BERKENALAN DENGAN TAFSIR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMIN
JAPAR, S.Ag
PENDAHULUAN
Alquran adalah kitab suci yang dijadikan
pegangan dan rujukan umat Islam dan akan kekal sepanjang masa. Tetapi banyak
kalangan umat muslim yang belum dapat memahami isi yang disampaikan Alquran
secara utuh, oleh sebab Alquran bersifat global(umum), maka Alquran membutuhkan
penafsiran.
Atas dasar ini pula beberapa
mufassir Indonesia ingin menafsirkan Alquran guna memberikan penjelasan yang
komprehensif kepada masyarakat Indonesia, diantaranya adalah Kyai
Haji Ahmad Sanusi yang telah melahirkan karya tafsirnya yaitu Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn .
Disamping itu pula menjelang abad
ke-20 dampak Penjajahan bagi kondisi umat Islam di Indonesia terasa sampai
kepada kehidupan beragama masyarakat. Pada akhirnya, rentang tahun 1900-1945
mulai bermunculan gerakan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai
bentuk perlawanan terhadap penjajah. Organisasi atau pergerakan mulai
bermunculan dan mempunyai ideologi yang sangat bervariatif.
Organisasai-organisasi keislaman juga mulai menunjukkan kiprahnya dalam
menentang imperialisme barat. Mulai dari berdirinya Sarekat Islam,
Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlotul Ulama, Persatuan Ulama, Persatuan Umat Islam
dan organisasi keislaman lain yang menolak imperialisme barat di tanah air.
Dari semua organisasi keislaman yang ada ketika itu, memiliki perbedaan
pandangan ideologi, visi atau anggaran dasar yang berbeda.
Situasi ini menimbulkan keprihatinan
dan memicu sejumlah tokoh ulama di Nusantara untuk bergerak mempelopori
perbaikan khususnya kehidupan keislaman masyarakat. Maka Kyai
Haji Ahmad Sanusi merupakan salah satu tokoh yang ingin
melakukan perbaikan-perbaikan keagaman umat islam melalui tulisan-tulisannya.
Makalah ini sekilas memaparkan
tentang keberadaan Tafsir Tamsyiyyat
al-Muslimîn dan penulisnya serta setting masyarakat
pada waktu penulisan tafsir tersebut. Semoga kita dapat belajar dari yang telah dilakukan dan dipersembahkan oleh
para ulama-ulama terdahulu dan dapat mengaplikasikannya dalam konteks kekinian.
A.
Mengenal Penulis Tafsir Tamsyiyyat
al-Muslimîn
Kyai Haji Ahmad Sanusi dilahirkan di Desa Cantayan, Kecamatan Cibadak,
Sukabumi Jawa Barat, pada tanggal 18 september 1888.
Ayahnya bernama Abdurrahim bin H. Yasin (w. 1950), seorang pemimpin Pondok
Pesantren Cantayan Sukabumi.
Sejak usia tujuh tahun sampai lima belas tahun, Ahmad Sanusi menuntut
pengetahuan agama dan keterampilan menulis huruf Arab dan Latin dari ayah kandungnya
sendiri. Sehingga hampir dipastikan selama pendidikan masa mudanya, ia tidak
pernah mengenyam pendidikan umum.
Pada tahun 1903 atas anjuran ayahnya, ia mulai turun gunung untuk berguru kepada
sejumlah ulama di Wilayah Jawa Barat. Secara berurutan Ia belajar kepada K.H.
Muhammad Anwar (Pesantren Salajambe Cisaat), K.H. Muhammad Siddik (Pesantren
Sukamantri Cisaat), K.H. Djenal Arif (Sukaraja), kemudian ke Pesantren Cilaku dan
Ciajag Cianjur, K.H. Sudjai (Pesantren Gudang Tasikmalaya) dan K.H. Syatibi (Pesantren
Gentur). Di tiap
pesantren yang pernah ia singgahi, Ahmad Sanusi hanya belajar antara dua bulan
hingga satu tahun.
Tak lama setelah meninggalkan Pesantren Gentur, pada tahun 1909 Ahmad
Sanusi berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil bermukim
memperdalam ilmu agama di sana. Di Mekkah ia berguru langsung kepada beberapa muftî mazhab Syâfiî,
seperti: pada Syaikh
Alî al-Mâlikî, Syaikh
Alî al-Tayyibî, Syaikh
Junaedi, Syaikh Saleh Bafadil dan Sa’îd Jawani. Di samping itu,
ia juga pernah berguru kepada Syaikh Mahfudz Termas. Selain belajar masalah-masalah agama, ia juga mulai mempelajari buku-buku
tentang modernisme Islam dan juga pelajaran umum seperti fisika.
Bulan Juli 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Pesantren
Cantayan dan membantu pekerjaan ayahnya mengajar para santri. Di sana ia
mencoba memperbaharui kurikulum dengan mulai menerapkan sistem klasikal
termasuk teknik mengajar Pesantren Cantayan. Di samping itu, dengan bekal
keilmuan dan pengalaman hasil pergaulannya yang luas selama di Makkah, ia
sering mengadakan diskusi-diskusi keilmuan seputar persoalan- persoalan yang
berkembang pada waktu itu.
