BERKENALAN DENGAN TAFSIR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMIN
JAPAR, S.Ag
Alquran adalah kitab suci yang dijadikan pegangan dan rujukan umat Islam dan akan kekal sepanjang masa. Tetapi banyak kalangan umat muslim yang belum dapat memahami isi yang disampaikan Alquran secara utuh, oleh sebab Alquran bersifat global(umum), maka Alquran membutuhkan penafsiran.
Atas dasar ini pula beberapa mufassir Indonesia ingin menafsirkan Alquran guna memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat Indonesia, diantaranya adalah Kyai Haji Ahmad Sanusi yang telah melahirkan karya tafsirnya yaitu Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn .
Disamping itu pula menjelang abad ke-20 dampak Penjajahan bagi kondisi umat Islam di Indonesia terasa sampai kepada kehidupan beragama masyarakat. Pada akhirnya, rentang tahun 1900-1945 mulai bermunculan gerakan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Organisasi atau pergerakan mulai bermunculan dan mempunyai ideologi yang sangat bervariatif. Organisasai-organisasi keislaman juga mulai menunjukkan kiprahnya dalam menentang imperialisme barat. Mulai dari berdirinya Sarekat Islam, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlotul Ulama, Persatuan Ulama, Persatuan Umat Islam dan organisasi keislaman lain yang menolak imperialisme barat di tanah air. Dari semua organisasi keislaman yang ada ketika itu, memiliki perbedaan pandangan ideologi, visi atau anggaran dasar yang berbeda.
Situasi ini menimbulkan keprihatinan dan memicu sejumlah tokoh ulama di Nusantara untuk bergerak mempelopori perbaikan khususnya kehidupan keislaman masyarakat. Maka Kyai Haji Ahmad Sanusi merupakan salah satu tokoh yang ingin melakukan perbaikan-perbaikan keagaman umat islam melalui tulisan-tulisannya.
Makalah ini sekilas memaparkan
tentang keberadaan Tafsir Tamsyiyyat
al-Muslimîn dan penulisnya serta setting masyarakat
pada waktu penulisan tafsir tersebut. Semoga kita dapat belajar dari yang telah dilakukan dan dipersembahkan oleh
para ulama-ulama terdahulu dan dapat mengaplikasikannya dalam konteks kekinian.
A. Mengenal Penulis Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn
Kyai Haji Ahmad Sanusi dilahirkan di Desa Cantayan, Kecamatan Cibadak, Sukabumi Jawa Barat, pada tanggal 18 september 1888.[1] Ayahnya bernama Abdurrahim bin H. Yasin (w. 1950), seorang pemimpin Pondok Pesantren Cantayan Sukabumi.
Sejak usia tujuh tahun sampai lima belas tahun, Ahmad Sanusi menuntut pengetahuan agama dan keterampilan menulis huruf Arab dan Latin dari ayah kandungnya sendiri. Sehingga hampir dipastikan selama pendidikan masa mudanya, ia tidak pernah mengenyam pendidikan umum.[2]
Pada tahun 1903 atas anjuran ayahnya, ia mulai turun gunung untuk berguru kepada sejumlah ulama di Wilayah Jawa Barat. Secara berurutan Ia belajar kepada K.H. Muhammad Anwar (Pesantren Salajambe Cisaat), K.H. Muhammad Siddik (Pesantren Sukamantri Cisaat), K.H. Djenal Arif (Sukaraja), kemudian ke Pesantren Cilaku dan Ciajag Cianjur, K.H. Sudjai (Pesantren Gudang Tasikmalaya) dan K.H. Syatibi (Pesantren Gentur). Di tiap pesantren yang pernah ia singgahi, Ahmad Sanusi hanya belajar antara dua bulan hingga satu tahun.
Tak lama setelah meninggalkan Pesantren Gentur, pada tahun 1909 Ahmad Sanusi berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil bermukim memperdalam ilmu agama di sana. Di Mekkah ia berguru langsung kepada beberapa muftî mazhab Syâfiî, seperti: pada Syaikh Alî al-Mâlikî, Syaikh Alî al-Tayyibî, Syaikh Junaedi, Syaikh Saleh Bafadil dan Sa’îd Jawani. Di samping itu, ia juga pernah berguru kepada Syaikh Mahfudz Termas. Selain belajar masalah-masalah agama, ia juga mulai mempelajari buku-buku tentang modernisme Islam dan juga pelajaran umum seperti fisika.
Bulan Juli 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Pesantren Cantayan dan membantu pekerjaan ayahnya mengajar para santri. Di sana ia mencoba memperbaharui kurikulum dengan mulai menerapkan sistem klasikal termasuk teknik mengajar Pesantren Cantayan. Di samping itu, dengan bekal keilmuan dan pengalaman hasil pergaulannya yang luas selama di Makkah, ia sering mengadakan diskusi-diskusi keilmuan seputar persoalan- persoalan yang berkembang pada waktu itu.
