This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Seri Akidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seri Akidah. Tampilkan semua postingan

MENGGAMBARKAN TUHAN SEPERTI DIRIMU?

Andaikan lalat diberikan akal, lalu diberitahukan kepadanya bahwa Tuhan yang telah menciptakannya ternyata tidak memiliki sayap dan tidak mampu terbang kesana kemari hinggap sana sini, pasti lalat akan mengingkari informasi itu. Dia berpikir, mana mungkin tuhan tidak memiliki apa yang kami miliki. Kami saja memiliki dua sayap dan bisa hinggap kemana mana. Tuhan pasti sayapnya lebih besar dari sayap kami dan kecepatan terbangnya lebih dari kami.


Begitu pula, sebagian manusia hanya melihat dirinya sendiri sebagai manusia, lalu menggambarkan bahwa Tuhan yang maha kuasa haruslah berbentuk manusia dengan versi ukuran yang lebih besar, memiliki wajah tangan dan kaki, duduk di atas singgasana dan dikelilingi para ajudan yang siap menjalankan segala perintah. Manusia menggambarkan tuhan sebagaimana ia melihat seorang raja dari golongan manusia yang paling berkuasa di sebuah negeri.

Dengan yakinnya mereka mengingkari sifat Tuhan yang maha suci dari anggota tubuh, yang tidak bergerak dan tidak diam, yang tidak menempati ruang, yang tidak bertempat di langit maupun di bumi, yang pengetahuannya dan pengawasannya meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

Sumber : Ihya ulumiddin, kitab at-Tafakkur, vol 4.

FAHAM AKIDAH YANG SELAMAT

 Rasulullah SAW: "Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 diantaranya di dalam neraka dan hanya satu di dalam surga yaitu Al-Jamaah" (HR. Abu Daud). 

Dalam perjalanan sejarah umat Islam hingga sekarang terdapat banyak golongan dalam masalah akidah. Masing-masing golongan memiliki pemahaman tentang aqidah yang berbeda antara satu sama lainnya bahkan saling bertentangan. Ini adalah fakta yang tak dapat dipungkiri. Karena Rasulullah juga telah menegaskan melalui hadis tersebut.

Di antara banyaknya golongan tersebut, Ahlussunnah wal jamaah merupakan manhaj yang selamat dari kesesatan. Karena itu jalan ini harus kita tempuh untuk mendapatkan keselamatan. Aqidah inilah yang dianut oleh umat Rasulullah dari masa ke masa, yaitu para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka yang mengikuti jejak para sahabat tersebut dalam meyakini dasar-dasar akidah.

Penamaan Ahlussunah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah, dan penamaan Al-Jama'ah untuk menunjukkan para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar (mayoritas) dari umat Rasulullah. Dengan penamaan ini maka menjadi terbedakan antara paham yang benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan paham-paham firqah sesat seperti Mu'tazilah, Qadariyah,  Jahmiyah dan lain-lain. 

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa manhaj Ahlussunnah wal Jamaah adalah manhaj yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan kemudian diikuti oleh para sahabatnya dan generasi yang sesudahnya. Sejalan dengan perkembangan waktu, manhaj ahlussunnah ini tersistematisasikan melalui ulama yang terkenal yaitu Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sehingga, dalam literatur Islam, jika disebutkan nama Ahlussunnah wal Jama'ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy'ariyah dan kaum Maturidiyah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Hafiz Muhammad Murtadha az-Zabidi dalam pasal 2 pada kitab Qawaid  al-Aqaid dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya' Ulumuddin menuliskan sebagai berikut, "jika disebut nama ahlussunnah wal jamaah maka yang dimaksud adalah kaum Asy'ariyah dan kaum Maturidiyah". 

Dengan demikian, ada yang mengklaim bahwa ada satu golongan memproklamirkan ahlussunnah wal jamaah tapi tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah maka tidak dapat diakui sebagai ahlussunnah wal jamaah yang sebenarnya, yaitu yang mengikuti manhaj Rasulullah dan para sahabat serta orang-orang yang setia dengan ajaran Rasulullah.

