This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Ilmu Alquran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Alquran. Tampilkan semua postingan

INDEPENDENSI DAN PEMISAHAN TAFSIR ALQURAN DARI KITAB-KITAB HADITS




BAB I: PENDAHULUAN
Alquran merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia. Sebagai kalamullah yang diturunkan dalam bahasa Arab, Alquran diungkapkan dengan gaya bahasa dan kosa kata yang kaya makna dan sangat indah. Ibnu Abbas (w.67 H), salah seorang sahabat dan kemenakan rasul yang cerdas dalam memahami Alquran, membagi ungkapan dan bahasa Alquran kedalam empat kategori. Pertama ada yang dipahami semua kalangan, tanpa harus berfikir secara mendalam; kedua, ada yang difahami oleh masyarakat Arab melalui bahasa yang mereka gunakan; ketiga, ada yang hanya dapat dimengerti oleh kalangan ulama dan cendikiawan; dan keempat, ada yang hanya diketahui oleh Allah swt.[1]
Kategori ini menunjukkan  bahwa dalam memahami Alquran bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Sebab jangankan selain Arab, orang Arab yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw sekalipun ada yang tidak memahami kandungan Alquran. Dari sini banyak generasi awal Islam  yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan Alquran, bahkan ada yang tidak berani memasuki wilayah ini.
Diperlukan berbagai macam ilmu untuk dapat memahami Alquran dengan baik dan benar. Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, mendaftar sebanyak 80 ilmu  yang berkaitan dengan pembahasan ilmu-ilmu Alquran. Bahkan menurut beliau jika lebih diperinci lagi akan mencapai 300 bagian, dan setiap bagiannya menjadi sebuah karya yang tersendiri.[2]
Pada masa Rasulullah, untuk memahami Alquran para sahabat cukup menanyakan kepada Rasulullah.[3] Beliaulah sebagai mubayyin berdasarkan petunjuk dari Allah swt. Penjelasan kitab suci ini bukanlah hasil fikiran Rasulullah sendiri, melainkan wahyu dari Allah swt. Setelah beliau wafat, ulama sahabat tampil untuk menggantikan fungsi Rasulullah sebagai penafsir Alquran.
Berbeda dengan Rasulullah para sahabat hanya memahami Alquran secara garis besar. Mereka harus meneliti dan merujuk kepada Nabi saw. Beberapa sahabat yang banyak memberikan penafsiran Alquran , diantaranya, Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibnu Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair.[4]
Berakhirnya periode sahabat, dimulailah periode berikutnya, tafsir para tabiin yang belajar langsung kepada sahabat. Sumber-sumber tafsir pada periode ini terdiri dari Alquran, Hadis, pendapat sahabat, informasi ahli kitab, ijtihad tabiin.
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan pengkodifikasian tafsir, yaitu pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah dan awal masa bani Abbasiyah.[5]  Makalah ini mencoba untuk melihat sejauhmana perkembangan pengkodifikasian  tafsir dan hubungannya dengan hadits Rasulullah.

