A.
Latar Belakang
Dakwah salafiyah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah seruan untuk mengajak kembali kepada manhaj sahabat Rasulullah saw.,
yaitu dakwah yang diserukan Rasulullah saw. . dan dakwah yang diserukan para
ulama dari kalangan sahabat dan tabiin.
Kemunduran umat
Islam menurut analisa Lothrop Soddart dalam bukunya “The New World of Islam”
karena ketahayulan dan mistik yang merusak tauhid. Sedangkan menurut Hans Khong
seorang orientalis berkebangsaan Jerman yang tinggal di Amerika, menegaskan
bahwa sebab pokok kemunduran umat Islam ialah penyelewengan dan penyalahgunaan,
formalisme kosong dan dekadensi.[1]
Umat Islam bisa meraih kembali
kejayaan Islam yang pernah gemilang di masa Rasulullah saw., khulafa ar-rasyidin,
sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin, hanya dengan kembali kepada metode dakwah
yang mereka tempuh, yaitu dengan dakwah salafiyah. Inti dakwah salafiyah adalah
memurnikan ajaran Islam dari khurafat, bidah, penyimpangan, formalitas kosong
dan dekadensi moral. Sehingga peradaban madani dan umat Islam sebagai rahmatan
lil alamin akan kembali terwujud.
B.
Latar Historis Munculnya
1.
Profil Syaikh Muhammad Bin Abdul
Wahhab.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad
bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad
at-Tamimi al-Hanbali an-Najd i. Ia lahir
di kota Uyainah, kurang lebih 70 km arah barat laut kota Riyadh, yang terletak
di wilayah Najd tahun 1115 Hijriah (
1701 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi). Ia wafat dengan umur
sekitar 91 tahun, dengan meninggalkan 18 anak dari beberapa istri.[2]
Sejak kecilnya, Syaikh Muhammad memiliki minat yang sangat besar terhadap
buku-buku tafsir, Hadis, dan prinsip-prinsip keimanan (akidah). Mulanya Muhammad
bin Abdul Wahhab hidup di lingkungan Sunni
pengikut mazhab Hanbali, dia mempelajari fikih mazhab Hanbali dari ayahnya yang
merupakan seorang ulama mazhab Hanbali. Ayahnya
Syaikh Abdul Wahhab juga seorang qadhi (hakim). Selain itu dia mempelajari dari
beberapa gurunya. Dia pernah mengaji kepada beberapa guru agama Mekah dan
Madinah, di antaranya Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, Syaikh Muhammad ibnu Sulaiman al-Kurdi, dan lainnya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
merupakan sosok yang sangat mencintai amar ma’ruf nahi munkar dan sabar
menghadapi resikonya. Sejak muda beliau mulai berdakwah di Bashrah, namun setelah
ditindas dengan teror dan ancaman, maka beliau kembali ke Najd dan tinggal di daerah Huraimila. Setelah
ayahnya menjadi hakim di Uyainah beliau hijrah ke daerah tersebut dan
melanjutkan misi dakwahnya. Dakwah beliau di Uyainah kurang kondusif, karena
amir Usman bin Hamad bin Muammar mengusirnya bahkan merencanakan ingin
membunuhnya. Kemudian pada tahun 1157 H beliau hijrah dari Uyainah dengan berjalan
kaki dalam cuaca yang cukup panas hingga sampai di Dir’iyah. Akhirnya bersama
amir Muhammad bin Su’ud di Dir’iyah,
berdasarkan manhaj Salafus Shalih beliau memurnikan tauhid dari syirik
dan khurafat, dan menumpas berbagai kesesatan, kebidahan dan kemaksiatan hingga
menyebar ke seantero dunia.[3]
Sejak perkembangan usianya yang masih remaja, Syaikh Muhammad memandang kegiatan-kegiatan ibadah keagamaan
penduduk Najd sebagai hal yang
menyimpang. Usai melaksanakan haji ke Baitullah dan melakukan ritus-ritusnya,
dia melanjutkan pergi ke Madinah dimana Syaikh Muhammad menentang praktik kaum muslim yang bertawasul
kepada Rasulullah saw.
2.