Aqidah ahlussunnah wal jamaah hingga kini diajarkan di masyarakat Indonesia. Akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia, Malaysia, Brunei, India Pakistan, Mesir negara-negara Syam (Syria, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, dagestan, Afghanistan dan negara-negara lainnya.


Dikutip dari berbagai sumber.

TA’ALLUQ BEBERAPA SIFAT

A. Ta’alluq Sifat – Sifat Ma’âni

Ta’alluq menurut bahasa ialah; bergantung, berkaitan, bertalian berhubungan atau tercapai. Ta’alluq menururt istilah dalam kajian ilmu tauhid, khususnya sifat-sifat ma’âni adalah tentang sifat atas suatu pekerjaan setelah sifat itu berdiri pada zat. Ada beberapa macam ta’alluq, yaitu :

1.Ta’alluq sifat qudrat dan irâdat

Ta’alluq keduanya, kepada hal-hal yang jaiz atau yang mumkin saja, tidak ta’alluq kepada hal-hal; yang wajib dan tidak juga kepada hal-hal yang mustahil. Jika kedua sifat ini ta’alluq kepada yang wajib, maka akan terjadi tahsîl al hasil. Yaitu, mengadakan yang memang sudah ada. Jika ta’alluq kepada yang memang wajib ada, maka akan bertukar hakekat yang wajib kepada jaiz. Jika kedua sifat ini mengadakan yang mustahil ada, maka akan bertukar yang mustahil, menjadi jaiz. Ini semua tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, kedua sifat ini, hanya berta’alluq kepada yang jaiz, sebagai ta’alluq ta’tsir (memberi bekas/memberi efek), dengan perincian bahwa, sifat qudrat berkaitan dengan mengadakan dan meniadakan sesuatu, sedangkan sifat irâdat berkaitan dengan menentukan dan menghendaki sesuatu yang sesuai dengan pilihan-Nya.

2. Ta’alluq sifat sama’ dan bashar

Ta’alluq kedua sifat ini, kepada segala yang maujud (yang ada), yaitu hal-hal yang wajib dan yang jaiz, tidak ta’alluq kepada hal-hal mustahil, karena mustahil itu memang tidak ada wujudnya. Nama ta’alluq kedua sifat ini adalah; ta’alluq inkisyâf, artinya terbuka bagi Allah Ta’ala segala yang maujûd. Hanya saja inkisyâf sama’, berbeda dengan inkisyâf bashar, karena inkisyâf sama’ berarti tersingkap atau keterbukaan segala yang maujûd melalui sama’ Allah Ta’ala , sedangkan inkisyâf bashar adalah, keterbukaan segala yang maujûd melalui bashar Allah Ta’ala. Tegasnya, segala yang berwujud, bersuara dan berbunyi, diketahui oleh Allah Ta’ala, melalui sama’ dan bashar-Nya, secara wajib pada hukum akal bukan jaiz pada hukum akal.

3. Ta’alluq sifat ‘ilmu dan kalâm

Kedua sifat ini, ta’alluq kepada hukum akal yang tiga, yaitu ta’alluq kepada hal yang wajib, kepada hal yang jaiz dan kepada hal yang mustahil. Maksudnya adalah, ‘ilmu Allah Ta’ala mengetahui segala hal yang wajib, hal yang mustahil dan hal yang jaiz. Tidak ada yang tertutup atau luput dari ‘ilmu-Nya. Ta’alluq sifat ini dinamakan ta’alluq inkisyâf juga, sedangkan sifat kalâm, dinamakan ta’alluqnya dengan ta’alluq dalalah, artinya menunjukkan atau menfirmankan segala hal yang wajib, mustahil dan jaiz adanya.

4. Sifat hayât

Sifat ini tidak ta’alluq kepada salah satu dari hukum akal yang tiga, karena sifat ini, hanya menjadi syarat sah bagi berdirinya sifat-sifat ma’âni yang enam itu kepada Zat.

