INDEPENDENSI DAN PEMISAHAN TAFSIR ALQURAN DARI KITAB-KITAB HADITS




BAB I: PENDAHULUAN
Alquran merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia. Sebagai kalamullah yang diturunkan dalam bahasa Arab, Alquran diungkapkan dengan gaya bahasa dan kosa kata yang kaya makna dan sangat indah. Ibnu Abbas (w.67 H), salah seorang sahabat dan kemenakan rasul yang cerdas dalam memahami Alquran, membagi ungkapan dan bahasa Alquran kedalam empat kategori. Pertama ada yang dipahami semua kalangan, tanpa harus berfikir secara mendalam; kedua, ada yang difahami oleh masyarakat Arab melalui bahasa yang mereka gunakan; ketiga, ada yang hanya dapat dimengerti oleh kalangan ulama dan cendikiawan; dan keempat, ada yang hanya diketahui oleh Allah swt.[1]
Kategori ini menunjukkan  bahwa dalam memahami Alquran bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Sebab jangankan selain Arab, orang Arab yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw sekalipun ada yang tidak memahami kandungan Alquran. Dari sini banyak generasi awal Islam  yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan Alquran, bahkan ada yang tidak berani memasuki wilayah ini.
Diperlukan berbagai macam ilmu untuk dapat memahami Alquran dengan baik dan benar. Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, mendaftar sebanyak 80 ilmu  yang berkaitan dengan pembahasan ilmu-ilmu Alquran. Bahkan menurut beliau jika lebih diperinci lagi akan mencapai 300 bagian, dan setiap bagiannya menjadi sebuah karya yang tersendiri.[2]
Pada masa Rasulullah, untuk memahami Alquran para sahabat cukup menanyakan kepada Rasulullah.[3] Beliaulah sebagai mubayyin berdasarkan petunjuk dari Allah swt. Penjelasan kitab suci ini bukanlah hasil fikiran Rasulullah sendiri, melainkan wahyu dari Allah swt. Setelah beliau wafat, ulama sahabat tampil untuk menggantikan fungsi Rasulullah sebagai penafsir Alquran.
Berbeda dengan Rasulullah para sahabat hanya memahami Alquran secara garis besar. Mereka harus meneliti dan merujuk kepada Nabi saw. Beberapa sahabat yang banyak memberikan penafsiran Alquran , diantaranya, Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibnu Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair.[4]
Berakhirnya periode sahabat, dimulailah periode berikutnya, tafsir para tabiin yang belajar langsung kepada sahabat. Sumber-sumber tafsir pada periode ini terdiri dari Alquran, Hadis, pendapat sahabat, informasi ahli kitab, ijtihad tabiin.
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan pengkodifikasian tafsir, yaitu pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah dan awal masa bani Abbasiyah.[5]  Makalah ini mencoba untuk melihat sejauhmana perkembangan pengkodifikasian  tafsir dan hubungannya dengan hadits Rasulullah.

