melaksanakan haji ke Baitullah dan melakukan ritus-ritusnya, dia melanjutkan pergi ke Madinah dimana Syaikh Muhammad  menentang praktik kaum muslim yang bertawasul kepada Rasulullah saw.
2.      Keadaan Kota Najd
Sebelum dakwah Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab, Najd  dalam keadaan yang tidak diridoi oleh kaum mukmin. Syirik yang besar (as-syirku al-akbar) telah muncul di Najd  dan berkembang pesat, hingga orang-orang meyembah kubah-kubah, pepohonan, bebatuan dan lain sebagainya. Di Najd  sihir dan dukun sangat dikenal, orang-orang begitu percaya kepada dua hal ini, sehingga mereka meminta pertolongan kepada dukun, kecuali hanya segelintir orang yang dikehendaki Allah Swt. Mayoritas manusia mencintai dunia dan sedikit yang ingat kepada Allah Swt. dan menolong agamanya. Hal demikian ini juga terjadi di dua kota suci, Mekkah dan Madinah, juga Yaman, ditambah lagi dengan membangun kubah di atas kuburan, berdoa kepada para wali dan meminta tolong kepada mereka.[4]

3.      Gerakan Wahhabi
Hasil lawatan Muhammad  bin Abdul Wahhab ke beberapa wilayah kekuasaan Islam sebagaimana disebutkan sebelumnya, tampaknya merupakan indikator mengapa ia mendirikan suatu gerakan, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Gerakan Wahhabi”. Di setiap negeri Islam yang dikunjunginya, ia melihat berbagai macam tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk ritual-keagamaan. Ia juga menyaksikan betapa besarnya pengaruh ahli-ahli tarekat di masa hidupnya sehingga kuburan-kuburan syaikh tarekat yang bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-kampung, ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin meminta berbagai macam pertolongan. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat para syaikh atau wali tarekat yang dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan untuk memperoleh rahmat-Nya.
Syaikh Muhammad  berdakwah dan berjihad dengan lisan, pena dan pedang selama 48 tahun, dari mulai tahun 1115 H sampai hingga akhir hayat beliau tahun 1206 H. Beliau menaklukkan Najd  dan sekitarnya hingga Mekkah dan Madinah. Pasukan Dinasti Saudi masuk dengan aman dan menghancurkan bangunan dan kubah yang ada di kuburan sekitar Mekkah dan Madinah.[5]

4.      Asal Mula Penamaan Wahhabi
Gelar Wahhabi sering digunakan kaum zindiq dan ahli bidah untuk menyudutkan dakwah yang dipelopori Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang bertujuan memurnikan tauhid, membasmi syirik, dan menghidupkan sunnah serta memadamkan bid’ah.
Mereka menyimpulkan bahwa gerakan diatas merupakan tema utama dakwah Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab. Disamping itu, mereka juga masih membumbui dengan berbagai penyedap tuduhan kepada mereka yang dituduh Wahhabi. Yang antara lain; mereka membenci salawat Nabi, anti ziarah kubur, mengingkari karomah, menentang tradisi dan budaya, serampangan dalam mengambil dalil, terkesan mendikte Allah dan lain sebagainya.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebutan gelar Wahhabi berasal dari pihak yang membenci dan memusuhi Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab, bukan nama resmi yang ditetapkan oleh para pengikut Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab. Buktinya, mereka tidak pernah menyebut diri mereka, baik secara eksplisit maupun implisit sebagai golongan Wahhabi dalam karya-karya dan majlis mereka.
Target utama musuh-musuh Islam memberi gelar Wahhabi pada Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab adalah untuk menakut-nakuti agar umat Islam secara umum tidak terpengaruh dengan dakwah tauhid dan sunnah yang didakwahkan olehnya. Dengan diberi gelar tersebut, para tokoh ahli bidah dan zindiq dengan mudah memojokkan para dai yang mengajak kepada tauhid dan pemurnian Islam.
Kalau memang begitu, gelar Wahhabi hanyalah sebuah gerkan pembusukan terhadap dakwah dan karakter Syaikh Muhammad. Sehingga siapapun bisa mengetahui dengan mudah kekeliriuan mendasar dalam pemberian gelar Wahhabi untuk pengikut Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab.[6]