Pengaruhnya di wilayah Sukabumi lebih terasa ketika pada tahun 1917 ia mulai menerbitkan sebuah buku yang berjudul al-Lu’lu’ al-Nadîd, sebuah kitab yang menguraikan persoalan tauhîd dalam bentuk tanya jawab. Ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Ahmad Sanusi ketika ia kembali ke tanah kelahirannya. Setelah buku itu beredar luas, Ahmad Sanusi mulai dikenal oleh kalangan di wilayah ini yang lebih luas lagi cakupannya. Akibatnya banyak para santri yang mulai membanjiri pesantren ayahnya sehingga kapasitas pesantren itu tidak dapat menampung lagi. Kemudian ayahnya menganjurkan Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren sendiri di daerah Genteng, Sukabumi yang kemudian dikenal dengan Pesantren Genteng.[3]
Pesantren Genteng bagi Ahmad Sanusi dijadikan tempat untuk merefleksikan dan memformulasikan ide-ide yang terkandung dalam al-Quran. Maka, tak heran kalau Ahmad Sanusi menjadikan tafsir sebagai mata pelajaran yang utama di Pesantren Genteng. Sebelumnya juga di pesantren ayahnya di Cantayan ia memegang spesialisasi pelajaran tafsir. Keinginanya itu bukan hanya sebatas teori saja, lebih jauh lagi ia mengimplementasikannya dalam bentuk aksi.
Misalnya ia berani mengkritisi intitusi-institusi keagamaan yang dibentuk dan dilegitimasi oleh pemerintah Belanda sebagai lembaga kepenghuluan. Di antara pemikiran-pemikiaran kritisnya ini adalah: pertama, pendapatnya tentang tidak wajibnya zakat fitrah dikumpulkan oleh para ‘âmil dari pekauman untuk kemudian disetorkan kepada na‘ib dan diteruskan ke penghulu kepala di kabupaten. Kedua Ahmad Sanusi berpendapat mengenai makruhnya tradisi selametan ketiga harinya, ketujuh harinya, dan seterusnya bagi yang telah meninggal yang menurut asumsinya, tradisi itu berasal dari pengaruh agama Hindu, bukan murni ajaran Islam. Ketiga, pendapatnya tentang tidak wajibnya mendoakan bupati dalam khutbah jum‘at.
Pada tanggal 28 Januari 1931 Ahmad Sanusi menerbitkan buku tafsir pertamanya dalam bahasa Sunda dengan menggunakan huruf Arab (aksara pegon) yang berjudul Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, walaupun ia harus berhadapan dengan para ulama setempat yang masih berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran ke bahasa selain Bahasa Arab adalah haram hukumnya.
Tindakan antagonis yang dilakukan ulama setempat menjadi lebih keras lagi ketika ia menerbitkan buku tafsir keduanya yang mentransliterasi hurup Arab al-Quran kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al- ‘ÂlamÎn. Bahkan selanjutnya ia dianggap telah menjadi kafir dan dirinya halal untuk dibunuh. Tetapi keadaan demikian tidak menyurutkan niatnya untuk menerbitkan tafsir tersebut. Karena ia berkeyakinan tindakannya itu adalah benar demi memajukan pemikiran dan apresiasi umat Islam terhadap al-Quran sebagai dasar hukum pertama dalam agama Islam.[4]
Diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Asy‘âriah atau Ahl al- Sunnah wa al-Jamâ‘ah dalam bidang teologi, dan bermazhab Syafiî dalam bidang fiqh. Aliran inilah yang selanjutnya banyak mempengaruhi jalan pikirannya untuk mengaplikasikan semua kegiatannya sehari-hari termasuk dalam menulis semua karya yang ditulisnya.
Ide-ide reformasi Ahmad Sanusi, sebenarnya mempunyai kesamaan dengan yang dikemukakan reformis lainnya yang berdomisili di Jawa Barat, seperti Persatuan Islam (PERSIS) dan Majelis Ahli Sunnah Cilame (MASC). Namun demikian, Ahmad Sanusi mengatakan bahwa pintu ijtihâd masih terbuka, ia sendiri mengaku tidak berijtihâd dan masih berpegang kepada Imam Mazhab , sehingga ia pun mendapat serangan dari organisasi diatas. Oleh sebab itu, Ahmad Sanusi pada waktu itu mendapat lawan dari dua arah. Disatu sisi ia bersebrangan dengan Islam tradisional yang diwakili oleh fihak pekauman, disisi lain, ia pun membela Islam tradisional dari gempuran organisasi tajdîd yang mempunyai jargon kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
D. Karir dan Aktivitas
Selama bermukim di Makkah, selain belajar dan memperdalam ilmu agama, Ahmad Sanusi juga mulai berkecimpung dalam dunia politik. Terjunnya di bidang ini diawali dengan perjumpaannya dengan tokoh Sarekat Islam (SI) di Mekkah yang bernama Abd al-Mulûk. Setelah memperlihatkan sebagian besar anggaran dasar organisasi SI, Ahmad Sanusi mengatakan setuju untuk bergabung ke dalam organisasi tersebut. Sehingga di sana ia mulai bergaul dan bertukar informasi dengan tokoh-tokoh pergerakan yang ada di sana yang mempengaruhi pola pemikirannya.
Setelah enam tahun mencari ilmu di kota suci Makkah, akhirmya tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi. Dia langsung ditawari oleh presiden SI Sukabumi untuk menjadi penasihat organisasi tersebut. Ia mengabulkan permintaan tersebut tetapi disertai dengan beberapa syarat.
Namun ia tidak lama duduk sebagai Penasihat SI lokal. Ia mengajukan berhenti dengan alasan tidak lagi mengerti akan sepak terjang SI. Namun sering berhubungan dengan SI lewat para santrinya yang menjadi anggota organisasi itu. Dalam rapat-rapat terbuka SI pun ia masih sering diundang.