B. Ta’alluq Sifat Ma’âni Satu Persatu :

1. Ta’alluq sifat qudrat
Yaitu, hubungan atau kaitan sifat ini dengan ciptaan atau perubahan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Sasaran ta’alluqnya adalah segala yang jaiz atau segala yang mumkin, yaitu :

a. Segala mumkin yang belum ada

Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang belum ada, adalah :

1) Menetapkan yang mumkin itu, dalam keadaan “tidak ada” selama waktu yang dikehendaki

2) Berubahnya yang mumkin itu, dari tiada menjadi ada.

b. Segala mumkin yang sudah ada.
Sedangkan bekas atau pengaruh ta’alluq qudrat kepada mumkin yang sudah ada, adalah :

1) Tetapnya yang mumkin itu, dalam keadaan “ada”, selama waktu yang dikehendaki
2) Berubahnya yang mumkin itu, dari satu kondisi kepada kondisi yang lain

3) Kembalinya yang mumkin itu, menjadi tidak ada
Dari keterangan diatas, maka keta’alluqan qudrat kepada segala yang mumkin, dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

1.1. Kelompok ta’aluq sulûhi qadîm (patut dalam azali)
Yaitu, kelayakan ta’alluq qudrat Allah Ta’ala, kepada segala yang mumkin pada azali dan kelayakannya adalah qadîm, karena qudrat itu bersifat qadîm. Oleh sebab itu, dinamakan ta’alluq sulûhi, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.

1.2 Kelompok ta’alluq tanjîzi hadits

Yaitu, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala secara langsung kepada segala yang mumkin, sehingga segala yang mumkin tadi mengalami perubahan, yakni menjadi ada atau kembali menjadi tidak ada atau berubah dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Oleh sebab itu, ta’alluq ini disebut dengan ta’alluq tanjîzi hadis.

1.3 Kelompok ta’alluq qabdlah

Yaitu, segala bentuk perubahan pada segala yang mumkin, berada dalam qabdlah (genggaman) qudrat Allah Ta’ala, dalam arti bahwa, tidak terjadi suatu perubahan pada diri sesuatu yang mumkin, kecuali dengan ta’alluq tanjîzi qudrat kepada suatu yang mumkin.
Akhirnya, ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada segala yang mumkin, ada tujuh macam, yaitu :

ad. 1.1 Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu kelayakan ta’alluq qudrat pada azali, kepada segala yang mumkin.

ad. 1.2 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin ma’dum ( tidak ada ), yaitu ta’alluq qudrat kepada mumkin, sebelum yang mumkin itu diciptakan.

ad. 1.3 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin ma’dum, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin ma’dum, untuk diciptakan, sehingga menjadi ada ia.

ad. 1.4 Ta’alluq qabdlah kepada mumkin maujûd ( yang sudah ada ), yaitu, mumkin yang sudah maujûd itu, tidak mengalami perubahan. Kecuali dengan ta’alluq qudrat secara tanjizi telah berlaku padanya, sehingga berubah.

ad. 1.5 Ta’alluq tanjîzi kepada mumkin maujûd, yaitu ta’alluq qudrat kepada yang mumkin maujûd, untuk dirubah menjadi kembali tidak ada.

ad. 1.6 Ta’alluq qabdlah kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu mumkin yang sudah ditiadakan, berada dalam qabdah qudrat, sebelum dibangkitkan kembali nanti dari kubur.

ad. 1.7 Ta’alluq tanjîzi kepada yang mumkin sudah ditiadakan, yaitu ta’alluq qudrat Allah Ta’ala kepada yang mumkin sudah ditiadakan, untuk dibangkitkan kembali pada hari pembalasan, yakni ; hari kiamat.