C.    Tokoh-Tokoh Wahhabi
            Di antara tokoh-tokoh Wahabi adalah sebagai berikut:
1.      Muhammad  bin Abdul Wahhab al-Najd i (1115-1206)
2.      Ibn Baz
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Baz al-Najdi. Termasuk mufti Wahhabi sebelumnya dan pemimpin lembaga penelitian, dakwah, dan bimbingan Wahhabi. Dia memiliki sejumlah tulisan, antara lain al-Tahdzir min al-Bida’.
3.      Ibn Utsaimin
Nama lengkapnya Muhammad  bin Shalah al-Utsaimin. Memiliki sejumlah buku, antara lain al-Qawa’id  al-Mustla fi shifat Allahi wa Asma’ihi al-Husna. Lahir pada malam 27 Ramadan tahun 1347 H di kota Unaizah, kerajaan Arab Saudi. Meninggal sesaat sebelum waktu magrib pada hari rabu 15 syawal pada tahun 1421 H di kota Jeddah kerajaan Arab Saudi. Mempunyai 5 orang anak laki-laki yaitu: Abdullah, Abdur Rahman, Ibrahim, Abdul Ajiz dan Abdur Rahim.[7]
4.      Shalih bin Fauzan
Nama lengkapnya adalah Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, seorang ulama besar di lembaga penelitian, fatwa, dan bimbingan. Dia menulis bimbingan terhadap buku Wahhabi karya al-Buthi.

D.    Ajaran Dakwah Muhammad  bin Abdul Wahhab[8]
Ajaran atau pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dapat diringkas dalam beberapa poin, yaitu:
1.      Tauhid
Muhammad bin Abdul Wahhab mendefinisikannya dengan mengatakan bahwa tauhid itu adalah mengesakan Allah Swt.  dalam beribadah, dan itu merupakan agama para rasul yang Allah Swt. utus kepada hamba-hambanya. Yang kemudian tauhid itu, oleh beliau dibagi menjadi tiga:
Pertama; Tauhid Rububiyyah: yaitu mengesakan Allah Swt. dalam perbuatannya, seperti penciptaan, menghidupkan, mematikan, rizki dan lain sebagainya. Tauhid jenis inilah yang diyakini oleh orang-orang kafir di zaman Rasulullah Saw. dan belum bisa memasukkan mereka ke dalam agama Islam dan Rasulullah saw.  memerangi mereka. Dalil tentang ini adalah:
قل من يرزقكم من السماء والأرض أمن يملك السمع والأبصار و من يخرج الحي من الميت و يخرج الميت من الحي و من يدبر الأمر فسيقولون الله فقل أفلا تتقون. (يونس: 37)
            Kedua; Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah Swt. dalam segala perbuatan hamba dalam hal ibadah dan syariah, seperi doa, nazar, minta pertolongan, tawakkal dan lain-lain. Hal inilah yang diingkari orang kafir dan menyebabkan permusuhan mereka dengan para rasul semenjak Nabi Nuh as.
            Ketiga; Tauhid Asma’ wa as-Sifat, yaitu beriman kepada segala yang ada dalam Alquran  dan Hadis  shahih terkait nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Menyipati Allah Swt. dengan itu dan tidak berlebihan di dalamnya, seperti menetapkan adanya bentuk, penyerupaan dan penyelewengan, disertai keyakinan bahwa Allah Swt. tidak ada kesamaan dengan makhluknya.

2.      Syafaat
Di antara syafaat yang ditetapkan oleh Muhammad  bin Abdul Wahhab dan pengikutnya adalah syafaat dari para Nabi, malaikat, para wali, anak-anak karena ada dasarnya dari Alquran  dan Hadis . Semua syafaat ini tidak ada kecuali setelah mendapat ijin dan ridho dari Allah Swt., maka tidak boleh memintanya kepada mereka, berdoa kepada mereka agar diberi syafaat, akan tetapi mintalah kepada Allah Swt.
Ulama Wahhabi menetapkan bahwa meminta syafaat kepada orang meninggal adalah syirik walau kepada Rasulullah sakalipun, meski dengan alasan mereka punya kedudukan dan kemuliaan. Yang lebih baik dilakukan adalah mendoakan mereka. Adapun orang hidup, maka boleh meminta tolong kedanya sesuai kemampuannya, seperti meminta kepada salah satu orang salih untuk mendokan kebaikan.