Pada tahun 1927 terjadi aksi sabotase pada jaringan kawat telepon di 2 tempat yang menghubungkan kota Sukabumi-Bandung dan Sukabumi-Bogor. Pihak penguasa sempat langsung mengalamatkan dalang aksi pengrusakan kepada Ahmad Sanusi. Asumsi penguasa tersebut adalah kejadian itu terjadi dekat pesantren genteng yang dipimpinnya.[5]
Walaupun pemerintah Imperialisme tidak mampu membuktikan semua tuduhannya itu, keputusan surat penahanan tetap dikeluarkan juga. Atas pertimbangan yang diberikan Gubernur Jawa Barat Hanelust; Adviseur Voor Inlandse Zaken; Procereur Generaal J.K. Onnen; Raad Van Indie, J. Van der Marel; dan Direktur kehakiman, D. Rutgers; Gubernur jenderal memutuskan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke tanah tinggi, Batavia Centrum.
Dipengasingan Ahmad Sanusi untuk menulis dan menerbitkan buku seperti buku tafsîr, fiqh, tauhîd dan lain-lain. Bahkan dari peristiwa ini sampai akhir hayatnya lebih dari 404 karya dalam bidang keagamaan yang telah dihasilkan oleh Ahmad Sanusi. Selain itu Gunsaikanbu sebagai badan pertahanan negara Jepang telah mendokumentasikan karya tulis Ahmad Sanusi sebanyak 101 buah sewaktu pemerintahannya menjajah Indonesia.
Masuknya faham tajdīd (pembaharuan) ke Sukabumi sekitar tahun 1920-an telah membawa keresahan umum di masyarakat. Terjadinya kelompok yang pro dan kontra antara keduanya menimbulkan kebingungan kaum awam untuk memilih salah satunya. Agresifitas kaum pembaru (Mujaddid) yang mengobrak- abrik nilai-nilai keagamaan yang sudah terlebih dahulu mempunyai kemapanan di daerah Jawa Barat itu telah membentuk masyarakat Sukabumi menjadi kelompok-kelompok yang antara satu dengan yang lainnya saling mempertahankan fahamnya secara egoistis.
Keadaan semacam ini tidak lepas dari monitoring Ahmad Sanusi yang pada waktu itu sedang ada dalam pengasingan di Batavia untuk kemudian melontarkan sebuah ide agar para tokoh-tokoh Islam di daerah Priangan bersatu dalam satu langkah dan pemikiran. Gagasan ini disampaikannya kepada para tokoh yang sering menjenguknya ke tempat pengasingannya untuk selanjutnya dimusyawarahkan bersama para tokoh lainnya agar keadaan sosial keagamaan di Sukabumi menjadi semakin kondusif.
Setelah para kyai yang berdomisili di Sukabumi tersebut melakukan diskusi dan saling tukar pikiran, maka diputuskan untuk mendirikan organisasi yang diberi nama al- Ittihâdiyat al-Islāmiyyah (AII) di Batavia pada bulan November 1931. AII juga mendirikan dan mengelola sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim piatu, koperasi toko, dan Bait al-Mâl.[6]
Disamping itu, AII juga menerbitkan buku-buku pelajaran agama dan majalah yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara mereka dan masyarakat. Majalah atau buletin yang mereka terbitkan yaitu: al-Hidayat al-Islâmiyyah, al-Tablîgh al-Islâm, al-Mīzân, dan al-Dalīl. Melalui media itu antara lain mereka menjawab masalah-masalah praktek keagamaan, ekonomi dan sosial.[7]
Pada 1 Agustus tahun 1939, organisasi ini membuka sekolah yang mengajarkan pengetahuan umum yang berlandaskan Islam dengan kurikulum baru yang lebih disempurnakan yang diberi nama AII School met den Qoer’an.
Meskipun secara resmi AII menyatakan dirinya Organisasi non politik, tetapi dalam perkembangannya AII menjadi sebuah organisasi yang menjadi sebuah organisasi sosial yang paling militan di Jawa Barat. Hal ini terlihat dari hubungan yang erat antara AII dengan Pasundan, Partindo, dan PNI. Banyak para tokoh AII yang menjadi pemimpin–pemimpin Partindo dan Gerindo. Sebaliknya juga banyak para fungsionaris PNI dan Partindo yang mengajar di sekolah-sekolah AII. Keterlibannya dalam politik terlihat juga dalam tulisan-tulisan mereka, misalnya: Indonesia Ibu Kita dan Islam dalam Politik Internasional yang intinya menggugah bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasib serta tanah kelahirannya, Yang dimuat dalam majalah tengah bulanan Swara Muslim, yang beredar bulan Juli dan Agustus tahun 1933.
Keterlibatan organisasi AII yang mewarnai dunia politik tersebut lambat laun membuat khawatir dan curiga fihak Kolonialisme Belanda. Sehingga ada keinginan dari penguasa setempat agar penahanan Ahmad Sanusi sebagai tokoh utama AII diperpanjang, supaya tidak mempertajam pengaruh AII kepada masyarakat.