INDEPENDENSI TAFSIR DARI HADIS
Periode pemisahan  tafsir dari kitab-kitab hadis diawali dengan   beberapa  tahapan sebelumnya. Tahapan itu adalah, Pertama, tafsir ditransfer melalui periwayatan sahabat; sahabat meriwayatkan dari Rasulullah, sebagaimana sebagian sahabat meriwayatkan dari sebahagian yang lain; lalu tabiin meriwayatkan dari sahabat, seperti halnya dari tabiin meriwayatkan dari sebagian yang lain. Tafsir pada masa ini tersebar secara lisan.
Kedua, setelah masa sahabat dan tabi’in, tafsir memasuki tahap kedua, yaitu ketika hadis Rasulullah dibukukan. Ini bermula  dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), yaitu khalifah  kedelapan Bani Umayyah, melalui instruksinya  kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah) (wafat 117H).[6] Melalui pekerjaan yang dilakukan Ibn Hazm ini terkumpullah beberapa hadis, dan kemudian usaha penyempurnaannya dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri.[7] Buku-buku hadis memuat banyak bab, dan tafsir merupakan salah satu bab yang termuat dalam buku-buku hadis. Pada waktu itu, belum ada karangan khusus tentang  tafsir, ayat demi ayat, dari awal hingga akhir. Tafsir ketika itu ditulis  bergabung dengan penulisan hadis. Tafsir yang disusun tentunya  penafsiran bi al-Ma’tsur.[8]  Para penulis tafsir pada tahap ini diantaranya: Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, dan lain-lain.[9]
Ketiga, dimulai penyusunan  kitab-kitab tafsir yang secara khusus berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad Ibn Abdullah Ibn Manzur ad-Dailami al-Farra’ (144 H-207 H) dengan kitabnya Ma’anil Qur’an.[10]
Menurut Abu Abbas as-S\\\a’labi, kitab ini pada dasarnya merupakan dari seorang muridnya yang bernama Umar Ibn Bukair yang tidak mampu menjawab pertanyaan gubernur  al-Hasan Ibn Sahl menyangkut persoalan  Alquran. Berangkat dari hal itu al-Farra’ mengumpulkan murid-muridnya pada hari tertentu hanya untuk mendiktekan kitab  Ma’anil Quran.[11]  Al-Farra’ merupakan ahli linguistik, sehingga penafsiran beliau lebih memfokuskan untuk mengupas aspek gramatikal  yang mempengaruhi pemaknaan Alquran. Abu al-Abbas berpendapat bahwa  belum pernah  ahli tafsir melakukan  cara seperti yang dilakukan al-Farra’. [12]
Setiap ayat diberikan penafsiran, dan disusun sesuai susunan mushaf. Pekerjaan ini dilakukan oleh para ulama tafsir. Periode ini para penafsir masih berpegang  pada metode tafsir bi al-ma’s}ur, artinya penafsiran yang mengandalkan periwayatan, terkadang disertai pentarjihan (memilih dalil  yang lebih kuat  diantara yang telah ada) terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbat} sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan. [13]
Kelompok ulama yang melakukan penafsiran pada periode ketiga ini, diantaranya :
1.      Ibnu Majah
Nama aslinya Muhammad bin Yazid ar-Rib’i al-Qazwini. Nama panggilannya Abu Abdullah  yang terkenal dengan Ibnu Majah. Sebutan Ibnu Majah sebenarnya adalah gelar bapaknya. Dilahirkan di Quzwaini pada tahun 209 H. Mulai mencari ilmu ketika usianya 20 tahun ke kota Naisabur, Khurasan, Irak, Hijaz, Syam dan Mesir.
Guru-guru beliau diantaranya Ali bin Muhammad ath-Thanafusi, Jabbarah bin al-Mughallas, Mush’ab  bin Abdullah bin Zubair, Suwaid bin Sa’id, Abdullah bin Muawiyahnal-Jumahi, Muhammad bin ramh, Ibrahim bin Munzir al-Hizami, Hisyam bin Ammar, Abu Sa’id al-Asyaj, dan lain-lain. Murid-murid beliau diantaranya Muhammad bin Isa al-Abhari, Abu Thayyib Ahmad al-Baghdadi, Sulaiman bin Yazid al-Fami, Ali bin Ibrahim al-Qaththan, Ishaq bin Muhammad, dan lain-lain.
Adapun hasil karya beliau yaitu, Kitab Sunan, Tafsir Alquran al-Karim,  Kitab Tarikh yang berisi sejarah mulai dari as-Shahabah sampai masa beliau. Imam adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Tadzkirah al-Huffaz, bahwa Ibnu Majah adalah seorang ahli hadis yang besar sekaligus ahli tafsir kenamaan dimasanya. Sayangnya kitab tafsir beliau sudah tidak dapat kita jumpai pada saat sekarang ini. Beliau wafat tahun 273 H.[14]
2.      Ibnu Jarir at-Thabari
Nama lengkapnya, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabary. Dilahirkan di Tabrastan pada tahun 224 H / 839 M. Wafat di Baghdad tahun 310 H/932 M. Beliau seorang ahli sejarah terkemuka, ahli tafsir, dan memiliki mazhab sendiri. Kitab tafsir yang ditulisnya yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran yang sangat terkenal. Kitab tafsir ini menjadi rujukan para ulama tafsir belakangan.[15]
Imam adz-Dzahabi berkata : “Dia orang yang tsiqah, hafiz, jujur, imamnya para ahli tafsir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan antropologi, mengetahui qiraat dan linguistik”.[16]
Menurut Subhi Shalih, kitab tafsir ath-Thabari merupakan tafsir bi al-ma’tsur yang  terbaik. Kitab tafsir ini mengetangahkan penafsiran para sahabat Nabi dan tabiin selalu disertai dengan sumber-sumber riwayatnya dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat. Selain itu dikemukakan pula kesimpulan-kesimpulan hukum, dan kedudukan kata dalam kalimat (i’rab). [17] Kitab tafsir Jami’ al-Bayan merupakan tafsir satu-satunya karya periode ini yang dapat kita baca hingga saat ini.
Kelengkapan yang dimiliki inilah yang menjadi ciri utama tafsir Al-Thabari. Adapun corak penafsiran yang merupakan ciri khusus tafsir Al-Thabari ini yang mungkin berbeda dengan tafsir lainnya adalah memadukan dua sisi yaitu bi al- ma’tsur dan bi al- ra’yi.
Contoh Penafsiran dalam kitab at-Thabari
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ  (الانعم: اية 152)
‘’Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik sehinga sampai dia dewasa’’

القول في تأويل قوله : { ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده }
’Beliau berkata di dalam Tafsirnya (Ath-Thabari), tentang firman Allah yang berbunyi :  Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik’
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بقوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، ولا تقربوا ماله إلا بما فيه صلاحه وتثميره

’Abu Ja’far berkata : Abu Ja’far mengharapkan dari firman Allah : Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik, dan janganlah kamu sekalian mendekati karta tersebut kecuali ada kemanfaatan dan kemaslahatan’
- حدثني المثنى قال، حدثنا الحماني قال، حدثنا شريك، عن ليث، عن مجاهد:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: التجارة فيه.

Telah menceritakan kepada al-Musanna, dia berkata, al-Hamani bercerita kepada kami, dia berkata, Syarik bercerita kepada kami, dari Lais, dari Mujahid, ( dan janganlah kamu sekalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan perbuatan yang baik), at-Thabary  berkata : berdagang dengan harta tersebut.

- حدثني محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا أسباط، عن السدي:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، فليثمر ماله .

‘’Telah bercerita kepadaku Muhammad Bin Hassan, dia berkata, menceritakan Ahmmad Bin Mufdol, ia berkata, berkata Asbad, dari Sudda, (Dan janganlah kamu sekalian mendekati harta anak  yatim kecuali dengan perbuatan yang baik),mengembangkan harta tersebut’’

- حدثني الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا فضيل بن مرزوق العنزي، عن سليط بن بلال، عن الضحاك بن مزاحم في قوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: يبتغي له فيه، ولا يأخذ من ربحه شيئا .

Telah berkata kepadaku Haris, dia berkata, menceritakan Abdul Aziz, dia Berkata, Fudail Bin Marzuq Al-anazi  dari Sulid Bin Bilal, dari D}ohak Bin Mazahim, didalam firman  Allah ; ( Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik). Ath-Thabari menafsirkan didalam kitabnya boleh saja Mengunakan harta tersebut, Dan tidak mengambil keuntungan sepeserpun.

Keempat, tahap perkembangan kodifikasi tafsir pada masa ini, penulisan tafsir masih mengambil corak bi al-ma’tsur meskipun sudah mulai ada perubahan pola dalam pengambilan sanad. Perubahan yang terjadi dalam tafsir diantaranya sanad-sanadnya mulai diringkas, banyak penafsir yang menukil perkataan atau pendapat dari para penafsir pendahulu mereka tanpa mencatat asal mula dan pemilik pendapat tersebut secara detail. Oleh karena itu muncullah beberapa permasalahan dalam tafsir ditahap ini, yaitu bercampurnya antara riwayat pendapat yang sahih dan yang tidak sahih.

