MENJADI AHLI BEDAH TERNAMA BEGINI CARA SYEIKH YUSRI MENDIDIK NAFSU

 



Maulana Syekh Yusri Rusydi al-Hasani menerangkan dalam salah satu pengajian, cara menyikapi kesalahan supaya tidak terulang lagi. Dokter bedah Mesir itu kemudian berbagi pengalaman bagaimana beliau mendidik nafsu.

Syekh Yusri Rusydi bercerita panjang. Mari kita simak bersama:

Aku katakan kepadamu, kenapa Allah SWT menganugerahiku keahilan medis di bidang bedah, sampai kawan-kawan dan guruku mengakui kemampuanku.

Kamu tahu apa yang aku lakukan untuk mendidik diriku di awal-awal aku bekerja di profesi ini? Dalam mendalami ilmu bedah, diri juga perlu didikan agar sampai pada tingkat sebaik mungkin (ahli).

Dari semua pasien yang aku tangani atau aku beri resep obat, jika kuketahui ada yang meninggal, maka aku akan bepuasa 2 bulan. Aku menganggap diriku telah melakukan salah penanganan atau salah memberi obat sehingga ia meninggal.

Ayahku yang setiap hari mengunjungiku ke rumah pada awal-awal aku menikah, menemukan aku selalu puasa.

Setiap selesai berpuasa 2 bulan, ada saja pasien baru yang meninggal. Maka aku berpuasa 2 bulan lagi. Kami para ahli bedah dihadapkan pada pasien-pasien kecelakaan yang kemudian meninggal tanpa kesalahan kami.

Tapi terlebih dahulu aku menuduh diriku tidak memberikan penanganan yang semestinya untuk menyelamatkan si pasien. Tujuanku agar aku memperbaiki kemampuan diri, sehingga Allah SWT meninggikanku dalam bidangku.

Kita harus menuduh diri sendiri dahulu dengan maksud memperbaikinya, menuduh diri sendiri sebagai pihak yang memerintahkan kemungkaran. Lantas apa yang harus kita lakukan? Cambuk nafsu dalam diri sendiri.

Caranya dengan apa?

- Nafsu suka harta, maka bersedekahlah.

- Nafsu suka makan terus-menerus, buat ia lapar dan bawa puasa.

- Nafsu suka terus-menerus tidur, maka bangun malam dan shalatlah.

- Nafsu suka makanan tertentu, maka jangan makan yang kamu sukai.

Inilah caranya dan begini seharusnya yang dilakukan murid thariqah. Dia harus mengetahui bagaimana mendidik dirinya ketika melakukan kesalahan, sehingga dirinya mendapatkan pendidikan yang baik.

Ayahku berkata, “Nak, kamu pengantin baru, mengapa puasa tiap hari?! Tidak boleh begini.”

Aku pun menjawab, “Tidak apa-apa, aku sudah biasa.” Aku tidak mau mengatakan bahwa diriku mengecewakan karena pasienku meninggal. Aku tidak mau mengatakan hal itu agar beliau tidak marah padaku misalnya.

Aku dulu menganggap bahwa diriku berbuat kesalahan meski bisa saja sudah ajal pasien itu meninggal padahal aku sudah memberikan penanganan yang baik.

Setelah aku menjalaninya dalam tempo yang lama, alhamdulillah Allah SWT menyelamatkanku dalam bidangku, sehingga kebaikan mengalir lewat tanganku.

Demi Allah, banyak dokter bedah tatkala menghadapi pasien-pasien tertentu mengatakan, “Jangan ada yang berani memegangnya, karena dia akan meninggal.” Tapi aku masuk dan menanganinya. Setelah sepekan, dia keluar dari rumah sakit atau sudah membaik dan hidup.

Demi Allah, itulah yang terjadi. Sampai kawan-kawanku berkata, “Kondisi sulit kalau ditangani oleh dr. Yusri akan berbalik menjadi mudah.” Mereka mengatakan itu karena mereka melihat dengan mata mereka sendiri. Demi Allah.

Semua itu datang dari mana? 

Dari puasa berbulan-bulan yang aku lakukan. Agar aku lebih giat, lebih mempelajari, lebih maju di bidangku dan  memperbaiki kemampuanku.

Dan setelah aku sampai pada tingkat keahlian tinggi di bidangku, maka sudah tidak masalah lagi bagiku pasien yang meninggal ataupun yang hidup. Aku tidak lagi puasa karena aku sudah mempelajari dan menguasai bidangku.