Namun usul itu kemudian berubah, terutama setelah Gobee memberikan pandangannya terhadap Ahmad Sanusi dalam surat yang ditulisnya tanggal 5 Pebruari 1934. Menurutnya kekhawatiran pejabat setempat terhadap Ahmad Sanusi, pada dasarnya dilandasi oleh rasa sentimen pribadi. Menurut Gobee, memang tidak dapat disangkal bahwa Ahmad Sanusi cukup pintar dan berintelejensia tinggi, sehingga membuat ahli tafsir sejawatnya menjadi iri. Ditambah lagi dengan keberanian dan kepercayaan dirinya yang begitu tinggi telah menggoyahkan kyai pekauman serta ulama lainnya dimata masyarakat. Bagaimanapun menurut Gobee, membawa kembali Ahmad Sanusi ke daerah Sukabumi harus terlaksana. Sebab dengan kehadirannya di wilayah itu, justru supaya dia bisa dimintai tanggung jawab atas semua aktivitas AII.Selanjutnya pemerintah akan mempunyai alasan kuat untuk mengasingkannya kembali dari daerah itu.[8]
Kurang lebih tiga bulan kemudian, Procureur Generaal mengirim surat kepada Gubernur Jendral yang isinya setuju dengan sebagian pemikiran Gobee. Dia setuju Ahmad Sanusi dikirim kembali ke Sukabumi asalkan tetap dalam status tahanan kota dan tidak boleh kembali ke pesantrennya di Kampung Genteng. Artinya ketentuan-ketentuan yang berlaku di Batavia atas tokoh AII itu tetap dipertahankan, hanya tempatnya saja yang dipindahkan ke kota Sukabumi.dalam hal ini Direktur Kehakiman menyatakan setuju dengan Procureur Generaal. Persetujuan juga datang dari Raad Van Indie. Atas dasar surat-surat dan saran itulah akhirnya Gubernur Jenderal mengeluarkan satu keputusan untuk memindahkan penahanan Ahmad Sanusi ke Sukabumi.
Bulan Agustus 1934 setelah rumah tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan, dia memboyong kembali keluarganya ke Sukabumi. Karena tidak bisa kembali ke Pesantennya di Genteng, maka ia memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Bhayangkara no. 31 Sukabumi. Disana ia mendirikan pesantren yang dinamakan Pesantren Syams al-Ulûm atau yang kemudian hari lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh, yang dibuka pertama kali untuk umum pada tanggal 20 Desember 1937.
Sistem pendidikan yang dipakai oleh pesantren ini adalah sistem pendidikan klasikal yang telah disusun kurikulum serta jenjang pendidikannya, mulai dari tingkat dasar; tingkat menengah; dan tingkat tinggi dengan lama pendidikan yang ditempuh masing-masing sekitar 4 tahun. Dengan demikian maka bentuk dari pesantren ini adalah sebuah perguruan pendidikan yang bersifat modern.
Pada Mei 1943 ia diangkat menjadi instruktur sebuah latihan permanen bagi para kyai (Kaikyo Kyoshi Koshu-co) yang diselenggarakan oleh Jepang dalam rangka konsolidasi politiknya terhadap Umat Islam Indonesia. Selain itu, salah satu anggota AII yang diketuai oleh Ahmad Sanusi, yakni R.M. Syamsuddin diangkat menjadi ketua gerakan Tiga-A (Nipon Pemimpin Asia, Nipon Pelindung Asia dan Nipon Cahaya Asia) yang bertugas mengorganisir kaum intelektual, kelompok-kelompok Agama, pejabat pemerintah dan priyayi, dan juga anggota AII lainnya, yakni H.M. Basyuni dan K.H. Abdullah bin Nuh yang juga diangkat sebagai perwira tinggi PETA.
AII sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan pada 27 Juli 1942 pernah dibubarkan oleh Jepang. Namun dengan kemampun diplomasi yang dimiliki Ahmad Sanusi, ia dapat bernegosiasi dengan fihak Jepang, pada tanggal 1 Pebruari 1944 organisasi tersebut dihidupkan kembali dengan syarat nama Arab al-Ittihâd al-Islâmiyyah diganti dengan nama Indonesia, menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Dengan diakuinya PUII secara resmi oleh Jepang, organisasi ini menjadi anggota istimewa di dalam Masyumi. Ahmad Sanusi sendiri diangkat menjadi anggota dewan Majlis Syûrâ Masyumi yang diketuai oleh K.H.Hasyim Asy’ari.
Pada bulan Januari 1944 ia diangkat menjadi Syuu Sangi Kai (dewan penasehat keresidenan Bogor. Tidak lama kemudian, pada bulan Desember 1944 ia diangkat menjadi Foku Shuchokan (Wakil Residen) Bogor, dimana ia satu-satunya dari kalangan kyai di Indonesia yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Sedangkan wakil residen yang lain biasanya diambil dari galongan para priyayi yang berpangkat tinggi.
Kedudukannya yang dekat dengan Jepang telah menjadikannya bisa duduk dalam keanggotaan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hal ini pula yang menyebabkan Ahmad Sanusi diangkat Menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan duduk sebagai anggota Komisi Pembela Tanah Air. Ahmad Sanusi mengusulkan konsep bentuk pemerintahan berbentuk Imâmah atau republik. Ia menolak bentuk negara ini menjadi kerajaan. Karena asumsinya, raja biasanya bertindak diktator dan berkuasa penuh.