PENUTUP
Kesimpulan
1.      Untuk  memahami Alquran secara baik dan benar diperlukan ilmu yang cukup, sehingga menghasilkan penafsiran yang utuh.
2.      Bentuk penafsiran Alquran mengalami perkembangan dan perubahan sejak masa Nabi Muhammad saw sampai saat sekarang.
3.      Independensi tafsir dari kitab-kitab hadis dimulai pada abad kedua hijrah, yang dilakukan oleh al-Farra’ dengan kitabnya Ma’anil Quran dan kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti at-Thabari dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Farra’, Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad, Ma’anil Quran, Jilid 1, Beirut, ‘Alimul Kutub, 1983,
al-Dzahabi Muhammad Husein, Tafsir Al-Quran Sebuah Pengantar, terjemahan M. Nur Prabowo, Jogjakarta, Baitul Hikmah Press, 2016.
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2012
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran,Jakarta, Pustaka Firdaus, 2012
Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, al-Kautsar, 2006
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Quran/Tafsir, Jakarta Bulan Bintang


[1] Kementerian Agama RI, Mukaddimah Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2011, hlm. 35.
[2] As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, al-Itqan fi Ulumil Quran, terjemahan Jilid I, Surabaya, Bina Ilmu, tanpa tahun, hlm. xx.
[3] Muhammad Quraish Shihab, membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 71
[4] Ibid, hlm. 45.
[5] Ibid, hlm, 50.
[6] Idri, Hadits dan Orientalis : Persfektif  Ulama Hadis dan Para Orientalis  tentang Hadis Nabi,Jakarta, Kencana, 2017,  hlm.46.
[7] Ibid, hlm.46.
[8] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 73.
[9] Kementerian Agama RI, Mukaddimah Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2011, hlm. 51.
[10] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 73
[11]  Al-Farra’, Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad, Ma’anil Quran, Jilid 1, Beirut, ‘Alimul Kutub, 1983,  hlm. 12
[12] Ibid, hlm. 13
[13] Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, al-Kautsar, 2006, hlm. 426
[14]  Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsir Alquran : Sebuah Pengantar, terj. M.Nur Prabowo. S. Yogyakarta, Baitul Hikmah Press, 2016, hlm. 43
[15] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Quran/Tafsir, Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 275-276
[16]  Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2012, hlm. 347
[17] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran,Jakarta, Pustaka Firdaus, 2012,  hlm. 413-414

QASHASH DI DALAM ALQURAN


JAPAR, S.Ag
Ka. MAS Alwashliyah Pakam
PENDAHULUAN

Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawatir, yang ditulis didalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia.[1] Dari defenisi ini  disepakati oleh para ulama bahwa Alquran sebagai su
mber hidayah. Setiap rangkaian ayat dan surat yang terdapat didalamnya menjadi sumber pelajaran bagi setiap manusia.
Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar mengatakan bahwa Alquran mengandung unsur-unsur berikut:
a.       Ketauhidan (at-Tauhid).
b.  Janji (al-Wa’d) terhadap mereka yang taat dan peringatan (al-Wa’id) bagi yang     membangkan.
c.       Hal-ihwal ibadah (al-Ibadah)
d.      Penjelasan tentang jalan menuju kepada kebahagiaan baik dunia maupun akhirat (sabilus –sa’adah)
e.       Kisah (al-Qashash) tentang nasib orang-orang yang baik dan jahat.[2]
Dalam rangka menggali hidayah dan petunjuk, para ulama melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap isi kandungan Alquran. Sehingga muncul dan berkembang cabang-cabang  ilmu yang mengkaji isi dan kandungan  Alquran, yang disebut ‘Ulum Alquran (Ilmu-Ilmu Alquran). Dikatakan kepada Musa ‘alaihissalam: “Wahai Musa! Sesungguhnya perumpamaan kitab yang diturunkan kepada Ahmad yang dijelaskan di dalam kitab-kitab itu seperti wadah yang didalamnya ada susunya. Setiap kali kamu menyerapnya, maka kamu dapat mengeluarkan sarinya”.[3]
Dari sekian cabang Ulum Alquran, ada cabang tersendiri yang khusus membahas tentang kisah-kisah dalam Alquran yang di sebut Qaṣaṣ Alquran. Bagi yang membaca , ‘mendalami’ dan menghayati kisah Qaṣaṣ Alquran tentunya akan menemukan didalamnya informasi-nformasi penting,  tentang masa lalu , dan berita masa datang , sekaligus menjadi ketetapan hukum.
  
PEMBAHASAN
A.       Defenisi Qaṣaṣ Alquran
Qaṣaṣ Alquran  terdiri dari dua kata,  Qaṣaṣ dan Alquran. Menurut bahasa (etimologi) kata Qashash adalah bentuk jama’ dari kata al-qiṣṣah.  Kata itu berasal dari kata qaṣṣa – yaquṣṣu. Kata qashash,dan kata lain yang seakar dengannya, didalam Alquran tersebut 30 kali. Dalam pengertian bahasa, qishshah berarti ‘mengikuti jejak’, dan qaṣaṣ bentuk jamak dari qiṣṣah, berarti ‘ jejak’[4]
   Menurut Zahran di dalam Qaṣaṣ Alquran, qiṣṣah berarti menguraikan kejadian-kejadian dan menyampaikannya tahap demi tahap.[5]
   Qaṣaṣ Alquran adalah pemberitaan Alquran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa yang telah terjadi.[6]

