وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Dalam kehidupan ada dua kondisi yang terkadang datang silih berganti, yaitu karunia kesenangan dan musibah. Hanya saja frekwensi dan durasinya kadang-kadang berbeda.
Dalam perspektif agama Islam, ketika seseorang menghadapi kedua kondisi itu hendaknya disikapi dengan sebaik mungkin. Jika karunia kesenangan maka cara yang harus dilakukan untuk menyikapinya adalah dengan bersyukur. Perilaku syukur ketika menyikapi karunia kenikmatan adalah sesuatu yang niscaya. Artinya seseorang yang mendapatkan kenikmatan maka sudah sewajarnya untuk mengucapkan terima kasih terhadap karunia itu. Namun bagaimanakah kita ketika menyikapi suatu musibah, apakah dapat dilakukan dengan bersyukur?
Hidup di dunia ini tidak terlepas dengan cobaan dan musibah.Lazimnya ketika orang mendapatkan musibah, sikap yang dilakukan adalah bersabar terhadap musibah itu. Kesabaran yang muncul pada saat menyikapi musibah, berasal dari sebuah keyakinan bahwa apa yang terjadi semua itu sudah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Kemampuan mensyukuri terhadap musibah adalah merupakan sebuah kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh seseorang. Karena hal itu adalah merupakan sesuatu yang sangat berat sekali untuk diaplikasikan. Tapi bagi seseorang yang menginginkan kedudukan yang tinggi di sisi sang pencipta maka mau tidak mau syukur itu haruslah di jalankan. Mungkin timbul pertanyaan, kenapa musibah juga seharusnya disyukuri? Apa yang melatarbelakanginya atau alasan untuk bersyukur terhadap musibah?
Al-Muhasibi menyebutkan, rasa syukur adalah sebuah kesadaran bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah berasal dari Allah, baik berupa kesenangan maupun musibah (kesulitan). Dengan demikian musibah yang terjadi itu tidak perlu disesalkan. Karena bisa jadi juga musibah itu akan menjadi sesuatu yang bernilai bagi orang yang ditimpanya.
Badiuzzaman Said Nursi menjelaskan, paling tidak ada tiga alasan kenapa musibah sangat pantas untuk disyukuri dan tidak layak untuk dikeluhkan.
Pertama, Allah menjadikan busana eksistensi yang dia pakaikan kepada manusia sebagai petunjuk atas kreasinya. Sebab Dia menciptakan manusia dalam bentuk model yang dipaparkan pada dirinya pakaian eksistensi, yang diganti, digunting, diubah dan dimodifikasi untuk menjelaskan manifestasi Asmaul Husna yang beraneka ragam. Sebagai namanya as-Syafi (Yang Maha Menyembuhkan) menuntut adanya penyakit. Begitu juga ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) menuntut adanya rasa lapar. Demikianlah Allah adalah pemilik kerajaan, Dia berbuat dalam kerajaan-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian musibah yang ditimpakan kepada seorang manusia ada merupakan bagian dari kreasi Allah subhanahu wa ta'ala. Artinya, Allah ingin memperlihatkan kepada manusia kegagahan dan keperkasaan-Nya dan sekaligus mengajarkan kepada manusia jangan bersifat sombong, karena kesombongan hanyalah boleh dipakai oleh Allah.
Kedua, sesungguhnya kehidupan menjadi jernih oleh musibah, serta menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua itu menjadikan hidup mencapai kesempurnaan, kuat, meningkat, produktif serta mencapai tujuan dan targetnya. Dengan demikian kehidupan telah melaksanakan kewajibannya. Sedangkan kehidupan monoton yang hanya berjalan dengan satu corak dan berjalan di atas hamparan kenikmatan, lebih dekat kepada "ketiadaan" yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kepada "keberadaan" yang merupakan kewajiban mutlak. Bahkan, ia sudah mengarah kepada ketiadaan.
Ketiga, dunia merupakan medan ujian dan cobaan. Dunia adalah tempat beramal dan beribadah, bukan tempat bersenang-senang dan berleha-leha, serta bukan pula tempat menerima imbalan dan pahala. Selama dunia merupakan tempat beramal dan beribadah, maka penyakit dan cobaan -selain yang berkaitan dengan agama dan dengan syarat diterima dengan sabar - menjadi selaras dengan amal, bahkan harmonis dengan ibadah tersebut. Sebab, kedua hal tersebut menguatkan amal dan mengencangkan ibadah. Karena itu, tidak diperbolehkan mengeluhkannya. Justru kita harus bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala karena penyakit dan musibah mentransformasikan setiap jam dalam kehidupan mereka yang tertimpa musibah menjadi ibadah sehari-hari.
Pada dasarnya, ibadah terbagi dua bagian: aktif dan pasif. Bagian yang pertama, seperti yang kita kenal bersama. Sedangkan bagian yang kedua adalah berbagai penyakit dan cobaan yang membuat penderitanya merasakan ketidakberdayaan dan kelemahannya, sehingga ia mencari perlindungan kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih. Dengan cara itulah, ia melaksanakan ibadah dengan ikhlas, murni, dan bebas dari riya. Apabila penderita tersebut menghiasi dirinya dengan sabar, memikirkan pahalanya di sisi Allah dan keindahan imbalan darinya, serta bersyukur kepada Tuhannya terhadap segala musibah, pada saat itu setiap jam dari usianya berubah laksana satu hari ibadah. Sehingga umurnya pendek menjadi demikian panjang. Bahkan bagi sebagian dari mereka setiap detik dari usianya bernilai ibadah sehari penuh.
Dengan alasan inilah, maka berikan kabar gembira kepada mereka yang tertimpa musibah, ucapkan selamat kepadanya, karena setiap detik dari usianya bak ibadah satu hari penuh, sebab ia benar-benar bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih melalui kesabaran yang indah.
0 comments:
Komentar baru tidak diizinkan.