Ahmad Sanusi wafat di kota Sukabumi senin malam, tanggal 15 Syawwâl 1369 H (1950 M.) dalam usia 63 tahun. Ia dikuburkan di samping pesantren yang didirikannya yakni, Pesantren Syams al-Ulûm Gunung Puyuh
B. Karya Ahmad Sanusi dalam bidang Tafsir
Seperti dari pengakuan Ahmad Sanusi sendiri, karangan-karangannya kebanyakan dicetak di percetakan Sayyid Yahya bin Usman Tanah, Abang Weltevredan, percetakan Sayyîd Abdullâh bin Utsmân, Petamburan. Disamping kedua percetakan itu, sebenarnya tidak sedikit karangan-karangan Ahmad Sanusi yang dicetak di percetakan Harûn bin Alî Ibrâhîm, Pakojan Betawi, percetakan al-Ittihâd baik yang di Batavia maupun yang di Sukabumi dan percetakan Sayyîd Alî Idrûs. Adapun Percetakan di Sukabumi yang beralamat di Vogelweg No. 100 Sukabumi (sekarang menjadi jalan Bhayangkara nomor 33 Sukabumi), merupakan percetakan bagi karya- karya Ahmad Sanusi yang akan dicetak ulang.
Karya pertamanya dalam bidang tafsir adalah Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, (Tempat Panyalindungan Para Santri dina Nafsiierkeun al-Quran [Tempat berlindungnya Para Santri dalam Menafsirkan al-Quran]). Tafsir ini ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Arab (aksara pegon). Seperti terlihat dari judulnya dalam bahasa Arab yang kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Sunda. Tafsir ini terbit ketika Ahmad Sanusi berada dipengasingan di Batavia. Tidak diketahui secara persis kapan Tafsîr Maljâ’ mulai ditulis. Tetapi jika melihat tanggal, bulan dan tahun dalam edisi no 1, tafsir ini terbit 28 Januari 1931. sedangkan tempat pengumpulan bahan-bahan dilakukan di Tanah Tinggi Senen Welverden ketika ia berada dalam masa pembuangan di Batavia.
Kemudian ketika kembali ke Sukabumi dari masa pembuangannya di Batavia, Ahmad Sanusi menulis menulis tafsir serupa meski lebih terlihat bentuk terjemahan al- Quran yang berjudul Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân.57 Selanjutnya, Ahmad Sanusi menerbitkan sebuah karya tafsir lainnya yang berjudul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al ‘Âlamîn. Tafsir ini ditulis dalam bahasa melayu berejaan lama dengan huruf Latin dengan pengalih-aksaraan (Transliterasi) Arab-Latin.
Ada juga karya Ahmad Sanusi di bidang tafsir yang hanya membahas satu ayat atau sûrah-sûrah tertentu. seperti Kasyf al- Zunūn fî Tafsīr Lâ Yamassuhû illâ al-Mutahharûn adalah tafsir terhadap sûrah al- Wâqi‗ah ayat ke-79.58 Adapun tafsir-tafsir yang membahas sûrah-sûrah tertentu adalah: Tafrîj al-Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrah Yâsîn, (2) Hidâyah al- Qulûb
C. Berkenalan dengan Tafsir TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN
1. Gambaran Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Tafsir yang bernama lengkap Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsīr kalām Rabb al-‘Alamīn ini adalah karya tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi sewaktu dia menjalani tahanan kota di Sukabumi. Dalam tafsir ini tulisan ayat al-Qur‘annya memakai bahasa Arab dan dibawahnya dicantumkan alat bantu cara baca dengan tekhnik penuliasan transliterasi Arab-Latin. Terjemah serta uraian global tentang tentang tafsirnya ditulis dengan hurup Latin dan berbahasa melayu dengan menggunakan ejaan Van Ophusyen.
Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini adalah sebuah karya tulis yang memuat tentang tafsir tetapi memakai format seperti majalah atau buletin yang terbit secara berkala. Hal ini dalam abad itu mungkin sebuah terobosan baru yakni, sebuah kitab tafsir memakai format sebuah majalah.
Terbitan perdananya dikeluarkan pada 1 oktober 1934 yaitu setelah 2 bulan status tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Untuk terbitan pertama tafsir tersebut dicetak di percetakan Masduki dan hanya beredar di wilayah kota Sukabumi saja. Pada penerbitan nomor dua bualan November 1934, percetakannya dipindahkan ke percetakan al-Ittihâd. Sejak diambil alih oleh percetakan tersebut, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn dapat beredar luas di wilayah Bandung, Sukabumi sampai ke Jakarta. Pada terbitan yang ke 9 peredaran tafsir ini sudah mencapai ke daerah Sumatra Selatan dan mempunyai agen tetap di kota Bengkulu.
Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui berapa jumlah edisi yang pernah terbit. Muhammad Indra Nazaruddin mencatat Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn memiliki edisi tahun ke-1 no.1 (1934) hingga tahun ke-5 no.53 (1939).Jumlah halaman setiap jilid berkisar 28-35 halaman.
Di dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terdapat secara berurutan; nomor terbit, judul kitab, pengarang, harga langganan, alamat pengarang, agen-agen Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, pengumuman, dan penerbit. Baru terbit empat nomor telah ada permintaan dari pelanggan agar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn diterbitkan satu bulan dua kali, tetapi dari pihak penerbit keberatan karena alat percetakannya tidak memadai. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor enam, tertulis pengumuman bagi para pelanggan agar mengirimkan uang langganannya dan menjadi pelanggan baru. Dalam cover depan bagian dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor sepuluh dicantukan surat dari Wedana Batavia yang mengusulkan agar Tafsir Tamsyiyyat terbit sebulan empat kali dan dinaikkan harganya. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor sebelas, tertera pemberitahuan mengenai; agen-agen yang masih punya tunggakan uang langganan, hanya enam pelanggan yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit satu bulan empat kali. Dalam cover depan bagian luar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor tiga belas diberitahukan bahwa yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit satu bulan empat kali telah mencapai enam belas agen.
2. Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn pada awal abad ke-20 tidak lepas dari pro kontra dari pihak ―kelompok tradisional. Hal ini terjadi karena tafsir tersebut berbahasa melayu dan berhuruf latin serta tafsir ringkasnya yang didobel tulisan al-Quran nya dengan huruf Latin. Bagi masyarakat Priangan, penerjemahan dan penafsiran Alquran apalagi transliterasi Alquran ke dalam tulisan latin merupakan hal yang baru untuk masa tahun 30-an.
Walaupun sikap reaktif kelompok tradisional oleh Ahmad Sanusi, tetapi para pengikut dan murid-muridnya terpanggil untuk merespon sikap kyai-kyai itu dengan mengusulkan agar Ahmad Sanusi menolak perkataan-perkataan mereka. Karena celaan- celaan dan hinaan itu kepadanya tidak berhenti juga, maka Ahmad Sanusi menerima usulan dari pengikutnya dengan memerintahkan kepada para anggota majlis al-Ittihâd di Sukabumi dan Bogor supaya mengadakan musyawarah tentang menulis al-Quran dengan huruf Latin.
Dalam musyawarah itu—diadakan di majlis al-Ittihad Sukabumi sebanyak dua kali dan di majlis al-Ittihad Bogor sebanyak tiga kali—diundang kyai-kyai yang mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi dalam beberapa musyawarah yang beberapa kali dilakukan tersebut tidak seorang pun dari pihak yang kontra datang, kecuali ketika musyawarah yang diadakan di Bogor. Adapun yang datang adalah H. Usman Perak. Pada waktu itu dari pihak yang pro terhadap Ahmad Sanusi dan yang paling banyak berkomentar adalah Kyai Damanhuri.
Sikap reaktif atas terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn tidak terbatas pada perdebatan oral saja, melainkan sudah pada perseteruan media cetak. Salah satu contohnya adalah terbitnya sebuah buku yang kontra terhadap Ahmad Sanusi yang ditulis oleh H Mansur yang berjudul Tasfiyat al-Afkâr.Terbitnya buku itu mendapat reaksi dan jawaban dari Ahmad Sanusi sendiri dengan menerbitkan buku yang berjudul Tahzîr al- Afkâr.
Di samping dari kelompok tradisional, reaksi terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn juga datang dari pihak pekauman (elit birokrasi keagamaan )‘. Reaksinya pun tidak kalah sengitnya, misalnya pada 4 Oktober tahun 1936 diadakan diskusi yang dilaksanakan di Cipelang Sukabumi. Dalam diskusi itu dibentuk sebuah badan netral yang bernama Comite Permoesjawaratan Menoelis Qoeran. Dalam diskusi tersebut, tidak hanya dihadiri oleh pihak pekauman yang mewakili pihak yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang menulis al-Quran dengan huruf latin. Di samping itu, hadir pula kelompok yang kontra terhadap Ahmad Sanusi lainnya seperti pengurus sekolah Ahmadiyah Sukabumi, Umar Sanusi (Pengurus al-Rabitah al-Alawiyah), Sayyid Yahya bin Utsman, Sayyid Ali bin Yahya, Sayyid Ali bin Sahab (ketiganya dari Batavia), Tubagus Arsyad (Rangkasbitung, Banten), Sayyid Alawi bin Tohir, Sayyid M. Sodik al-Jufri, Wirasanjaya (Surat Kabar al- Mu‘min) dan H. Fachrurraji (Surat Kabar al-Mukhtar). Kemudian komite tersebut mengajukan surat permohonan kepada pihak pemerintah—yang waktu itu Indonesia masih dikuasai Belanda—agar Ahmad Sanusi dalam status tahanannya diberi izin untuk menghadiri diskusi yang diadakan itu.
Menurut koran “Perbintjangan” seperti yang dikutup oleh Muhammad Iskandar, diskusi itu menghasilkan keputusan yang dikeluarkan oleh komite yang menyatakan bahwa transliterasi itu hukumnya boleh. Selanjutnya diskusi-diskusi lainnya sering diadakan, tetapi selalu diakhiri oleh keributan. Seperti misalnya perdebatan yang terjadi di al-Azhâr School Sukabumi pada tanggal 2 november 1936. perdebatan berakhir dengan kerusuhan dan terpaksa dibubarkan oleh polisi.
Motif-motif pro-kontra dan perbedaan tentang masalah agama merupakan pertarungan antara ide antara di antara pemuka agama dalam merebut hegemoni sosial politik di wilayah tersebut. Walaupun fihak yang kontra terhadap penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn terus bertambah, Ahmad Sanusi tetap menulis tafsir tersebut sampai dia meninggal dunia.