B.      Kualitas Kisah di Dalam Alquran.
Kisah para nabi dalam Alquran disajikan secara utuh dan padu. Pesan utamanya adalah bahwa Tuhan selalu mengutus para nabi atau orang saleh, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah dan berbuat kebaikan. Namun, dari persfektif  Kristen dan Yahudi, kisah-kisah itu melewatkan banyak informasi yang disebutkan didalam Injil.[7]
    Kisah yang terdapat dalam Alquran merupakan bagian dari I’jaz Alquran itu sendiri. Karena didalam Alquran diceritakan berita ghaib tentang bangsa-bangsa dan umat-umat purbakala yang tidak pernah terungkap sebelumnya secara mendetail. Bahkan Nabi Muhammad saw pun tidak pernah mengetahuinya. Alquran juga mengisahkan tentang peristiwa yang belum terjadi yang kemudia terjadi persisi sesuai dengan pemberitaan Alquran. Berbeda halnya dengan ramalan manusia yang tidak dapat dipastikan dan tidak pula semuanya tepat[8]    
  Sebagai wahyu dari Allah swt, kisah-kisah didalam Alquran merupakan kisah yang tidak diragukan kebenarannya. Hingga saat ini sudah banyak diungkapkan bukti-bukti kebenaran kisah didalam Alquran, dengan bukti ilmiyah, sains, teknologi, arkeologi bahkan sampai dengan bukti yang menggunakan teori hermeneutika. Bagi orang yang beriman ketika berhadapan dengan Alquran secara umum dan kisah yang terdapat didalam Alquran diterima secara imani, meskipun demikian bukti-bukti historis memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi keteguhan iman dan kebenaran Alquran. 

C.     Macam-macam Kisah dalam Alquran
1.      Kisah para nabi.
2.      Kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kamung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, dan orang-orang yang menangkap ikan pada hari sabtu, Maryam, aṣabul ukhdud, aṣabul fil, dan lain-lain.
3.      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat at-Taubah, perang al-Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah, Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.[9]

D.      Kedudukan Kisah dalam Alquran
Bagaimana pentingnya kisah dalam Alquran dapat dilihat dari segi kuantitas ayat-ayat kisah didalamnya. Tidak sedikit  dari ayat-ayat Alquran yang memuat tentang kisah-kisah. Bahkan ada surat-surat yang khusus untuk mengungkapkan kisah, seperti Surat Yusuf, Nuh, al-Anbiya’ dan al-Qaṣṣaṣ. Menurut A. Hanafi,  ada lebih kurang 1.600 ayat yang dipakai untuk mengungkapkan kisah-kisah. Dengan demikian lebih dari seperempat ayat Alquran menuturkan tentang kisah/sejarah.

E.      Gaya Penyampaian Kisah Alquran
Dalam menuturkan kisah, Alquran mempunyai gaya tersendiri dan berbeda dari lainnya. Kisah tersebut ada yang disampaikan secara tuntas di satu tempat dalam satu surah Alquran. Disisi lain sebagian besar kisah Alquran tidak disampaikan sekaligus secara utuh di satu tempat, tetapi hanya bagian tertentu saja sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Sebagian kisah itu ada yang diulang-ulang dengan memusatkan [ada satu dimensi kisah. Pengulangan itu biasanya dengan menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Kisah Alquran disampaikan secara singkat, bahkan tidak jarang sangat singkat.[10]
  Perpaduan antara gaya bahasa yang singkat dan padat dengan pesan mulia yang dikandungnya menjadikan kisah Alquran itu semakin memikat. Berbeda dengan Taurat  yang memberikan keterangan panjang lebar tentang, mislanya, ukuran besar kapal Nabi Nuh.
  Dikarenakan Alquran bukan kitab sejarah, tidak juga rincian peristiwa diketengahkannya. Rincian peristiwa yang antara lain dapat ditemukan didalam  kitab-kitab tafsir Alquran dan hadits-hadits Rasulullah. Hari ini Alquran bagi sejarawan dan ilmuwan adalah data otentik yang tidak dapat diremehkan informasinya, bahkan dapat dipertanggungjawabkan.

F.      Kisah Alquran Sebagai Fakta Sejarah, Bukan Fiksi atau Hayalan.
Kisah dalam-Alquran merupakan cara yang dipakai Alquran untuk mewujudkan tujuan-tujuan. Oleh sebab itu, kisah Alquran tunduk kepada ketentuanNya.
Alquran dalam mengungkapkan kisah-kisah itu tidak kronologis, namun tematis. Karena Alquran bukanlah buku sejarah, melainkan risalah keagamaan. Walau merupakan kisah, tetapi maksudnya agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi manusia.
Beberapa sarjana muslim ada yang meragukan apakah kisah itu benar-benar terjadi. Thaha Husein, sastrawan Mesir dalam bukunya Fi asy-Syi’r al-Jahili  berpendapat bisa saja kitab Taurat dan Alquran berkisah tentang Ibrahim dan Ismail, tetapi adanya dua nama itu didalam Taurat maupun Alquran tidak cukup kuat untuk menyatakan kedua orang itu benar-benar ada dalam sejarah.[11]
Muhammad Khalafallah dalam bukunya al-Fann al-Qaṣaṣi fi al-Qur’an[12], mengatakan kisah merupakan seni bercerita yang lebih menitik beratkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Ini berlaku pada kisah nyata maupun fiksi. Kisah-kisah dalam al-Qura’an tidak mesti kisah nyata. Menurutnya, tidak mengapa kalau kita mengatakan bahwa kisah-kisah Alquran merupakan dongeng-dongeng belaka.[13]
Pandangan itu tidak tepat, sebab Alquran sudah menepis dengan menyatakan :
“Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”[14]
Pada ayat yang lain Allah menjelaskan :
“Sungguh, ini adalah kisah yang benar. Tidak ada tuhan selain Allah, dan sungguh Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”[15]
Saat ini, banyak uraian-uraian kisah dalam Alquran yang dulunya tidak jelas, tetapi melalui aneka penelitian arkeologi, studi kebahasaan (filologi), atau antropologi, ternyata uraian-uraian tersebut terbukti kebenarannya dengan sangat jelas.