2. Ta’alluq sifat Irâdat

Yaitu, ketentuan Allah Ta’ala terhadap yang mumkin, dengan berkeadaan dari salah satu dua keadaan yang bertentangan. Misalnya si A, bila lahir boleh menjadi tinggi dan boleh menjadi pendek. Kekhususan bagi si A, yang lahir sebagai orang yang pendek, termasuk tugas dari ta’alluq irâdat. Setelah itu ta’alluq qudrat tanjîzi menciptakan si A betul-betul menjadi pendek. Demikian juga halnya ketentuan warna kulit, daerah dan nasab yang terlebih dahulu ditentukan oleh sifat irâdat. Untuk selanjutnya diciptakan oleh qudrat. Oleh sebab itu, ta’alluq irâdat, terbagi dua kelompok, yaitu :

2.1. Kelompok ta’alluq sulûhi qadîm

Yaitu, kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin, untuk mengkhususkan yang mumkin tersebut, agar mempunyai kondisi tertentu sebelum yang mumkin itu maujud. Kelayakan ta’alluq irâdat kepada segala yang mumkin adalah qadîm , karena bersifat qadîm, maka ta’alluq sulûhi bagi irâdat, bersifat qadîm juga.

2.2. Kelompok ta’alluq tanjizi qadîm

Yaitu, pengkhususan Allah Ta’ala secara langsung terhadap suatu yang mumkin, berkeadaan dengan suatu keadaan tertentu, sebelum yang mumkin itu diciptakan. Kekhususan yang demikian juga bersifat qadîm, karena Allah Ta’ala mengkhususkan ( menentukan ) suatu keadaan kepada yang mumkin dengan irâdat-Nya yang qadîm, maka ta’alluq tanjîzi bagi irâdat juga bersifat qadîm.
Dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa, segala yang mumkin bila adanya berkeadaan dengan suatu keadaan adalah, merupakan penjelmaan dari ta’alluq irâdat yang tanjîzi. Sehingga sebahagian ulama Tauhid, mengistilahkan bahwa; ta’alluq tanjîzi bagi qudrat adalah, “ qada’ ” dan penjelmaan yang mumkin ke alam nyata sesuai dengan ta’alluq tanjîzi irâdat, dinamakan dengan “qadar”.

Iradat Menurut Ahlussunnah :

Irâdat (kehendak / ketentuan Allah ) tidak mesti sejalan dengan perintah dan ridhoNya. Untuk itu ada empat macam :

1. Kadang dikehendaki Allah, disuruhNya dan diridhoiNya. Seperti iman orang yang diketahui Allah keimanannya, Misalnya, Abu Bakr Siddiq.
2. Kadang tidak dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya Abu Bakr.
3. Kadang dikehendakiNya, tidak diperintahNya dan tidak diridhoiNya. Seperti kafirnya orang-orang yang diketahui Allah, tidak akan beriman. Misalnya, Fir’aun, Qarun dan orang-orang bermaksiat
Kadang diperintahNya, tetapi tidak dikehendakiNya. Seperti berimannya Fir’aun, Qarun dan lain-lain.

3. Ta’alluq sifat sama’

Para ulama mutakallimin, berbeda pendapat tentang objek ta’alluq sifat sama’ (yang dita’alluqi oleh sama’). Sebahagian mereka menyatakan, bahwa, sama’ hanya ta’alluq kepada yang didengar saja, yaitu ; suara dan bunyi. Pendapat ini sangat logis, oleh karena adanya perbedaan pendapat ini, maka merekapun berbeda pendapat pula dengan apa yang didengar oleh nabi Musa as, dahulu. Sebahagian ulama menyatakan , yang telah didengar oleh nabi Musa as, adalah kalâm nafsi, sementara yang lain menyatakan adalah kalâm lafzhiy.
Selanjutnya sifat sama’ ini, mempunyai tiga segi ta’alluq, yaitu :

a. Ta’alluq sulûhi qadîm yaitu, ta’alluq sama’ dengan kita, sebelum kita diciptakan.
b. Ta’alluq tanjîzi qadîm yaitu, ta’alluq dengan Zat Allah Ta’ala
c. Ta’alluq tanjîzi hadits yaitu, ta’alluq sama’ kepada kita, setelah kita diciptakan.

4. Ta’alluq sifat bashar

Yaitu, ta’alluq kepada yang maujûd (telah ada), baik berupa zat, maupun sifat dari suatu yang mumkin. Bashar juga mempunyai ta’alluq yang sama dengan ta’alluq sama’.