Keadaan Kota Najd
Sebelum dakwah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab, Najd dalam
keadaan yang tidak diridoi oleh kaum mukmin. Syirik yang besar (as-syirku
al-akbar) telah muncul di Najd dan
berkembang pesat, hingga orang-orang meyembah kubah-kubah, pepohonan, bebatuan
dan lain sebagainya. Di Najd sihir dan
dukun sangat dikenal, orang-orang begitu percaya kepada dua hal ini, sehingga
mereka meminta pertolongan kepada dukun, kecuali hanya segelintir orang yang
dikehendaki Allah Swt. Mayoritas manusia mencintai dunia dan sedikit yang ingat
kepada Allah Swt. dan menolong agamanya. Hal demikian ini juga terjadi di dua
kota suci, Mekkah dan Madinah, juga Yaman, ditambah lagi dengan membangun kubah
di atas kuburan, berdoa kepada para wali dan meminta tolong kepada mereka.[4]
3.
Gerakan Wahhabi
Hasil lawatan Muhammad bin Abdul Wahhab ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam sebagaimana disebutkan sebelumnya, tampaknya merupakan
indikator mengapa ia mendirikan suatu gerakan, yang selanjutnya dikenal dengan
nama “Gerakan Wahhabi”. Di setiap negeri Islam yang dikunjunginya, ia melihat
berbagai macam tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat yang dilakukan oleh
masyarakat dalam bentuk ritual-keagamaan. Ia juga menyaksikan betapa besarnya
pengaruh ahli-ahli tarekat di masa hidupnya sehingga kuburan-kuburan syaikh
tarekat yang bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-kampung, ramai
dikunjungi oleh orang-orang yang ingin meminta berbagai macam pertolongan.
Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung ditujukan
kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat para syaikh atau wali tarekat yang
dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan untuk memperoleh rahmat-Nya.
Syaikh Muhammad
berdakwah dan berjihad dengan lisan,
pena dan pedang selama 48 tahun, dari mulai tahun 1115 H sampai hingga akhir
hayat beliau tahun 1206 H. Beliau menaklukkan Najd dan sekitarnya hingga Mekkah dan Madinah.
Pasukan Dinasti Saudi masuk dengan aman dan menghancurkan bangunan dan kubah
yang ada di kuburan sekitar Mekkah dan Madinah.[5]
4.
Asal Mula Penamaan Wahhabi
Gelar Wahhabi
sering digunakan kaum zindiq dan ahli bidah untuk menyudutkan dakwah yang
dipelopori Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang bertujuan memurnikan tauhid,
membasmi syirik, dan menghidupkan sunnah serta memadamkan bid’ah.
Mereka menyimpulkan
bahwa gerakan diatas merupakan tema utama dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Disamping itu, mereka juga
masih membumbui dengan berbagai penyedap tuduhan kepada mereka yang dituduh Wahhabi.
Yang antara lain; mereka membenci salawat Nabi, anti ziarah kubur, mengingkari
karomah, menentang tradisi dan budaya, serampangan dalam mengambil dalil,
terkesan mendikte Allah dan lain sebagainya.
Dari keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa penyebutan gelar Wahhabi berasal dari pihak
yang membenci dan memusuhi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bukan nama resmi yang
ditetapkan oleh para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Buktinya, mereka tidak
pernah menyebut diri mereka, baik secara eksplisit maupun implisit sebagai
golongan Wahhabi dalam karya-karya dan majlis mereka.
Target utama
musuh-musuh Islam memberi gelar Wahhabi pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah untuk menakut-nakuti
agar umat Islam secara umum tidak terpengaruh dengan dakwah tauhid dan sunnah
yang didakwahkan olehnya. Dengan diberi gelar tersebut, para tokoh ahli bidah
dan zindiq dengan mudah memojokkan para dai yang mengajak kepada tauhid dan
pemurnian Islam.
Kalau memang begitu, gelar Wahhabi
hanyalah sebuah gerkan pembusukan terhadap dakwah dan karakter Syaikh Muhammad.
Sehingga siapapun bisa mengetahui dengan mudah kekeliriuan mendasar dalam
pemberian gelar Wahhabi untuk pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.[6]
C.
Tokoh-Tokoh Wahhabi
Di antara tokoh-tokoh Wahabi adalah
sebagai berikut:
1. Muhammad bin Abdul Wahhab
al-Najd i (1115-1206)
2.
Ibn
Baz
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz
bin Baz al-Najdi. Termasuk mufti Wahhabi sebelumnya dan pemimpin lembaga
penelitian, dakwah, dan bimbingan Wahhabi. Dia memiliki sejumlah tulisan,
antara lain al-Tahdzir min al-Bida’.
3.