G.    Bukti Arkeologi tentang Kebenaran Kisah dalam Alquran
Arkeologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kebudayaan masyarakat masa lalu melalui peninggalannya. Masa lalu sangat panjang, sehingga dibuatlah periodisasi. Misalnya, (1) Periode Prasejarah ketika manusia belum mengenal aksara atau huruf dan (2) Periode Sejarah ketika manusia telah menghasilkan bukti tertulis.[16]
Arkeologi berkembang di berbagai negara dan cukup banyak pula arkeolog profesional yang meneliti secara lintas batas negara. Entitas negara diciptakan belum lama ketimbang kurun waktu hidup manusia di dunia. Selain itu mobilitas manusia yang sejak dulu sudah cukup tinggi membuat persebaran peninggalannya dijumpai di berbagai belahan dunia.
Peninggalan atau objek yang menjadi data arkeologi mencakup benda yang dapat dipindahkan (artifact), bangunan yang melekat di tanah (feature), faktor lingkungan alam yang melingkupi kehidupan manusia (ecofact), lokasi bermukim (site), kawasan atau antar-situs yang dijelajahi manusia (region).
Arkeolog juga meneliti sumber tertulis seperti prasasti, naskah, manuskrip. Di beberapa negara, arkeolog meneliti kitab suci, sehingga lahirlah kajian Biblical Archaeology. Kitab suci yang banyak dikaji umumnya Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Asosiasi peneliti Biblical Archaeology di Eropa terbentuk sejak 1850.
Alquran belum banyak dikaji para arkeolog ketimbang Bibel. Padahal, Alquran banyak memuat berbagai aspek arkeologi misalnya yang saat ini oleh ilmuwan disebut metodologi. Alquran sebagai petunjuk hidup dan matinya manusia juga menyebut beberapa ayat yang saat ini oleh ilmuwan disebut sebagai teori, metode, dan objek atau data.
Contoh dalam Surah Al-Hadid (57):4 Allah SWT menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Pembentukan alam semesta melalui proses bertahap, evolutif, atau tidak langsung sekali jadi. Tim Tafsir Ilmi Kementerian Agama bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku "Penciptaan Jagat Raya: dalam Perspektif Alquran dan Sains" tahun 2010 telah menafsirkan Surah An Naziat (79): 27-33. Proses secara bertahap dimulai dengan penciptaan alam semesta, pengembangan alam semesta, penciptaan matahari, penciptaan bumi, awal kehidupan di bumi yaitu air dan tumbuhan, dan diciptakannya hewan dan manusia.
Metode seperti survei atau observasi juga banyak disebut, misalnya manusia diminta untuk mengamati dan melihat langsung dengan cara berjalan di muka bumi untuk memperhatikan kesudahan orang-orang terdahulu, misalnya dalam Surah Ali Imran (3):137, Al-An'am (6):11, An-Nahl (16):36, An-Naml (27):69, Al-Ankabut (29):20. Allah SWT juga meminta manusia memperhatikan bekas-bekas peninggalan orang terdahulu misalnya dalam Surat Ghafir (40):21 dan 82.
Bukti arkeologis saat ini telah membuktikan kebenaran  kisah-kisah  yang terdapat didalam Alquran. Diantaranya adalah:
1.       Kisah Al Qur'an tentang Haman: seorang pelaku yang namanya disebut di dalam Al Qur'an bersama dengan Fir'aun. Ia disebut di enam tempat (ayat) berbeda dalam Al Qur'an, di mana Al Qur'an memberitahu kita bahwa ia adalah salah satu dari sekutu terdekat Fir'aun.
Naskah Hiroglif dipecahkan sekitar 200 tahun silam, dan nama “Haman” ditemukan di naskah-naskah kuno itu. Hingga abad ke-18, tulisan dan prasasti Mesir kuno tidak dapat dipahami. Bahasa Mesir kuno tersusun atas lambang-lambang dan bukan kata-kata, yakni berupa Hiroglifik. Gambar-gambar atau lambang-lambang Hiroglifik ini, yang memaparkan kisah dan membukukan catatan peristiwa-peristiwa penting sebagaimana kegunaan kata di zaman modern, biasanya diukir pada batu dan banyak contoh masih terawetkan berabad-abad. Dengan tersebarnya agama Nasrani dan pengaruh budaya lainnya di abad ke-2 dan ke-3, Mesir meninggalkan kepercayaan kunonya beserta tulisan hiroglif yang berkaitan erat dengan tatanan kepercayaan yang kini telah mati itu. Contoh terakhir penggunaan tulisan hiroglif yang diketahui adalah sebuah prasasti dari tahun 394. Bahasa gambar dan lambang telah terlupakan, menyisakan tak seorang pun yang dapat membaca dan memahaminya. Sudah tentu hal ini menjadikan pengkajian sejarah dan kepurbakalaan nyaris mustahil. Keadaan ini tidak berubah hingga sekitar 2 abad silam.
Melalui penerjemahan hiroglif, sebuah pengetahuan penting tersingkap: nama “Haman” benar-benar disebut dalam prasasti-prasasti Mesir. Nama ini terukir pada sebuah tugu di Museum Hof di Wina, Austria. (saat ini bernama Museum Kunsthistorisches). Tulisan yang sama ini (Haman) juga tercantum dalam tulisan egyptologist ternama bernama Walter Wreszinski (Walter Wreszinski, Aegyptische Inschriften aus dem K.K. Hof Museum in Wien, 1906, J. C. Hinrichs' sche Buchhandlung), serta dalam kamus tentang 'Kerajaan Baru' yang disusun  oleh Herman Ranke (Hermann Ranke, Die Ägyptischen Personennamen, Verzeichnis der Namen, Verlag Von J. J. Augustin in Glückstadt, Band I, 1935, Band II, 1952). Khusus dalam tulisan Wreszinski disitu tertulis jelas profesi Haman sebagai 'kepala pekerja tambang batu'.
Prasasti atau tugu yang menunjukkan nama Haman yang tersimpan di Museum Hof di Wina yang sekarang bernama Museum Kunsthistorisches. Tugu tersebut juga menyebutkan profesi Haman sebagai kepala pekerja tambang batu.
Temuan ini mengungkap kebenaran sangat penting!, Haman adalah seseorang yang hidup di Mesir pada zaman Nabi Musa AS. Ia dekat dengan Fir'aun dan terlibat dalam pekerjaan membuat bangunan, persis sebagaimana dipaparkan dalam Al Qur'an.
Berkata Fir'aun: "Hai pembesar-pembesar, aku tiada tahu, bahwa  bagimu ada pula Tuhan, selain daripadaku. Sebab itu buatlah batu tembok, hai Haman, lalu bangunkanlah istana yang tinggi, mudah-mudahan ku tengok Tuhan Musa. Sesungguhnya kusangka Musa itu orang dusta."
Berkata Firaun : Hai Haman, bangunlah sebuah gedung yang tinggi, mudah-mudahan aku sampai kepada sebab-sebab (jalan-jalan), Yaitu jalan-jalan (yang menyampaikan) kelangit, lalu ku lihat Tuhan Musa, sungguh aku menyangka dia seorang yang dusta. Demikianlah dihiaskan kepada Firaun kejahatan perbuatannya dan dihalangi dari jalan (yang lurus). Tipu daya Firaun, tidak lain, hanya dalam kerugian (sia-sia).