5. Ta’alluq sifat ilmu

Sifat ilmu, hanya memiliki dua segi ta’alluq, yaitu :
a. Ta’alluq sulûhi qadîm

Yaitu, kelayakan atau kepatutan sifat ilmu ta’alluq kepada
segalanya; (wajib, mustahil dan jaiz), dengan berbagai keadaan tanpa perantara, tanpa mumkin ada pada azali dan kelayakannya tingkatan pengetahuan, (waham, syak, Zhan dan yakin ) dan tanpa didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh karena itu, ilmu bersifat qadîm. Maka kelayakan ilmu ta’alluq kepada segala-galanya adalah; qadîm, maka ta’alluq ini disebut, dengan ta’alluq sulûhi qadîm.

b. Ta’alluq tanjîzi qadîm

Yaitu, ta’alluq ilmu Allah kepada segala-galanya secara langsung, dengan kondisi yang telah disebutkan. Mustahil ilmu Allah Ta’ala yang maha tahu atas segala sesuatu, didahului oleh ketidaktahuan (jahil). Oleh sebab itu , ta’alluq tanjîzi ilmu Allah itu juga qadîm, dengan arti kata, Allah Ta’ala tdak pernah tidak tahu; pada suatu ketika; masa yang lalu, sekarang atau yang akan datang. Karena ilmu-Nya meliputi segala waktu dan tempat.


Baca Juga : Abu-Hasan-al-Asyari-Tokoh-ahl-sunnah-

 

6. Ta’alluq sifat kalâm

Sebelum menjelaskan ta’alluq sifat kalâm, terlebih dahulu akan dijelaskan macam-macam kalâm, yaitu :
a. Kalâm Nafsi
b. Kalâm Lafzhiy

Kalâm Nafsi adalah, kalâm yang tidak mempunyai huruf dan tidak mempunyai suara atau bunyi. Manusia juga mempunyai kalâm nafsi yaitu ; kata jiwa, ide dan kata hati atau perasaan yang belum diutarakan atau belum diucapkan, ketika belum menjadi alat komunikasi.
Kalâm Lafzhiy adalah ; lafazh–lafazh yang mengibaratkan kalâm nafsi, yakni lafazh yang diucapkan atau perwujudan dari kalâm nafsi, yang sama dengannya dan tidak serupa dengan keberadaannya, karena kalâm Lafzhiy telah berhuruf dan berbunyi.

Memahami kedua kalâm ini, maka Al-Qur'an dalam arti kalâm nafsiy adalah; sifat Allah Ta’ala yang qadîm. Sedangkan Al-Qur'an dalam arti kalâm Lafzhiy yang ada didalam mushaf adalah hadits. Inilah yang disampaikan Jibril kepada Muhammad SAW, tertulis dan tersusun. Al-Qur'an inilah, yang haram disentuh tanpa suci, dan Al-Qur'an ini pula, yang sering dibaca dan ada pahalanya. Maka ia ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz, sebagai ta’alluq dalalah. Ta’alluq kepada yang wajib, mustahil dan jaiz disebut dengan ta’alluq tanjîzi qadîm. Sedangkan ta’alluq sifat kalâm kepada hal yang jaiz, ada tiga macam, yaitu :

a. Ta’alluq tanjîzi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal jaiz dari segi ada atau tidaknya.

b. Ta’alluq tanjîzi hadits, yaitu ta’alluq kalâm, kepada hal yang jaiz itu dari segi hukum yang jaiz pula, untuk menjadi pegangan.

c. Ta’alluq sulûhi qadîm, yaitu ta’alluq kalâm kepada hal yang jaiz, dari segi ada atau tidak adanya, maupun dari segi hukum kejaizannya (kebolehan) sebagai ta’alluq kelayakan.

Demikianlah ta’alluq sifat ma’âni, yang telah diuraikan satu-persatu, kecuali sifat hayât. Sifat ini tidak mempunyai ta’alluq, sebab ia hanya menjadi syarat sah bagi sifat-sifat ma’âni, yang lain untuk berdiri (tetap ada) pada zat Allah Ta’ala. 

Referensi  : Berbagai sumber

ABU HASAN AL-ASY'ARI : TOKOH AHL SUNNAH WA AL-JAMA'AH


Namanya Abu Al-Hasan al-Asy'ari (874-936 M).  Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr  Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa  bin Bilal bin  Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari. 