3.      Ziarah kubur dan membuat bangunan di atasnya
Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwasanya sebab kafirnya manusia pada mulanya, pada masa Nabi Nuh as., adalah berlebihan dalam memuliakan kuburan para wali. Ia juga menjelaskan bahwa yang dilakukan kebanyakan orang terhadap kuburan orang soleh dan para wali serta yang lainnya meniadakan Tauhid Uluhiyah secara total. Sebab mereka mempersembahkan untuk penghuni kuburan-kuburan itu segala sesuatu yang yang tidak dibolehkan kecuali hanya kepada Allah Swt. seperti sembelihan, nazar, doa, minta pertolongan dan lain sebagainya. Dan itu sama halnya dengan yang dilakukan orang kafir terhadap berhala mereka. Orang-orang muysrik percaya bahwa Allah itu pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, juga maha menjaga. Akan tetapi mereka mempersembahkan hal-hal di atas kepada berhala mereka dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini pulalah yang dianggap oleh manusia terhadap orang-orang soleh di kalangan mereka. Oleh sebab itu menurut pandangan Muhammad  bin Abdul Wahhab, masyarakat itu telah syirik seperti orang-orang musyrik pada masa Rasulullah Saw.
Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab tidak melarang ziarah kubur secara mutlak, akan tetapi ia membagi ziarah kubur kepada 3 jenis, yaitu: syar’i, bidah, dan sirik. Syar’i adalah yang bertujuan untuk mengingatkan peziarah kepada kematian serta mendoakan si mayit agar mendapat ampunan, dan membacakan doa yang ma’sur. Bidah adalah yang bertujuan untuk berdoa kepada Allah dan meminta pertolonganNya di kuburan tersebut. Syirik adalah memalingkan satu amalan kepada kuburan yang seharusnya dihadapkan kepada Allah, seperti agar mendapat kebaikan dan terhindar mara bahaya, untuk kesembuhan orang sakit. Disertai dengan memberikan sembelihan, nazar atau tawaf dikuburan tersebut. Maka yang dilakukan Muhmmad bin Abdul Wahhab adalah memalingkan manusia dari ziarah kubur bidah dan syirik kepada ziarah syar’i.

4.      Bidah-bidah
Menurut ulama Wahhabi, bidah adalah segala sesuatu yang tidak ada dasarnya di dalam Alquran  dan Hadis, dan tidak ada dalil yang disandarkan dari petunjuk Nabi Saw. juga petunjuk dari sahabatnya. Adapun hal-hal yang terkait dengan kebiasaan, sepeti makan, minum, pakain, kendaraan dan sebagainya, tidak termasuk dalam pembahasan ini.
Di antara pembahasan bidah yang paling penting dalam paham Wahhabi adalah sebagai berikut:
a.       Acara peringatan maulid Nabi
Ulama Wahhabi berpendapat bahwa acara memperingati maulid Nabi adalah bidah dalam agama,  karena tidak pernah dilakukan oleh umat terdahulu, terutama pada masa sahabat. Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Nabi, dan jika acara ini baik maka mereka akan melakukannya.
Termasuk bidah membacakan kasidah-kasidah dalam acara maulid Nabi dan nyanyi-nyaian yang dicampur dengan salawat kepada Rasul, zikir-zikir dan bacaan-bacaan lainnya, sementara kebanyakan orang beranggapan bahwa hal itu termasuk amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, dan itu merupakan sunnah yang ditetapkan.
Sebelum ulama Wahhabi, Syaikh Ibnu Taimiyah juga telah mengingkari acara ini, karena ia melihat adanya penyerupaan dengan orang Nasrani, yang mana mereka menjadikan hari lahirnya Almasih sebagai hari raya.

b.      Amalan para sufi
Muhammad  bin Abdul Wahhab melihat bahwa tasawuf adalah manhaj yang rusak, di dalamnya banyak bidah dan praktek-praktek yang berbeda dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Saw. baik dalam ibadah, pengasingan diri dan zikir yang menyimpang dari syariat Islam.
Pengingkaran Muhammad  bin Abdul Wahhab terhadap kegiatan sufi disebabkan karena hal itu bertentangan dengan Alquran  dan Hadis, juga praktek di masa umat terdahulu. Contohnya: cerita-cerita yang mengerikan seperti bentuk (bai’u) surga dan ruangan-ruangannya, wali dapat melintasi udara dengan kendaraan dari emas. Juga anggapan lain, seperti naiknya para wali ke langit dengan ruhnya setiap saat, ilmu mereka tentang hal gaib yang akan terjadi. Hal-hal seperti inilah yang menurut ulama Wahhabi yang akan merusak syariah Islam. Namun demikian, bukan berarti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari kemuliaan para wali.