INDEPENDENSI TAFSIR DARI HADIS
Periode pemisahan  tafsir dari kitab-kitab hadis diawali dengan   beberapa  tahapan sebelumnya. Tahapan itu adalah, Pertama, tafsir ditransfer melalui periwayatan sahabat; sahabat meriwayatkan dari Rasulullah, sebagaimana sebagian sahabat meriwayatkan dari sebahagian yang lain; lalu tabiin meriwayatkan dari sahabat, seperti halnya dari tabiin meriwayatkan dari sebagian yang lain. Tafsir pada masa ini tersebar secara lisan.
Kedua, setelah masa sahabat dan tabi’in, tafsir memasuki tahap kedua, yaitu ketika hadis Rasulullah dibukukan. Ini bermula  dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), yaitu khalifah  kedelapan Bani Umayyah, melalui instruksinya  kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah) (wafat 117H).[6] Melalui pekerjaan yang dilakukan Ibn Hazm ini terkumpullah beberapa hadis, dan kemudian usaha penyempurnaannya dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri.[7] Buku-buku hadis memuat banyak bab, dan tafsir merupakan salah satu bab yang termuat dalam buku-buku hadis. Pada waktu itu, belum ada karangan khusus tentang  tafsir, ayat demi ayat, dari awal hingga akhir. Tafsir ketika itu ditulis  bergabung dengan penulisan hadis. Tafsir yang disusun tentunya  penafsiran bi al-Ma’tsur.[8]  Para penulis tafsir pada tahap ini diantaranya: Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, dan lain-lain.[9]
Ketiga, dimulai penyusunan  kitab-kitab tafsir yang secara khusus berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad Ibn Abdullah Ibn Manzur ad-Dailami al-Farra’ (144 H-207 H) dengan kitabnya Ma’anil Qur’an.[10]
Menurut Abu Abbas as-S\\\a’labi, kitab ini pada dasarnya merupakan dari seorang muridnya yang bernama Umar Ibn Bukair yang tidak mampu menjawab pertanyaan gubernur  al-Hasan Ibn Sahl menyangkut persoalan  Alquran. Berangkat dari hal itu al-Farra’ mengumpulkan murid-muridnya pada hari tertentu hanya untuk mendiktekan kitab  Ma’anil Quran.[11]  Al-Farra’ merupakan ahli linguistik, sehingga penafsiran beliau lebih memfokuskan untuk mengupas aspek gramatikal  yang mempengaruhi pemaknaan Alquran. Abu al-Abbas berpendapat bahwa  belum pernah  ahli tafsir melakukan  cara seperti yang dilakukan al-Farra’. [12]
Setiap ayat diberikan penafsiran, dan disusun sesuai susunan mushaf. Pekerjaan ini dilakukan oleh para ulama tafsir. Periode ini para penafsir masih berpegang  pada metode tafsir bi al-ma’s}ur, artinya penafsiran yang mengandalkan periwayatan, terkadang disertai pentarjihan (memilih dalil  yang lebih kuat  diantara yang telah ada) terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbat} sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’rabnya jika diperlukan. [13]
Kelompok ulama yang melakukan penafsiran pada periode ketiga ini, diantaranya :
1.      Ibnu Majah
Nama aslinya Muhammad bin Yazid ar-Rib’i al-Qazwini. Nama panggilannya Abu Abdullah  yang terkenal dengan Ibnu Majah. Sebutan Ibnu Majah sebenarnya adalah gelar bapaknya. Dilahirkan di Quzwaini pada tahun 209 H. Mulai mencari ilmu ketika usianya 20 tahun ke kota Naisabur, Khurasan, Irak, Hijaz, Syam dan Mesir.
Guru-guru beliau diantaranya Ali bin Muhammad ath-Thanafusi, Jabbarah bin al-Mughallas, Mush’ab  bin Abdullah bin Zubair, Suwaid bin Sa’id, Abdullah bin Muawiyahnal-Jumahi, Muhammad bin ramh, Ibrahim bin Munzir al-Hizami, Hisyam bin Ammar, Abu Sa’id al-Asyaj, dan lain-lain. Murid-murid beliau diantaranya Muhammad bin Isa al-Abhari, Abu Thayyib Ahmad al-Baghdadi, Sulaiman bin Yazid al-Fami, Ali bin Ibrahim al-Qaththan, Ishaq bin Muhammad, dan lain-lain.
Adapun hasil karya beliau yaitu, Kitab Sunan, Tafsir Alquran al-Karim,  Kitab Tarikh yang berisi sejarah mulai dari as-Shahabah sampai masa beliau. Imam adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Tadzkirah al-Huffaz, bahwa Ibnu Majah adalah seorang ahli hadis yang besar sekaligus ahli tafsir kenamaan dimasanya. Sayangnya kitab tafsir beliau sudah tidak dapat kita jumpai pada saat sekarang ini. Beliau wafat tahun 273 H.[14]
2.      Ibnu Jarir at-Thabari
Nama lengkapnya, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabary. Dilahirkan di Tabrastan pada tahun 224 H / 839 M. Wafat di Baghdad tahun 310 H/932 M. Beliau seorang ahli sejarah terkemuka, ahli tafsir, dan memiliki mazhab sendiri. Kitab tafsir yang ditulisnya yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran yang sangat terkenal. Kitab tafsir ini menjadi rujukan para ulama tafsir belakangan.[15]
Imam adz-Dzahabi berkata : “Dia orang yang tsiqah, hafiz, jujur, imamnya para ahli tafsir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan antropologi, mengetahui qiraat dan linguistik”.[16]
Menurut Subhi Shalih, kitab tafsir ath-Thabari merupakan tafsir bi al-ma’tsur yang  terbaik. Kitab tafsir ini mengetangahkan penafsiran para sahabat Nabi dan tabiin selalu disertai dengan sumber-sumber riwayatnya dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat. Selain itu dikemukakan pula kesimpulan-kesimpulan hukum, dan kedudukan kata dalam kalimat (i’rab). [17] Kitab tafsir Jami’ al-Bayan merupakan tafsir satu-satunya karya periode ini yang dapat kita baca hingga saat ini.
Kelengkapan yang dimiliki inilah yang menjadi ciri utama tafsir Al-Thabari. Adapun corak penafsiran yang merupakan ciri khusus tafsir Al-Thabari ini yang mungkin berbeda dengan tafsir lainnya adalah memadukan dua sisi yaitu bi al- ma’tsur dan bi al- ra’yi.
Contoh Penafsiran dalam kitab at-Thabari
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ  (الانعم: اية 152)
‘’Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik sehinga sampai dia dewasa’’

القول في تأويل قوله : { ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن حتى يبلغ أشده }
’Beliau berkata di dalam Tafsirnya (Ath-Thabari), tentang firman Allah yang berbunyi :  Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik’
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بقوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، ولا تقربوا ماله إلا بما فيه صلاحه وتثميره

’Abu Ja’far berkata : Abu Ja’far mengharapkan dari firman Allah : Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik, dan janganlah kamu sekalian mendekati karta tersebut kecuali ada kemanfaatan dan kemaslahatan’
- حدثني المثنى قال، حدثنا الحماني قال، حدثنا شريك، عن ليث، عن مجاهد:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: التجارة فيه.