Sebutan al-Asy’ari  merupakan nisbat pada Asy’ar,  lelaki dari suku Qahthan  yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman.  Dari suku Asy’ar  ini,  lahir seorang sahabat terkemuka dan dikenal sangat alim sehingga termasuk salah satu ahli Fikih di kalangan sahabat Nabi saw yaitu Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari (wafat 665 M).


Sejak masih muda, Abu Al Hasan al Ashari telah ditinggalkan oleh ayahnya.  Kemudian,  atas wasiat ayahnya,  Abu al-Hasan al-Asy’ari diarahkan untuk belajar dan mendapatkan sanad hadis kepada murid terbaik Imam Ahmad bin Hanbal,  bernama Syeikh Zakaria as-Saji. Guru hadisnya yang lain adalah Abu Khalaf al-Jahmi,Abu Sahl bin Sarah,  Muhammad bin Ya'kub Al-Muqri,  Abdul Rahman bin Khalaf al-Bashri. 


Dalam ilmu kalam ia belajar langsung kepada ayah tirinya Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh ulama Mu’tazilah sebagaimana yang ditulis Shalahuddin as-Shafadi dalam kitab al-Wagi bil Wafayat.


Pengaruh Mu’tazilah telah mewarnai hidupnya sampai  ia berusia 40 tahun. Namun setelah itu ia kembali kepada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dia melontarkan pertanyaan kritis yang membuat  al-Juba’i tak mampu memberikan jawaban yang konprehensif.. Karena tidak dapat mendapat jawaban yang memusakan dari ayah tirinya tersebut  dia mengadu kepada Allah. Allah memberinya hidayah kepadanya melalui mimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Rasulullah, dan kemudian Rasulullah bersabda : “Ikutilah sunnahku”. Mimpi itu terjadi berulang kali.


Dari situlah kemudian al-Asy’ari mulai melakukan kontemplasi selama lima belas hari. Dalam kontemplasinya, ia menulis al-Luma’ sebagai  pembelaan terhadap manhaj ahl al-sunnah wa al-jama’ah di rumahnya. Setelah lima belas hari, ia keluar rumahnya memproklamirkan  bahwa dirinya tidak lagi mengikuti akidah yang berdasarkan pemahaman Mu’tazilah, tapi mengikuti manhaj ahl al-sunnah wa al-jama’ah


Dalam menyebarkan ajaran akidah yang sesuai dengan sunnah Rasul, al-Asy’ari menulis buku yang sangat fundamental berjudul Maqalat al-Islamiyyin. Menurut Ibnu Asakir, Abu hasan al-Asy’ari  memiliki 90 karya tulis. Menurut Ibnu Katsir karya al-Asy’ari sebanyak 55 buah. Sedangkan menurut Tajuddin al-Subki, sang Imam memiliki 21 karya tulis. Namun, sampai saat ini hanya ada delapan karyanya yang tercetak.


Adz-Dzahabi menulis  bahwa  al-Asy’ari  tidak pernah mengkafirkan seorang muslim pun. Alasannya karena sama-sama ahl al-qiblah. Perbedaan  yang terjadi diantara mereka dalam hal pemahaman akidah  adalah dalam penjelasannya saja. Sehingga ketika  menjelang wafatnya, dia berwasiat  kepada murid-muridnya untuk tidak mengkafirkan sesama umat Islam. 


Bagi kalangan umat Islam Indonesia, Abu Hasan al-Asy’ari adalah rujukan dalam bidang akidah, seperti halnya Imam Syafi’i sebagai referensi dalam bidang fikih. . Akidah ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah corak pemahaman akidah yang dibawa oleh para ulama ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk lebih mengetahui tentang bagaimana ajaran akidah menurut persfektif ahl sunnah wa al-jama’ah hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang ditulis oleh al-Asy’ari dan para murid dan penerusnya yang ikhlas dan jujur menulis dan menyampaikan ajaran akidah ini.

Dikutip dari berbagai sumber. 


Pematang Cengkering,  07 Juni 2023

Japar, M.Ag