Ibn
Utsaimin
Nama lengkapnya Muhammad bin Shalah al-Utsaimin. Memiliki sejumlah
buku, antara lain al-Qawa’id al-Mustla fi shifat Allahi wa Asma’ihi
al-Husna. Lahir pada malam 27 Ramadan tahun 1347 H di kota Unaizah,
kerajaan Arab Saudi. Meninggal sesaat sebelum waktu magrib pada hari rabu 15 syawal
pada tahun 1421 H di kota Jeddah kerajaan Arab Saudi. Mempunyai 5 orang anak
laki-laki yaitu: Abdullah, Abdur Rahman, Ibrahim, Abdul Ajiz dan Abdur Rahim.[7]
4.
Shalih
bin Fauzan
Nama lengkapnya adalah Shalih bin
Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, seorang ulama besar di lembaga penelitian,
fatwa, dan bimbingan. Dia menulis bimbingan terhadap buku Wahhabi karya
al-Buthi.
D.
Ajaran
Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab[8]
Ajaran atau pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dapat
diringkas dalam beberapa poin, yaitu:
1.
Tauhid
Muhammad bin Abdul Wahhab
mendefinisikannya dengan mengatakan bahwa tauhid itu adalah mengesakan Allah Swt.
dalam beribadah, dan itu merupakan agama
para rasul yang Allah Swt. utus kepada hamba-hambanya. Yang kemudian tauhid
itu, oleh beliau dibagi menjadi tiga:
Pertama; Tauhid Rububiyyah:
yaitu mengesakan Allah Swt. dalam perbuatannya, seperti penciptaan,
menghidupkan, mematikan, rizki dan lain sebagainya. Tauhid jenis inilah yang
diyakini oleh orang-orang kafir di zaman Rasulullah Saw. dan belum bisa
memasukkan mereka ke dalam agama Islam dan Rasulullah saw. memerangi mereka. Dalil tentang ini adalah:
قل من يرزقكم من
السماء والأرض أمن يملك السمع والأبصار و من يخرج الحي من الميت و يخرج الميت من
الحي و من يدبر الأمر فسيقولون الله فقل أفلا تتقون. (يونس: 37)
Kedua;
Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah Swt. dalam segala perbuatan
hamba dalam hal ibadah dan syariah, seperi doa, nazar, minta pertolongan,
tawakkal dan lain-lain. Hal inilah yang diingkari orang kafir dan menyebabkan
permusuhan mereka dengan para rasul semenjak Nabi Nuh as.
Ketiga;
Tauhid Asma’ wa as-Sifat, yaitu beriman kepada segala yang ada dalam Alquran
dan Hadis shahih terkait nama-nama Allah dan
sifat-sifatNya. Menyipati Allah Swt. dengan itu dan tidak berlebihan di
dalamnya, seperti menetapkan adanya bentuk, penyerupaan dan penyelewengan,
disertai keyakinan bahwa Allah Swt. tidak ada kesamaan dengan makhluknya.
2.
Syafaat
Di antara syafaat yang ditetapkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
pengikutnya adalah syafaat dari para Nabi, malaikat, para wali, anak-anak
karena ada dasarnya dari Alquran dan Hadis
. Semua syafaat ini tidak ada kecuali setelah mendapat ijin dan ridho dari Allah
Swt., maka tidak boleh memintanya kepada mereka, berdoa kepada mereka agar
diberi syafaat, akan tetapi mintalah kepada Allah Swt.
Ulama Wahhabi menetapkan bahwa
meminta syafaat kepada orang meninggal adalah syirik walau kepada Rasulullah
sakalipun, meski dengan alasan mereka punya kedudukan dan kemuliaan. Yang lebih
baik dilakukan adalah mendoakan mereka. Adapun orang hidup, maka boleh meminta
tolong kedanya sesuai kemampuannya, seperti meminta kepada salah satu orang
salih untuk mendokan kebaikan.
3.