2.       Kisah Fir’aun Mengejar Nabi Musa
Suatu peristiwa yang paling menarik adalah mengenai eksodus secara besar-besaran:
“Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).
Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Maka pada hari itu kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”.[17]

Pada ayat diatas terdapat rujukan yang menakjubkan mengenai diselamatkannya tubuh Firaun agar menjadi ”tanda” atau bukti bagi orang-orang dikemudian hari. Identitas Fir’aun didalam kisah pengungsian besar-besaran itu menjadi bahan spekulasi yang cukup lama. Bucaille, setelah mengadakan studi yang mendalam, dengan meyakinkan memberi penjelasan yang mendukung pandangan yang dipegang cukup lama bahwa Merneptah, penerus Ramses II, adalah Fir’aun yang berkuasa di masa eksodus itu. Jasadnya dimummikan, yang diteliti secara medis oleh Bucaille di tahun 1975, ditemukan pada tahun 1898 di Lembah Raja-Raja di Thebes. Bucaille berspekulasi bahwa QS 10 : 92 merupakan kiasan dari penemuan ini, yang terjadi hampir tiga belas abad setelah diturunkannya ayat tersebut. Karena identitas sebenarnya dari Fir’aun  tidak pernah disebutkan didalam  Alquran, sebutan “Fir’aun”  mungkin sebuah julukan yang umum, dimana QS 10: 92  merujuk  terhadap praktik mengebumikan jenazah yang biasa dilakukan oleh orang-orang Mesir terhadap raja-raja mereka yang sudah mati.
Alquran menyebutkan bahwa mayat Fir’aun (Merneptah) yang terkutuk akan diselamatkan dari air, seperti yang dijelaskan ayat diatas. Diagnosis pada mummi Meneptah menunjukan bahwa mayatnya tidak berada didalam air dalam waktu yang lama, karena tidak adanya tanda kerusakan yang parah akibat tenggelam dalam air.
Maurice Bucaille bercerita kepada Syeikh Abdul Majid al-Jindani dalam sebuah pertemuan bahwa ia adalah salah satu dokter yang meneliti mayat Fir’aun. Penelitian itu menemukan fakta sebagai berikut :
a.  Pengaruh kematian karena tenggelam.
b.  Pengaruh asinnya air laut
c.  Sinar X menampakkan adanya kerusakan tulang tanpa terkoyaknya kulit dan daging, yang menunjukkan bahwa kerusakan tulang itu disebabkan tekanan air.
                   Apapun kejadian yang sesungguhnya, bagi mereka yang meyakini Alquran, penemuan jenazah-jenazah para fir’aun yang diawetkan itu dipandang sebagai sebuah kemungkinan konfirmasi atau “tanda-tanda” kebenaran pernyataan-pernyataan Alquran.
3.       Masih banyak peninggalan-peninggalan yang sudah diketahui dan kisahnya sejalan dengan Alquran, dan yang lainnya menunggu untuk ditemukan para arkeolog. Contohnya makam Ibrahim disebut didalam surat Ali Imran (3) : 97. Ka’bah disebut dalam surat al-Maidah (5) : 97. Kota kaum Nabi Luth dalam surah al-Hijr (15) : 76 disebutkan terletak di jalan yang tetap dilalui manusia. Bahtera Nabi Nuh dalam surah Hud (15) : 44 dinyatakan berlabuh di bukit Judi.
4.       Salah satu bentuk periodisasi dalam Alquran adalah: (1) pembentukan alam semesta termasuk bumi, (2) saat manusia dihadirkan di bumi sampai masa kini (3) kiamat dunia dan alam semesta hancur lebur serta kehidupan kekal di akhirat.
Periode (1) dapat diteliti, meskipun pada saat pembentukan bumi, manusia belum tercipta. Arkeolog dapat menemukan bukti peninggalan manusia yang terkubur di dalam tanah. Namun, ekskavasi semakin dalam dapat dipastikan tidak menemukan lagi peninggalan manusia (virgin soil). Fakta ini menunjukkan bahwa usia bumi lebih tua ketimbang usia peradaban manusia. Ternyata periode (1) dan (2) dapat diterima akal dan terdapat fakta-fakta ilmiah yang dapat ditangkap pancaindera.
Alquran terdiri atas ayat-ayat yang saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, Periode (3) cepat atau lambat akan terjadi. Pada saat itulah, giliran umat manusia yang diteliti kiprahnya selama berada di dunia.
H.    Israiliyyat di dalam Alquran
Dari segi bahasa “Israiliyyat” adalah bentuk jamak dari “Israiliyyah”. Kata ini merujuk kepada Israil. Dalam bahasa Ibrani, “israil” berarti “hamba Tuhan”.
Dari segi istilah Israiliyat adalah kisah atau riwayat yang diambil daripada Bani Israil yaitu golongan Yahudi dan Nasrani. Sebagian ulama mengatakan semua unsur asing yang menyerap kedalam tamadun Islam termasuk kisah-kisah dongeng yang dinukilkan dari Majusi juga termasuk Israiliyyat.
Didalam Alquran tidak terdapat Israiliyyat, karena Alquran murni wahyu yang difirmankan oleh Allah swt.  Namun didalam tafsir yang beredar dikalangan umat Islam, banyak bertebaran kisah-kisah Israiliyyat ini.  Diantara faktor yang menyebabkan kisah atau riwayat Israiliyyat  ini masuk kedalam tafsir Alquran adalah :
a.       Ahli-ahli kitab yang sebagian besarnya dari orang Yahudi, sejak dulu berpindah ke Semenanjung Arab dan mereka bercampur dengan bangsa Arab,
b.      Orang-orang pra Islam selalu berdagang ke luar Arab seperti Yaman pada musim dingin dan negero Syam pada musim panas. Banyak ahli kitab dari kalangan Yahudi terlibat dalam transaksi perdagangan yang memungkinkan masuknya pengetahuan Yahudi ditengah-tengah masyarakat Arab,
c.       Banyak kelompok Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraizhah dan Bani Nadir di Madinah yang bersama masyarakat Islam disana,
d.      Beberapa tokoh Yahudi masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Wahab ibn Munabbih, Ka’bul Akhbar dan lain-lain,
e.       Terjemahan kitab Taurat dari bahasa Ibrani kedalam bahasa Arab.
Menurut adz-Dzahabi, jika Israiliyyat masuk kedalam khazanah tafsir Alquran, dapat menimbulkan kesan negatif, diantaranya:
a.       Merusak akidah Islam, contohnya kisah Nabi Daud dengan istri panglima perang (Uria) dan kisah Nabi Muhammad saw dengan Zainab binti Jahsy yang kedua-duanya merendahkan kedudukan para Nabi yang tidak pernah melakukan dosa serta menggambarkan Nabi sebagai yang kuat nafsu syahwatnya.