5.      Amar makruf nahi mungkar
Ulama Wahhabi melihat bahwa amar makruf nahi mungkar adalah suatu kewajiban bagi setiap yang memiliki kemampuan. Baik dengan tangannya, lisannya, maupun hatinya, seperti yang tertera dalam Hadis  Nabi saw.

6.      Pengkafiran dan peperangan
Muhammad  bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam salah satu risalahnya bahwa ulama muslimin telah sepakat untuk mengkafirkan orang yang mempercayai sebagian ajaran Rasulullah dan mengingkari sebagian yang lain, halal darah serta hartanya. Dan memurnaikan tauhid kepada Allah Swt. merupakan hal paling utama yang dibawa oleh Rasullullah, sebab bagaimana mungkin memerangi yang tidak salat dan tidak membayar zakat, namun tidak memerangi orang yang mengingkari kemurnian tauhid kepada Allah.
            Muhammad  bin Abdul Wahhab menjawab mereka yang mengatakan bahwa orang yang
sudah mengucapkan la ilaha illa Allah maka haram mengkafirkannya, dengan menetapkan bahwa tauhid dan pengikhlasannya kepada Allah Swt. harus disertai dengan hati, lisan dan perbuatan,  jika salah satunya terlepas maka dianggap belum beragama Islam.

7.      Ijtihad dan taklid
Muhammad  bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa sebab berpalingnya umat muslim dari agama Islam yang benar adalah kesibukan mereka dengan kitab-kitab yang muncul belakangan daripada Alquran dan Hadis Nabi. Hal itu kembali kepada adanya keyakinan manusia bahwa mencapai derajat mujtahid merupakan hal yang mustahil.
Muhammad  bin Abdul Wahhab meyakini bahwa tidak ada jalan untuk memperbaiki masalah ini kecuali menghancurkan ikatan taklid dan kembali kepada menelaah Alquran dan Hadis  shahih. Terkait masalah ini, Muhammad  bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa agama orang musyrikin dibangun atas beberapa pondasi, salah satu yang paling penting adalah taklid, itulah kaidah paling besar bagi mereka, sejak dahulu hingga sekarang.
Namun demikian, Muhammad  bin Abdul Wahhab tidak menafikan taklid secara umum. Akan tetapi ia membagi taklid menjadi dua: pertama, dilarang. Kedua, boleh. Taklid yang dilarang adalah bagi mereka yang mampu mengetahui dalil dan mampu mengambil kesimpulan darinya, kecuali untuk kondisi yang dianggap darurat. Adapun orang yang tidak mampu mengetahui hal itu dalam segala urusannya, maka taklid dibolehkan.

C.    Implikasinya dalam Masyarakat Islam
Syaikh Ibnu Abdul Wahhab adalah seorang peolopor pembaharuan tulen abad modern terbesar dalam sejarah kebangkitan Islam. Dimana beliau mampu mengembalikan kemurnian Islam setelah lama tercemar dengan bidah, khurafat dan takhayul hingga kembali kepada cara beragama semula di zaman Rasulullah, para sahabat dan tabiin serta tabi’ tabiin.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab  mampu melakukan dakwah dengan lisan, tulisan dan pedang sehingga dapat mendirikan negara Wahhabiyah di timur tengah yang berdaulat dan mapan, yaitu Saudi Arabia. Pada hakikatnya arsitek dari negara tersebut adalah Syaikh mhammad dan disokong oleh Imam Muhammad  bin Su’ud dan anak cucunya. Negara ini dari mulai berdirinya hingga sekarang masih tetap konsisten menegakkan ajaran Wahhabiyah yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad  bin Abdul Wahhab.[9]
Lebih kurang sepuluh tahun terakhir ini, kita menyaksikan fenomena menarik di Sumatera Utara. Untuk kasus nasional, fenomena itu telah menunjukkan ekspresinya sejak tahun 1990. Fenomena yang dimaksud adalah semakin maraknya orang berpakaian gamis dan jubah dengan lebai atau sejenisnya dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Demikian juga dengan wanita-wanita yang menggunakan jilbab yang terjurai sampai sepertiga tubuhnya disertai pakaian yang cukup longgar dan panjang hingga mata kaki yang terkadang menggunakan cadar. Ini adalah sebuah realita unik ditengah maraknya kampanye fashion ala opened body dan hollywood style produk propaganda westernisasi. Ini tidak hanya persoalan gaya dan budaya tetapi juga merupakan problema manhaj, yakni paham yang mengharuskan umat untuk mengikut salaf ash-salih dengan mengikut Alquran  dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaf ash-shalih.[10]
Selain menerbitkan majalah, gerakan ini telah memunculkan penerbit-penerbit yang menerbitkan dan menerjemahkan buku-buku berpaham salaf ash-shalih. Lihat saja misalnya penerbit At-Tibyan, Al-‘Alaq, Al-Qowam dan lain sebgainya. Jamaah salafi juga telah meluncurkan radio dakwah seperti radio Roja di Pekanbaru.
Langkah strategis lainnya adalah munculnya pesantren-pesantren salafi di berbagai daerah di Indonesia, misalnya pesantren Ibadurrahman di Stabat, Langkat, Ma’had as-Sunnah, Sabil al-Mu’minin, ‘Ulun Nuha, dan Ma’had Abu Ubaidah di Medan, Islamic Center bin Baz dan Ma’had Syaikh Sabilurrahman as-Salafy di Bantul, Yoygakarta. Di luar dua daerah ini juga mulai bermunculan peasantren salafi.[11]