Ziarah kubur dan membuat bangunan di atasnya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwasanya sebab
kafirnya manusia pada mulanya, pada masa Nabi Nuh as., adalah berlebihan dalam
memuliakan kuburan para wali. Ia juga menjelaskan bahwa yang dilakukan
kebanyakan orang terhadap kuburan orang soleh dan para wali serta yang lainnya
meniadakan Tauhid Uluhiyah secara total. Sebab mereka mempersembahkan
untuk penghuni kuburan-kuburan itu segala sesuatu yang yang tidak dibolehkan
kecuali hanya kepada Allah Swt. seperti sembelihan, nazar, doa, minta pertolongan
dan lain sebagainya. Dan itu sama halnya dengan yang dilakukan orang kafir
terhadap berhala mereka. Orang-orang muysrik percaya bahwa Allah itu pemberi rizki,
yang menghidupkan dan mematikan, juga maha menjaga. Akan tetapi mereka
mempersembahkan hal-hal di atas kepada berhala mereka dengan alasan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Hal ini pulalah yang dianggap oleh manusia terhadap
orang-orang soleh di kalangan mereka. Oleh sebab itu menurut pandangan Muhammad
bin Abdul Wahhab, masyarakat itu telah
syirik seperti orang-orang musyrik pada masa Rasulullah Saw.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak melarang ziarah kubur
secara mutlak, akan tetapi ia membagi ziarah kubur kepada 3 jenis, yaitu: syar’i,
bidah, dan sirik. Syar’i adalah yang bertujuan untuk mengingatkan
peziarah kepada kematian serta mendoakan si mayit agar mendapat ampunan, dan
membacakan doa yang ma’sur. Bidah adalah yang bertujuan untuk berdoa
kepada Allah dan meminta pertolonganNya di kuburan tersebut. Syirik
adalah memalingkan satu amalan kepada kuburan yang seharusnya dihadapkan kepada
Allah, seperti agar mendapat kebaikan dan terhindar mara bahaya, untuk
kesembuhan orang sakit. Disertai dengan memberikan sembelihan, nazar atau tawaf
dikuburan tersebut. Maka yang dilakukan Muhmmad bin Abdul Wahhab adalah
memalingkan manusia dari ziarah kubur bidah dan syirik kepada ziarah syar’i.
4.
Bidah-bidah
Menurut ulama Wahhabi, bidah adalah
segala sesuatu yang tidak ada dasarnya di dalam Alquran dan Hadis, dan tidak ada dalil yang
disandarkan dari petunjuk Nabi Saw. juga petunjuk dari sahabatnya. Adapun
hal-hal yang terkait dengan kebiasaan, sepeti makan, minum, pakain, kendaraan
dan sebagainya, tidak termasuk dalam pembahasan ini.
Di antara pembahasan bidah yang
paling penting dalam paham Wahhabi adalah sebagai berikut:
a.
Acara
peringatan maulid Nabi
Ulama Wahhabi berpendapat bahwa
acara memperingati maulid Nabi adalah bidah dalam agama, karena tidak pernah dilakukan oleh umat
terdahulu, terutama pada masa sahabat. Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat
adalah orang yang paling cinta kepada Nabi, dan jika acara ini baik maka mereka
akan melakukannya.
Termasuk bidah membacakan kasidah-kasidah
dalam acara maulid Nabi dan nyanyi-nyaian yang dicampur dengan salawat kepada Rasul,
zikir-zikir dan bacaan-bacaan lainnya, sementara kebanyakan orang beranggapan
bahwa hal itu termasuk amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, dan itu
merupakan sunnah yang ditetapkan.
Sebelum ulama Wahhabi, Syaikh Ibnu Taimiyah
juga telah mengingkari acara ini, karena ia melihat adanya penyerupaan dengan
orang Nasrani, yang mana mereka menjadikan hari lahirnya Almasih sebagai hari
raya.
b.
Amalan
para sufi
Muhammad bin Abdul Wahhab melihat bahwa tasawuf adalah
manhaj yang rusak, di dalamnya banyak bidah dan praktek-praktek yang berbeda
dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Saw. baik dalam ibadah, pengasingan diri
dan zikir yang menyimpang dari syariat Islam.
Pengingkaran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kegiatan sufi
disebabkan karena hal itu bertentangan dengan Alquran dan Hadis, juga praktek di masa umat terdahulu.
Contohnya: cerita-cerita yang mengerikan seperti bentuk (bai’u) surga
dan ruangan-ruangannya, wali dapat melintasi udara dengan kendaraan dari emas.
Juga anggapan lain, seperti naiknya para wali ke langit dengan ruhnya setiap
saat, ilmu mereka tentang hal gaib yang akan terjadi. Hal-hal seperti inilah
yang menurut ulama Wahhabi yang akan merusak syariah Islam. Namun demikian,
bukan berarti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengingkari kemuliaan para wali.
5.
Amar makruf nahi mungkar
Ulama Wahhabi melihat bahwa amar
makruf nahi mungkar adalah suatu kewajiban bagi setiap yang memiliki kemampuan.
Baik dengan tangannya, lisannya, maupun hatinya, seperti yang tertera dalam Hadis
Nabi saw.
6.