b.      Memberikan gambaran bahwa agama Islam menjadi agama khurafat dan tahyul yang menyesatkan.
c.       Bisa menghilangkan rasa kepercayaan kepada para ulama salaf baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
d.      Bisa mengalihkan pandangan umat Islam dari mengkaji keilmuan ketika umat Islam sibuk dengan ksah-kisah Israiliyyat.
Sebahagian ulama membagi  Israiliyyat kepada tiga macam, yaitu :
a.       Diketahui kesahihannya. Jika benar (sahih), tidak bertentangan dengan Alquran maupun Hadis, maka ia termasuk dalam kategori yang boleh diriwayatkan dan dijadikan hujjah ,
b.      Diketahui dustanya. Jika secara jelas menyalahi Alquran dan Hadis, maka termasuk bagian yang dilarang meriwayatkanya, dan dilarang bertanya atau mendapatkan informasi kepada Yahudi atau Nasrani tentangnya.
c.       Tidak diketahui kesahihannya dan kedustaannya. Dalam hal ini kita hendaklah tawaquf, yaitu tidak boleh didustakan , karena mungkin ia benar dan pada waktu bersamaan, ia tidak boleh dibenarkan karena mungkin ia bohong. Dengan demikian, boleh meriwayatkan berita Bani Israil, bukan dengan tujuan untuk diimani dan dibenarkan atau didustakan. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad saw:
“Janganlah kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah : kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (Alquran) dan kitab yang diturunkan kepada kamu”. (HR . Bukhari).
Diantara contoh riwayat didalam kitab Tafsir:
a.       Didalam tafsir at-Thabari disebutkan bahwa Wahab ibn Munabbih yang berkata, “Allah telah menjadikan tempat tinggal di surga untuk Adam dan Hawa. Dia melarang mereka berdua memakan buah yang pohonnya terdapat didalam surga. Dikatakan para malaikat makan  buah tersebut supaya kekal dan abadi. Oleh karena kedengkian Iblis yang akan mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga. Iblis masuk kedalam perut seekor binatang yaitu ular (ketika itu ular mempunyai empat kaki seperti kaki unta Khurasan). Ketika sampai di surga, Iblis keluar dari mulut ular dan mengambil buah yang dilarang tersebut. Iblis kemudan memperdaya dan membujuk Adam dan Hawa supaya memakannya. Iblis berkata, “Lihatlah buah ini, baunya harum, rasanya sedap, warnanya menarik.
Akhirnya Hawa termakan bujuk rayu Iblis dan memakannya. Hawa kemudian mendatangi Adam. Dia berkata kepada Adam seperti yang dikatakan Iblis kepadanya. Akhirnya Adam juga memakan buah tersebut, aurat mereka terbuka. Adam berlindung  dibelakang sebuah pohon. Kemudian Allah berseru, “Wahai Adam, dimanakah kamu?” Adam menjawab, “Aku disini, wahai Tuhan”. Allah bertanya,”Mengapa kamu tidak keluar menampakkan dirimu?” Adam menjawab, “Aku malu kepada-Mu wahai Tuhan”
Kemudian Allah memerintahkan mereka berdua turun dari surga ke bumi. [18]
b.      Contoh-contoh Israiliyyat yang lain yang bertebaran didalam kitab tafsir yaitu : Kisah Harut dan Marut, didalam tafsir Dur al-Mansur karya Imam Suyuthi. Kisah Tabut (peti hikmah Bani Israil yang dapat  menjadikan seseorang menjadi raja bagi Bani Israil), didalam tafsir at-Thabari, Tafsir al-Baghawi. Kisah Nabi Daud membunuh Jalut dalam kitab tafsir Khazin, dan tafsir al-Baghawi. Kisah papan tulisan  Taurat, terdapat dalam tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Alusi, tafsir al-Baghawi. Kisah kapal Nabi Nuh,dalam tafsir al-Thabari, Dur al-Mansur.[19]
Pada zaman modern ini Israiliyyat makin bertambah ilmiah. Kajiannya dilengkapi dengan scientific research yang berbentuk orientalisme dan Syi’aisme ekstrem. Kajian mereka difokuskan pada pencemaran nama baik sahabat dan keluarga Rasulullah saw, seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Aisyah. Padahal kalau kita membaca hadis yang diriwaatkan oleh Tirmizi  dan hadis-hadis lain, hadis-hadis itu menyuruh untuk mencintai Rasulullah, keluarga dan sahabatnya dan melarang mencemarkan nama baik Nabi, keluarga dan sahabatnya.[20]
I.       Hikmah  Qaṣaṣ Alquran
Kisah yang terdapat didalam Alquran merupakan ibrah bagi manusia. Ketika Allah menceritakan tentang suatu kaum yang dihancurkan, sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, agar tidak mengulangi kembali tindakan-tindakan umat terdahulu yang dapat merusak dan menghancurkan peradaban.
  Sebagai contoh, kaum ‘Ad di hancurkan oleh Allah swt karena berlaku takabbur dan merasa paling berkuasa dan kuat. Mereka merasa siapapun tidak ada yang dapat mengalahkannya, sehingga mereka berkata, “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?”[21] Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrud dan sebagainya. Dimasa Rasulullah saw, kaum muslimin yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat dari kaum kuffar nyaris dikalahkan dalam perang Hunain.[22]
  Kisah kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa dan peradaban sepatutnya menjadi renungan yang mendalam dan sungguh-sungguh bagi kaum muslimin.
  Disamping itu Syeikh Manna al-Qaththan menjelaskan hikmah-hikmah kisah yang terdapat didalam Alquran, yaitu :
a.       Menjelaskan azas-azas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi.
b.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendudkungnya serta menghancurkan kebatilan dan para pembelanya.
c.       Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
d.      Menampilkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun dan generasi.
e.       Menyingkap kebohongan ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan, kemudian menantang mereka  dengan menggunakan ajaran kitab mereka sendiri yang asli, yaitu sebelum kitab itu diubah dan di yang ganti.
f.       Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar mempengaruhi jiwa.[23]