3. Teknis Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn
Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn disetiap awal sûrah, diurai dengan detail masalah yang berkaitan dengan surat yang dikaji. Misalnya tentang jumlah ayat, tempat turunnya ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam sûrah, nama-nama lain dari surat tersebut, dan seterusnya. Salah satu contoh pada kasus sûrah al-Fâtihah. Disini Tafsîr Tamsyiyyat menguraikan nama-nama lain dari surat yang telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti: Umm al-Qurân, Al-Sab‘ul al-Matsânî’ dan lain sebagainya.
Kemudian setelah memberi penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan surat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi ayat dalam setiap surat. Setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat yang dipenggal, teks arabnya ditulis lalu mencantumkan terjemahannya disamping teks Arab ayat tersebut. Di bawah redaksi ayat dan teks terjemahnya, diberikan eksplorasi secara luas atas ayat-ayat yang dikaji tersebut.
Sistematika penyajian tafsir yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsir Tamsyiyyat adalah runtut berdasarkan tertib susunan surat yang ada dalam Mushaf Utmani atau Tartîb al-Mushaf.
Bentuk penyajian yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah bentuk penyajian global, yang biasanya bentuk ini lebih menitik beratkan kepada inti dan maksud ayat ayat yang dikaji. Bentuk ini bisa diidentifikasi melalui model analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah, sesekali asbâb al-Nuzûl, dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang dikaji.
Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, Ahmad Sanusi terlihat menggunakan bentuk penyajian rinci ketika menafsirkan (Q.S 2:183) sampai menghabiskan dua puluh dua halaman penuh. Sementara ia menjelaskan ayat lainnya hanya menjelaskan secara singkat saja. Hanya saja frekuensinya lebih banyak menggunakan penyajian global daripada bentuk penyajian rinci.
Dalam bentuk penulisan yang terdapat dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslim di beberapa tempat Ahmad Sanusi menyebutkan sumber rujukannya, tetapi ia tidak memenpatkannya dalam bentuk catatan kaki, catatan perut, dan lain sebagainya seperti halnya tatacara penulisan ilmiah.
Kitab-tafsir yang dijadikan sumber rujukan dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn: Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain ibn Mas’ud al-Bagawi, Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsir, Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs karya Fairuzabadi, Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fachruddin al-Razy, Tafsir Madârik al-Tanzîl karya al-Nasafi, Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al-Khâzin, Tafsîr Rûh al-Ma‘anî karya al-Alûsi Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari
4. Metodologi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Metode penafsiran yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah metode tafsir riwayat. Ahmad Sanusi banyak sekali menjadikan riwayat Nabi maupun sahabat yang dijadikan sebagai sumber penafsiran dalam menafsirkan ayat al-Quran. Walaupun dibeberapa tempat ia memakai metode . seperti ketika ia menafsirkan Sûrah al- Taubah ayat 60: Ayat ini menerangkan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Menurut Ahmad Sanusi mustahiq menurut ayat ini adalah: pertama, fakir, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa memenuhi setengah atau kurang dari kebutuhannya sehari-hari. Kedua, miskin, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa menutupi lebih sedikit dari setengah dari keperluannya sehari-hari. Ketiga, ‘âmilîn, yaitu orang yang ditunjuk oleh ulama setempat sebagai pengumpul dan pembagi zakat kepada para mustahiqnya. Hak sebagai ‘âmilîn ini bisa gugur apabila, (1) para wajib zakat itu membagikannya sendiri tanpa melalui ‘âmilîn, (2), dengan mengutif kitab jika ternyata para ‘âmilîn tersubut adalah arang yang mampu dari segi materi. Keempat, golongan mu’allaf , yaitu orang yang lemah imannya, dengan ukuran jika dia dibujuk untuk pindah kepada agama lain, maka kemungkinan besar ia akan menjadi (murtad). Oleh karena itu, zakat tersebut harus diberikan kepadanya sebagai penguat imannya.
Kelima, budak, yaitu semua budak (orang yang dibeli) yang sudah perjanjian dengan tuannya buat menebus kebudakannya dengan cara mencicil. Keenam, golongan ghârimîn, yaitu orang yang berhutang akibat menyelesaikan perselisihan dua pihak yang muslim. walaupun orang itu mampu, tetap berhak menerima zakat. Ketujuh, golongan sabîl Allah, yaitu orang yang berperang dijalan Allah. Kedelapan, ibn al-sabîl, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan sedang berkunjung ketempat pengumpulan zakat, sementara orang tersebut tidak mempunyai uang tidak mempunyai biaya untuk kembali ketempat asalnya.
Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan sebagai tafsir yang memiliki nuansa/corak fiqhi. Walaupun dalam cover belakang dari setiap edisi yang dikeluarkan oleh penerbitnya, tetapi banyak masalah-masalah mengenai fiqh yang diprioritaskan untuk dibahas lebih mendetail. Sehingga dominasi nuansa fiqh sangat kental dan terasa dalam Tafsîr Tamsyiyyat.
Contohnya adalah ketika Ahmad sanusi menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 183, yang membicarakan tentang puasa. Ia membahas segala aspek tentang puasa tersebut mencapai dua puluh dua halaman, dan juga ketika menjelaskan Sûrah al-Baqarah ayat 196-198, yang berbicara mengenai ketentuan haji dan umrah, ia membahasnya sampai menghabiskan empat puluh tujuh halaman.