Kesimpulan
Adapun kesimpulan adalah sebagai berikut:
1.      Sejarah Munculnya Wahabi
Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam yang dipelopori oleh Muhammad  bin Abdul Wahhab bin sulaiman at-tamimi (1115-1206 H / 1703-1792 M)dari Najd , semenanjung Arrabia. Istilah Wahhabi telah dikenal semasa Ibn Abdul Wahhab, tapi bukan atas inisiatif dirinya melainkan berasal dari lawan-lawannya. Ini berarti, istilah Wahabi merupakan bagian dari rangkaian stigma terhadap gerakannya.
2.      Paham Ajaran Wahabi
Dari penjelasan dalam makalah ini dapat kita simpulkan bahwa di antara ajaran Wahhabi adalah:
Orang yang berusaha memperoleh kasih tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan orang-orang suci bukanlah orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
3.      Perayaan maulid Nabi di bulan Rabiul awwal dilarang karena termasuk bidah.
4.      Membagi tauhid menjadi tiga; ilahiyah, rububiyah dan asma wa sifat.
5.      Meminta syafaat kepada orang meninggal adalah syirik walau kepada Rasulullah saw. . sakalipun, meski dengan alasan mereka punya kedudukan dan kemuliaan. Yang lebih baik dilakukan adalah mendoakan mereka.
6.      Tasawuf adalah adalah manhaj yang rusak, di dalamnya banyak bidah dan cara-cara yang berbeda dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah saw, baik dalam ibadah-ibadah, pengasingan diri dan zikir-zikir yang menyimpang dari syariat Islam.
7.      Amar makruf nahi munkar adalah suatu kewajiban bagi setiap yang punya kemampuan.
8.      Tauhid dan memurnikannya kepada Allah Swt. . harus disertai dengan hati, lisan dan perbuatan, jika salah satunya terlepas maka dianggap belum beragama Islam.
9.      Tidak menafikan taklid secara umum, akan tetapi ia membagi taklid kepada dua: pertama, dilarang. Kedua, boleh.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin bin Syamsuddin, Zainal. Membedah Akar Fitnah Wahhabi. 2015 . (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol)
Ajiz bin Abdillah bin Baz, Abdul. Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. 1411 H. (Riyadh: al-Idarat al-Ammah)
Al-Usaimin, Muhammad bin Salih. Syarh al-Qawaid al-Mustla. 2011. (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi)
Abdullah bin Sulaiman, Muhammad. Dakwatu as-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fi al-‘Alami al-Islami
Abdul Wahid, Ramli. Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia. 2016. (Medan: IAIN Press)


[1] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol, 2015), Hal. xii
[2] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 217
[3] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 219
[4] Abdul Ajiz bin Abdillah bin Baz, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, (Riyadh: al-Idarat al-Ammah, 1411 H), Hal. 25
[5] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 228
[6] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 222
[7] Muhammad bin Salih al-Usaimin, Syarh al-Qawaid al-Mustla, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2011), Hal. 15
[8] Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman, Dakwatu as-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fi al-‘Alami al-Islami, Hal. 60-67
[9] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 251
[10] Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, (Medan: IAIN Press, 2016), Hal. 64
[11] Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, Hal. 70


DITULIS OLEH  : Ust. UTSMAN HARAHAP, Lc
Mhs.  Program Magister Ilmu Alquran dan Tafsir, FUSI UIN Sumatera Utara