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
1.      Penuturan kisah-kisah yang terdapat didalam al-Qur’an merupakan salah satu metode yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan-pesannNya kepada manusia.
2.      Allah menuturkan kisah-kisah dalam kitab suciNya sarat dengan pelajaran dan peringatan agar dijadikan sarana meningkatkan kualitas hidup. Kalau tidak maka hanya seperti compact disc yang merekam dan memp[ertontonkan peristiwa.
3.      Kebenaran kisah yang tercantum didalam Alquran merupakan hal yang tak terbantahkan. Karena telah banyak bukti yang telah ditemukan. Meski beberapa kisah belum dapat dibuktikan keilmiahannya, tidaklah menjadi alasan bahwa yang dikisahkan Alquran sesuatu yang tidak benar. Itu semuanya karena keterbatasan ilmu  manusia untuk menelitinya.
4.      Arkeologi sebagai cabang ilmu memberikan sumbangan yang sangat besar bagi manusia dalam memberikan informasi dan menjelaskan kebenaran Alquran.
5.      Kita berharap pada masa akan datang akan banyak lagi penemuan-penemuan ilmiah yang menjadi bukti kebenaran kisah- kisah yang terdapat dalam Alquran.





DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2015.
Wahid, Abdurrahman, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Rosda Karya, 1991.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran: Media Pokok dalam Penafsiran Alquran, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir,Jakarta, Bulan Bintang, 1989
As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, Samudera Ulumul Quran (al-Itqan fi ‘Ulumil Quran), terj.Farikh Marzuqi Ammar Lc, MA. Surabaya,Bina Ilmu, tt.
al-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahiṡ fi ‘Ulum Alquran, Ter```1j. Pengantar Studi Ilmu Alquran, Aunur Rafiq el-Mazni, Jakarta, Pustaka al-Kauṡar, 2016.
Katsir, Imam Ibnu, Kisah Para Nabi, terj. H. Dudi Rosyadi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta,2012
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.
Shihab, M. Quraish, 2012, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw : Dalam Sorotan Alquran dan Hadiṡ Ṣahih, Jakarta, Lentera Hati, 2012.



[1]  Kementerian Agama RI, Mukaddimah Alquran dan Tafsirnya,(Jakarta,Widya Cahaya, 2011), hal. 8.
[2]  Ibid., hal. 10.
[3] As-Suyuthi, Imam Jalauddin, Samudera Ulumul Quran Terjemah al-Itqan fi ‘Ulumil Quran Jilid 4, Farikh Marzuqi Ammar Lc, MA. (Surabaya,Bina Ilmu, Surabaya, tt), hal. 43

[4]Rafiq, Ahmad,”Qashash”, dalam M.Quraish Shihab (ed.), Ensiklopedia Alquran, Jilid 3, (Jakarta, Lentera Hati, 2007), hal. 765.
[5] Ibid, 765.
[6]Syaikh Manna al-Qathahan, Pengantar Studi Ilmu-Ilmu Alquran, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta,Pustaka al-Kautsar, 2016), hal.387.
[7]  Ingrid Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita, terj. R.Cecep Lukman Yasin,(Jakarta, Zaman,2013), hal.281
[8]  Imam Abu Hasan  al-Mawardi, A’lam an-Nubuwwah, sebagaimana  dikutip oleh Abdul Hayyi al-Kattani, Lc, Alquran dan Tafsir, dalam Jurnal al-Insan Vol. I, No. 1 Januari 2005,(Jakarta,Gema Insani Press, 2005), hal. 12.
[9] Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu-Ilmu Alquran, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta,Pustaka al-Kautsar, 2016), hal.387-388.
[10]  Kemenag RI dan LIPI, Tafsir Ilmi : Seri Mengenal Ayat-ayat Sains dalam Alquran Jilid 2, (Jakarta, Widya Cahaya, 2015), hal. 5
[11] Ibid,  hal. 5.
[12] Buku ini merupakan disertasi beliau (Dr. Muhammad Khalafullah), yang menimbulkan perdebatan tahun 1367 H. Lihat : al-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahiṡ fi ‘Ulum Alquran, Terj. Pengantar Studi Ilmu Alquran, Aunur Rafiq el-Mazni, Jakarta, Pustaka al-Kauṡar, 2016, hal. 390.
      [13] Ibid. hal.5.
      [14] QS. Yusuf  (12) : ayat 111.
[15] QS. Ali Imran (3) :  (62)
[17] QS. 10 : 90-92.
[18] Muhammad Abu Syahbah, Israiliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir, hlm. 174.
[19]   Kisah ini dijelaskan secara panjang lebar didalam karya  Muhammad Abu Syahbah, Israiliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir.
[20]   Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, hlm. 123.
[21]   QS. Fushshilat : 15.
[22]   QS. At-Taubah : 25.
[23] Syeikh Manna al-Qaththan, hal.388-399.