Pendekatan Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn adalah pendekatan kontekstual. Ini bisa terlihat ketika ia menafsirkan surat al- Taubah ayat 60 yang berhubungan dengan masalah mustahiq zakat. Menurut Ahmad Sanusi, mustahiq zakat yang ada di pulau Jawa pada masa itu hanya lima golongan di antaranya: fakir, miskin, ,muallaf, gharîm dan Ibnu Sabil. Sedangkan dalam surat al- Taubah tadi yang berhak menerima zakat ada tujuh golongan sisanya al-riqâb (budak) dan amil. Yang dua golongan terakhir ini tidak layak menerima zakat karena perbudakan hanya berlaku pada zaman Nabi. Adapun alasan amil tidak berhak menerima zakat karena pada masa Ahmad Sanusi amil zakat diurus oleh para pihak pekauman yang notabene orang mempunyai jabatan dan berasal dari keturunan ningrat yang sangat mampu dari segi materi.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa Ahmad Sanusi menafsirkan ayat dengan menarik maksud ayat ke dalam konteks pembaca (penafsir) dimana ia hidup.Dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn adalah bahasa melayu dengan huruf latin. Kedua, dari segi paparan penjelasan yang diberikan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn, pertama-tama diberikan pendahuluan, kemudian menjelaskan nama sûrah, menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika ada), dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat. Kemudian setelah itu menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika ada), dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat, dan yang terakhir dijelaskan tentang perbedaan qira’ah. tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn dan Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung bernunsa fiqh. Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn dalam pendekatannya lebih terlihat cenderung kontekstual.
5. Kelebihan dan Kekurangan
Adapun kelebihannya adalah, pertama, tafsir ini salah satu pelopor dalam penulisan tafsir yang memakai bahasa Melayu/Indonesia khususnya didaerah Jawa Barat. Kedua, penulisan tafsir ini dalam pembahasannya menyertakan transliterasi al-Quran (mendobel huruf Arabnya dengan cara baca latin) yang memudahkan bagi pembacanya yang tidak bias membaca huruf Arab. Ketiga, tafsir ini diterbitkan dengan memakai format yang berbeda dari tafsir konvensional lainnya, yakni seperti format sebuah majalah yang dikeluarkan dalam satuan edisi (satu bulan sekali). Hal ini pada masa itu, merupakan terobosan baru bagi penulisan karya tafsir di Indonesia.
Adapun kekurangan tafsir ini adalah, pertama, tafsir ini dalam tampilannya tidak mencantumkan nomor urut ayat. Hal ini bisa membuat kesulitan bagi para pembacanya untuk menentukan nomor urut ayat yang sedang dibahas. Kedua, tafsir ini, dengan format majalahnya, disamping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kekurangan. Dengan bentuk yang diterbitkan tiap edisi satu bulan sekali ini, bisa mengakibatkan tafsir ini mudah dilupakan oleh para pembacanya karena sifatnya yang terpisah-pisah, tidak seperti layaknya tafsir konvensional lainnya. Adapun kekurangan yang ketiga, adalah tafsir ini tidak selesai penulisannya secara keseluruhan (30 Juz).
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan dalam yang lalu telah dijelaskan bahwa sebuah tafsir terdiri dari aspek teknis penafsiran serta aspek metodologis penafsiran. Penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Aspek teknis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn : pertama, sistematika penyajian Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah runtut sesuai dengan urutan tertib ayat dan sûrah seperti dalam Mushaf ‘Usmâni. Kedua, bentuk penyajian yang digunakan adalah rinci walaupun dalam tempat lain terkadang global. Ketiga, bentuk penulisan yang dipakai oleh tafsir ini adalah non ilmiah, yakni tidak seperti skripsi atau tesis yang ditulis untuk keperluan akademik. Keempat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini mempunyai sifat individual atau ditulis oleh satu orang penulis, dan yang terakhir, Kelima, tafsir ini memakai sumber-sumber rujukan buku tafsir klasik.
2. Sedangkan aspek Metodologis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah, Pertama, Tafsir ini memakai metode penafsiran riwayat. Kedua, Tafsir Tamsyiyyat ini memiliki nuansa atau corak fiqh, karena pembahasan dalam tafsir tersebut banyak menitikberatkan terhadap masalah fiqh. Ketiga, pendekatan tafsir yang dipakai dalam tafsir ini adalah metode pendekatan kontekstual.
DAFTAR BACAAN
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Study Tentang Pandangan Hidup Kyai,Jakarta: LP3ES, 1982
al-Dzahabî, Muhammad Hussain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Beirût: Markaz al-Tsabît al-Arabî, 1989
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992
Yusuf, Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’ān, No. 4, Volume III, 1992.
Hasan Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan K.H. Ahmad Sanusi (Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Debdikbud, 1982
, Para Pengemban Amanah; Pergulatan pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001, Cet. 1
Mawardi, A. Mukhtar, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1985
Nazaruddin, Muhamad Indra, Analisis Terhadap Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimin, Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
[1] Ada berbagai pendapat mengenai tahun kelahiran Ahmad Sanusi. Pendapat ini dikemukakan oleh S. Wanta dalam bukunya K.H. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya, (Jakarta, PBPUI, 1986).
[2] Hasan Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan K.H. Ahmad Sanusi (Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986), h. 22
[3] Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan, Proyek Penelitian Departemen Agama, hlm. 10
[4] Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 192-205
[5] Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, hlm. 5
[6] Iskandar, Para Pengemban Amanah, hlm. 178
[7] Iskandar, Para Pengemban Amanah, hlm. 177
[8] Lihat, Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, hlm. 14-15
0 comments:
Posting Komentar