Telah menceritakan kepada al-Musanna, dia berkata, al-Hamani bercerita kepada kami, dia berkata, Syarik bercerita kepada kami, dari Lais, dari Mujahid, ( dan janganlah kamu sekalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan perbuatan yang baik), at-Thabary  berkata : berdagang dengan harta tersebut.

- حدثني محمد بن الحسين قال، حدثنا أحمد بن المفضل قال، حدثنا أسباط، عن السدي:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، فليثمر ماله .

‘’Telah bercerita kepadaku Muhammad Bin Hassan, dia berkata, menceritakan Ahmmad Bin Mufdol, ia berkata, berkata Asbad, dari Sudda, (Dan janganlah kamu sekalian mendekati harta anak  yatim kecuali dengan perbuatan yang baik),mengembangkan harta tersebut’’

- حدثني الحارث قال، حدثنا عبد العزيز قال، حدثنا فضيل بن مرزوق العنزي، عن سليط بن بلال، عن الضحاك بن مزاحم في قوله:(ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن)، قال: يبتغي له فيه، ولا يأخذ من ربحه شيئا .

Telah berkata kepadaku Haris, dia berkata, menceritakan Abdul Aziz, dia Berkata, Fudail Bin Marzuq Al-anazi  dari Sulid Bin Bilal, dari D}ohak Bin Mazahim, didalam firman  Allah ; ( Dan janganlah Kamu sekalian mendekati harta anak  Yatim kecuali dengan perbuatan yang baik). Ath-Thabari menafsirkan didalam kitabnya boleh saja Mengunakan harta tersebut, Dan tidak mengambil keuntungan sepeserpun.

Keempat, tahap perkembangan kodifikasi tafsir pada masa ini, penulisan tafsir masih mengambil corak bi al-ma’tsur meskipun sudah mulai ada perubahan pola dalam pengambilan sanad. Perubahan yang terjadi dalam tafsir diantaranya sanad-sanadnya mulai diringkas, banyak penafsir yang menukil perkataan atau pendapat dari para penafsir pendahulu mereka tanpa mencatat asal mula dan pemilik pendapat tersebut secara detail. Oleh karena itu muncullah beberapa permasalahan dalam tafsir ditahap ini, yaitu bercampurnya antara riwayat pendapat yang sahih dan yang tidak sahih.

PENUTUP
Kesimpulan
1.      Untuk  memahami Alquran secara baik dan benar diperlukan ilmu yang cukup, sehingga menghasilkan penafsiran yang utuh.
2.      Bentuk penafsiran Alquran mengalami perkembangan dan perubahan sejak masa Nabi Muhammad saw sampai saat sekarang.
3.      Independensi tafsir dari kitab-kitab hadis dimulai pada abad kedua hijrah, yang dilakukan oleh al-Farra’ dengan kitabnya Ma’anil Quran dan kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti at-Thabari dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Farra’, Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad, Ma’anil Quran, Jilid 1, Beirut, ‘Alimul Kutub, 1983,
al-Dzahabi Muhammad Husein, Tafsir Al-Quran Sebuah Pengantar, terjemahan M. Nur Prabowo, Jogjakarta, Baitul Hikmah Press, 2016.
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2012
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran,Jakarta, Pustaka Firdaus, 2012
Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, al-Kautsar, 2006
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Quran/Tafsir, Jakarta Bulan Bintang


[1] Kementerian Agama RI, Mukaddimah Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2011, hlm. 35.
[2] As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, al-Itqan fi Ulumil Quran, terjemahan Jilid I, Surabaya, Bina Ilmu, tanpa tahun, hlm. xx.
[3] Muhammad Quraish Shihab, membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 71
[4] Ibid, hlm. 45.
[5] Ibid, hlm, 50.
[6] Idri, Hadits dan Orientalis : Persfektif  Ulama Hadis dan Para Orientalis  tentang Hadis Nabi,Jakarta, Kencana, 2017,  hlm.46.
[7] Ibid, hlm.46.
[8] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 73.
[9] Kementerian Agama RI, Mukaddimah Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2011, hlm. 51.
[10] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm. 73
[11]  Al-Farra’, Abu Zakaria Yahya Ibn Ziyad, Ma’anil Quran, Jilid 1, Beirut, ‘Alimul Kutub, 1983,  hlm. 12
[12] Ibid, hlm. 13
[13] Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, al-Kautsar, 2006, hlm. 426
[14]  Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsir Alquran : Sebuah Pengantar, terj. M.Nur Prabowo. S. Yogyakarta, Baitul Hikmah Press, 2016, hlm. 43
[15] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ulum al-Quran/Tafsir, Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 275-276
[16]  Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2012, hlm. 347
[17] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran,Jakarta, Pustaka Firdaus, 2012,  hlm. 413-414

0 comments:

Posting Komentar