MEMPELAJARI HADIS DAN KEUTAMAANNYA


Oleh : Japar, S.Ag

Fenomena menghafal dan mengkaji Alquran di kehidupan umat Islam saat ini sangat membanggakan. Rumah-rumah mengaji Alquran dan lembaga tahfiz bermunculan. Geliat keagamaan seperti ini seyogianya terus dikembangkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Kegiatan ini menjadi sebuah upaya untuk memasyarakatkan  Alquran, bukan hanya pada level membaca, namun lebih dari itu, level pengamalan menjadi hal yang fundamental. Sehingga Alquran menjadi sesuatu yang membumi.
Satu hal yang sangat jelas adalah umat Islam sangat mementingkan Kitabullah, menjaga, mengkaji, membaca, memahami dan menafsirkannya. Walaupun demikian, pengkajian hadis tidaklah dapat diabaikan. Berbicara masalah Alquran, tidak boleh lepas dari membicarakan hadis. Demikian pula sebaliknya. Keduanya, Alquran dan Hadis adalah pusaka yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad saw, yang harus mendapatkan porsi yang sama dalam menyikapinya.
Para ahli hadis sependapat bahwa tidak seyogianya seseorang mempelajari hadis, kecuali setelah belajar membaca Alquran dan menghafalnya, sebagian maupun keseluruhan. Suatu ketika Hafsh bin Ghiyats datang kepada  al-A’masy meminta riwayatkan sebuah hadis. Kemudian al-A’masy mengatakan, “Pergilah hafalkan Alquran dulu, baru datanglah kesini, dan aku akan meriwayatkan hadis kepadamu”. [1]Keterangan ini menunjukkan methode mempelajari hadis, yaitu dengan membuat uratan pertama belajar Alquran urutan pertama dan berikutnya belajar hadis. Namun tingkat kepentingannya dapat dikatakan sama diantara keduanya.
Kedudukan hadis terhadap Alquran sangat signifikan sekali. Secara umum hadis berfungsi sebagai  pedoman hidup umat Islam yang kedua setelah Alquran. Nabi saw bersabda :“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
Secara khusus fungsi Hadis terhadap Alquran adalah sebagai bayan   (penjelas) bagi Alquran. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nahl ayat 44, yaitu : “Dan Kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir”
Diantara bentuk bayan hadis bagi Alquran[2] adalah :
a.             Bayan al-Taqrir
Disebut juga bayan ta’kid. Bayan al-Taqrir atau bayan ta’kid yaitu memperkuat yang telah diterangkan di dalam Alquran
b.             Bayan al-Tafsir bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal (global).
c.              Bayan al-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Alquran, atau dalam Alquran hanya terdapat yang pokok-pokok (ashl) saja.
d.             Bayan al-Nasakh memberikan pengertian bahwa fungsi hadis terhadap Alquran adalah menghapus ketentuan yang terdahulu (yang terdapat didalam Alquran), dan hadis dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.
e.              Bayan al-Taqyid berarti fungsi hadis  memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat Alquran yang bersifat mutlak.
f.               Bayan al-Takhsis memberikan pengertian bahwa fungsi hadis adalah dalam rangka mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum.

Banyak riwayat membuktikan bahwa para Sahabat mempelajarai dan menghafal hadis ketika masih hidup[3]. Hal ini membuktikan betapa hadis sangat dipentingkan. Berikut ini beberapa perintah dan keutamaan mempelajari hadis.
a.       Umar ra. berkata, “Pelajarilah fara’idh dan sunnah, sebagaimana kalian mempelajari Alquran”.
b.      Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Kunjung-mengunjunglah kalian dan saling belajar hadis. Sebab bila kalian tidak melakukannya, maka ia akan lenyap”
Para sahabat dan tabi’in  adalah teladan dalam mempelajari hadis. Bagaimana perjuangan dan kegigihan mereka dalam mempelajari hadis.  Melakukan perjalanan ilmiah dari satu kota kekota lain adalah merupakan kisah yang biasa. Hal ini dimotivasi oleh semangat  mempelajari hadis dan ilmu yang berkaitan dengannya merupakan usaha mengikuti jejak Rasulullah menjadi sempurna.


[1] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, terj. HM. Qadirun Nur, Jakarta,Gaya Media Pratama, 2007, hlm.99.
[2] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta, Rajawali Press,  hlm. 57.
[3] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta,Pustaka Firdaus, hlm. 445.

0 comments:

Posting Komentar