Pengkafiran dan peperangan
Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam salah satu
risalahnya bahwa ulama muslimin telah sepakat untuk mengkafirkan orang yang
mempercayai sebagian ajaran Rasulullah dan mengingkari sebagian yang lain,
halal darah serta hartanya. Dan memurnaikan tauhid kepada Allah Swt. merupakan hal
paling utama yang dibawa oleh Rasullullah, sebab bagaimana mungkin memerangi
yang tidak salat dan tidak membayar zakat, namun tidak memerangi orang yang
mengingkari kemurnian tauhid kepada Allah.
Muhammad
bin Abdul Wahhab menjawab mereka yang
mengatakan bahwa orang yang
sudah mengucapkan la ilaha illa Allah
maka haram mengkafirkannya, dengan menetapkan bahwa tauhid dan pengikhlasannya
kepada Allah Swt. harus disertai dengan hati, lisan dan perbuatan, jika salah satunya terlepas maka dianggap
belum beragama Islam.
7.
Ijtihad dan taklid
Muhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa sebab
berpalingnya umat muslim dari agama Islam yang benar adalah kesibukan mereka
dengan kitab-kitab yang muncul belakangan daripada Alquran dan Hadis Nabi. Hal
itu kembali kepada adanya keyakinan manusia bahwa mencapai derajat mujtahid merupakan
hal yang mustahil.
Muhammad bin Abdul Wahhab meyakini bahwa tidak ada
jalan untuk memperbaiki masalah ini kecuali menghancurkan ikatan taklid dan
kembali kepada menelaah Alquran dan Hadis shahih. Terkait masalah ini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa agama orang
musyrikin dibangun atas beberapa pondasi, salah satu yang paling penting adalah
taklid, itulah kaidah paling besar bagi mereka, sejak dahulu hingga sekarang.
Namun demikian, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menafikan taklid secara
umum. Akan tetapi ia membagi taklid menjadi dua: pertama, dilarang. Kedua,
boleh. Taklid yang dilarang adalah bagi mereka yang mampu mengetahui dalil dan mampu
mengambil kesimpulan darinya, kecuali untuk kondisi yang dianggap darurat.
Adapun orang yang tidak mampu mengetahui hal itu dalam segala urusannya, maka
taklid dibolehkan.
C.
Implikasinya dalam Masyarakat Islam
Syaikh Ibnu Abdul Wahhab adalah
seorang peolopor pembaharuan tulen abad modern terbesar dalam sejarah
kebangkitan Islam. Dimana beliau mampu mengembalikan kemurnian Islam setelah
lama tercemar dengan bidah, khurafat dan takhayul hingga kembali kepada cara
beragama semula di zaman Rasulullah, para sahabat dan tabiin serta tabi’
tabiin.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mampu melakukan dakwah dengan lisan, tulisan
dan pedang sehingga dapat mendirikan negara Wahhabiyah di timur tengah yang berdaulat
dan mapan, yaitu Saudi Arabia. Pada hakikatnya arsitek dari negara tersebut
adalah Syaikh mhammad dan disokong oleh Imam Muhammad bin Su’ud dan anak cucunya. Negara ini dari mulai
berdirinya hingga sekarang masih tetap konsisten menegakkan ajaran Wahhabiyah yang
diajarkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab.[9]
Lebih kurang sepuluh tahun terakhir
ini, kita menyaksikan fenomena menarik di Sumatera Utara. Untuk kasus nasional,
fenomena itu telah menunjukkan ekspresinya sejak tahun 1990. Fenomena yang
dimaksud adalah semakin maraknya orang berpakaian gamis dan jubah dengan lebai
atau sejenisnya dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Demikian juga dengan
wanita-wanita yang menggunakan jilbab yang terjurai sampai sepertiga tubuhnya
disertai pakaian yang cukup longgar dan panjang hingga mata kaki yang terkadang
menggunakan cadar. Ini adalah sebuah realita unik ditengah maraknya kampanye fashion
ala opened body dan hollywood style produk propaganda
westernisasi. Ini tidak hanya persoalan gaya dan budaya tetapi juga merupakan
problema manhaj, yakni paham yang mengharuskan umat untuk mengikut salaf
ash-salih dengan mengikut Alquran dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaf
ash-shalih.[10]
Selain menerbitkan majalah, gerakan
ini telah memunculkan penerbit-penerbit yang menerbitkan dan menerjemahkan
buku-buku berpaham salaf ash-shalih. Lihat saja misalnya penerbit
At-Tibyan, Al-‘Alaq, Al-Qowam dan lain sebgainya. Jamaah salafi juga telah meluncurkan
radio dakwah seperti radio Roja di Pekanbaru.