Berbeda di masa-masa awal, aku masih belajar. Aku belum mengetahui bagaimana menghukum diri . Apakah aku melakukan hal benar seratus persen ataukah delapan puluh persen sehingga pasien meninggal?

Syekh Yusri kemudian memberikan nasehat bagaimana cara seorang murid thariqah berinteraksi di bidangnya, ibadahnya, juga dengan sesama manusia. Beliau melanjutkan cerita:

Dokter bedah merupakan profesi yang kompetisinya berat antara sesama ahli bedah. Bahkan terkadang saat aku menangani pasien yang kondisinya sulit, kawan-kawanku mengharapkan pasien meninggal. Kalau ia hidup, citraku akan naik di kalangan rumah sakit. Demi Allah aku melihatnya, bukan dari lisan tapi dari perilaku mereka. Iklim kompetisi di profesi ini memang buruk.

Saat-saat itu terjadi, aku memberi mereka hadiah. Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Saling memberilah kalian hadiah agar saling mencintai.”

Ketika mereka melakukan kesalahan di suatu kondisi, mereka memanggilku untuk memperbaiki.

Aku melakukan perbaikan kesalahan para ahli bedah di Rumah Sakit Ahmad Maher selama 20 tahun. Siang malam aku melakukan hal itu..

Aku bercerita dengan mikrofon karena kawan-kawanku akan mendengarnya. Mereka semua mengetahui, silahkan datang kalau ada yang mengatakan aku berbohong.

Kemudian selama 15 tahun, aku memperbaiki kesalahan di Rumah Sakit Umm al-Mashriyin.

Di Rumah Sakit Ahmad Maher, aku memperbaiki kesalahan yang terjadi di RS Khalifah, RS al-Munirah dan RS di daerah. Permintaan perbaikan itu ditujukan kepadaku saat berada di RS Ahmad Maher.  Itulah yang terjadi. Aku mengatakan ini bukan dengan maksud memaklumatkan diriku, karena insya Allah aku akan berhenti membedah dalam waktu dekat.

Aku hanya ingin menyampaikan padamu bagaimana Allah SWT membuat aku sampai di level ini, yaitu dengan menuduh diri bahwa aku melakukan kekurangan-kekurangan pada masa belajar. Aku terus menerus menuduh diriku sendiri bahwa aku belum mencapai ilmu yang cukup, latihan yang cukup, dan memberikan pelayanan yang cukup kepada pasien-pasienku, sehingga aku menghukum diri dengan berpuasa 2 bulan. Aku menganggap diriku telah melakukan pembunuhan yang tidak sengaja. Seandainya aku punya budak, mungkin aku telah memerdekakan 100 budak, tapi Allah SWT memuliakan kita.

Maksudku, setiap kita yang menjalani bidang profesi masing-masing agar mematai-matai dan mengoreksi diri.

Misalnya insinyur yang merancang jembatan, kemudian setelah 10 tahun, jembatan itu runtuh, maka dia wajib menghukum dirinya.

Orang yang merancang dan membuat jembatan besi di kawasan Abu Eila adalah orang Prancis. Dia juga yang membuat Menara Eiffel. Dia seorang arsitek, terhebat di bidangnya secara internasional.

Khedewi Ismail  mendatangkannya untuk membangun jembatan Abu Eila. Khedewi mengatakan, “Ssungai Nil merupakan lalu lintas kapal. Aku ingin jembatan yang bisa dibuka dan ditutup.”

Jembatan pun dibuat. Pada hari peresmian,  jembatan itu tidak bisa dibuka.

Apa yang dilakukan arsitek Prancis itu? Bunuh diri. Dia tidak kuat menghadapi kegagalan, karena jiwanya hidup dalam profesi yang digelutinya.

Aku tidak mengatakan padamu untuk bunuh diri. Aku tidak begitu. Aku mengatakan padamu bahwa ketika kamu gagal maka hukumlah dirimu dengan mencoba menjadi lebih baik dan lebih mendalam (itqan). Perbanyak belajar, tanya ahli di bidang itu, koreksi diri satu atau dua kali, supaya kamu istimewa di bidangmu.

Bidang yang kubicarakan ini umum. Bisa ibadah, sains, profesi, bisnis. Dalam bidang apa saja, kamu mesti sampai pada level itqan.

“Itqan diperoleh dengan menghukum diri sendiri dan menuduhnya semasa proses pembelajaran.” Pungkas syeikh yusri.

*Diterjemah oleh Ustadzah Hilma Rasyidah Ahmad

0 comments:

Posting Komentar