Langkah strategis lainnya adalah
munculnya pesantren-pesantren salafi di berbagai daerah di Indonesia, misalnya
pesantren Ibadurrahman di Stabat, Langkat, Ma’had as-Sunnah, Sabil al-Mu’minin,
‘Ulun Nuha, dan Ma’had Abu Ubaidah di Medan, Islamic Center bin Baz dan Ma’had
Syaikh Sabilurrahman as-Salafy di Bantul, Yoygakarta. Di luar dua daerah ini
juga mulai bermunculan peasantren salafi.[11]
Kesimpulan
Adapun kesimpulan adalah sebagai berikut:
1.
Sejarah Munculnya Wahabi
Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam yang
dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
bin sulaiman at-tamimi (1115-1206 H / 1703-1792 M)dari Najd , semenanjung
Arrabia. Istilah Wahhabi telah dikenal semasa Ibn Abdul Wahhab, tapi bukan atas
inisiatif dirinya melainkan berasal dari lawan-lawannya. Ini berarti, istilah Wahabi
merupakan bagian dari rangkaian stigma terhadap gerakannya.
2.
Paham Ajaran Wahabi
Dari penjelasan dalam makalah ini dapat kita simpulkan bahwa di
antara ajaran Wahhabi adalah:
Orang yang berusaha memperoleh kasih tuhannya dengan cara
mengunjungi kuburan orang-orang suci bukanlah orang yang bertauhid, tetapi
termasuk orang musyrik.
3.
Perayaan
maulid Nabi di bulan Rabiul awwal dilarang karena termasuk bidah.
4.
Membagi
tauhid menjadi tiga; ilahiyah, rububiyah dan asma wa sifat.
5.
Meminta
syafaat kepada orang meninggal adalah syirik walau kepada Rasulullah saw. . sakalipun,
meski dengan alasan mereka punya kedudukan dan kemuliaan. Yang lebih baik
dilakukan adalah mendoakan mereka.
6.
Tasawuf
adalah adalah manhaj yang rusak, di dalamnya banyak bidah dan cara-cara
yang berbeda dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah saw, baik dalam
ibadah-ibadah, pengasingan diri dan zikir-zikir yang menyimpang dari syariat Islam.
7.
Amar
makruf nahi munkar adalah suatu kewajiban bagi setiap yang punya kemampuan.
8.
Tauhid
dan memurnikannya kepada Allah Swt. . harus disertai dengan hati, lisan dan
perbuatan, jika salah satunya terlepas maka dianggap belum beragama Islam.
9.
Tidak
menafikan taklid secara umum, akan tetapi ia membagi taklid kepada dua:
pertama, dilarang. Kedua, boleh.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin bin Syamsuddin, Zainal. Membedah Akar Fitnah Wahhabi.
2015 . (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol)
Ajiz bin Abdillah bin Baz, Abdul. Al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab. 1411 H. (Riyadh: al-Idarat al-Ammah)
Al-Usaimin, Muhammad bin Salih. Syarh al-Qawaid al-Mustla. 2011.
(Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi)
Abdullah bin Sulaiman, Muhammad. Dakwatu as-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab wa Atsaruha fi al-‘Alami al-Islami
Abdul Wahid, Ramli. Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia. 2016.
(Medan: IAIN Press)
[1]
Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, (Jakarta: Pustaka Imam
Bonjol, 2015), Hal. xii
[2] Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 217
[3] Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 219
[4] Abdul Ajiz bin
Abdillah bin Baz, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, (Riyadh: al-Idarat
al-Ammah, 1411 H), Hal. 25
[5] Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 228
[6] Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 222
[7] Muhammad bin
Salih al-Usaimin, Syarh al-Qawaid al-Mustla, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2011),
Hal. 15
[8] Muhammad bin
Abdullah bin Sulaiman, Dakwatu as-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha
fi al-‘Alami al-Islami, Hal. 60-67
[9] Zainal Abidin
bin Syamsuddin, Membedah Akar Fitnah Wahhabi, Hal. 251
[10] Ramli Abdul
Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, (Medan: IAIN Press, 2016),
Hal. 64
[11] Ramli Abdul
Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, Hal. 70
DITULIS OLEH : Ust. UTSMAN HARAHAP, Lc
Mhs. Program Magister Ilmu Alquran dan Tafsir, FUSI UIN Sumatera Utara
0 comments:
Posting Komentar