Pengaruhnya di wilayah Sukabumi lebih terasa ketika pada
tahun 1917 ia mulai menerbitkan sebuah buku yang berjudul al-Lu’lu’ al-Nadîd, sebuah kitab yang menguraikan persoalan tauhîd dalam bentuk tanya jawab. Ini adalah buku pertama
yang ditulis oleh Ahmad Sanusi ketika ia kembali ke tanah kelahirannya. Setelah
buku itu beredar luas, Ahmad Sanusi mulai dikenal oleh kalangan di wilayah ini
yang lebih luas lagi cakupannya. Akibatnya banyak para santri yang mulai
membanjiri pesantren ayahnya sehingga kapasitas pesantren itu tidak dapat
menampung lagi. Kemudian ayahnya menganjurkan Ahmad Sanusi untuk mendirikan
pesantren sendiri di daerah Genteng, Sukabumi yang kemudian dikenal dengan
Pesantren Genteng.
Pesantren Genteng bagi Ahmad Sanusi dijadikan tempat untuk merefleksikan
dan memformulasikan ide-ide yang terkandung dalam al-Quran. Maka, tak heran
kalau Ahmad Sanusi menjadikan tafsir sebagai mata pelajaran yang utama di
Pesantren Genteng. Sebelumnya juga di pesantren ayahnya di Cantayan ia memegang
spesialisasi pelajaran tafsir. Keinginanya itu bukan hanya sebatas teori saja, lebih jauh
lagi ia mengimplementasikannya dalam bentuk
aksi.
Misalnya ia berani mengkritisi intitusi-institusi keagamaan yang dibentuk
dan dilegitimasi oleh pemerintah Belanda sebagai lembaga kepenghuluan. Di
antara pemikiran-pemikiaran kritisnya ini adalah: pertama, pendapatnya tentang tidak wajibnya zakat fitrah
dikumpulkan oleh para ‘âmil dari
pekauman untuk kemudian disetorkan kepada na‘ib
dan diteruskan ke penghulu kepala di kabupaten. Kedua Ahmad Sanusi berpendapat mengenai makruhnya tradisi selametan ketiga harinya, ketujuh
harinya, dan seterusnya bagi yang telah meninggal yang menurut asumsinya,
tradisi itu berasal dari pengaruh agama Hindu, bukan murni ajaran Islam. Ketiga, pendapatnya tentang tidak
wajibnya mendoakan bupati dalam khutbah jum‘at.
Pada tanggal 28
Januari 1931 Ahmad Sanusi menerbitkan buku tafsir pertamanya dalam bahasa Sunda
dengan menggunakan huruf Arab (aksara pegon)
yang berjudul Maljâ’ al-Tâlibîn fî
Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, walaupun ia harus berhadapan dengan para
ulama setempat yang masih berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran ke bahasa
selain Bahasa Arab adalah haram hukumnya.
Tindakan antagonis yang dilakukan ulama setempat menjadi
lebih keras lagi ketika ia menerbitkan buku tafsir keduanya yang
mentransliterasi hurup Arab al-Quran kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb
al- ‘ÂlamÎn. Bahkan selanjutnya ia dianggap telah menjadi kafir dan dirinya halal
untuk dibunuh. Tetapi keadaan demikian tidak menyurutkan niatnya untuk
menerbitkan tafsir tersebut. Karena ia berkeyakinan tindakannya itu adalah
benar demi memajukan pemikiran dan apresiasi umat Islam terhadap al-Quran
sebagai dasar hukum pertama dalam agama Islam.
Diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Asy‘âriah atau Ahl al- Sunnah wa al-Jamâ‘ah dalam bidang teologi, dan bermazhab
Syafiî dalam bidang fiqh. Aliran
inilah yang selanjutnya banyak mempengaruhi jalan pikirannya untuk
mengaplikasikan semua kegiatannya sehari-hari termasuk dalam menulis semua
karya yang ditulisnya.
Ide-ide reformasi Ahmad Sanusi, sebenarnya mempunyai kesamaan
dengan yang dikemukakan reformis lainnya yang berdomisili di Jawa Barat,
seperti Persatuan Islam (PERSIS) dan Majelis Ahli Sunnah Cilame (MASC). Namun demikian, Ahmad Sanusi mengatakan bahwa
pintu ijtihâd masih terbuka,
ia sendiri mengaku tidak berijtihâd
dan masih berpegang kepada Imam Mazhab , sehingga ia pun mendapat serangan
dari organisasi diatas. Oleh sebab itu, Ahmad Sanusi pada waktu itu mendapat lawan
dari dua arah. Disatu sisi ia bersebrangan dengan Islam tradisional yang
diwakili oleh fihak pekauman, disisi lain, ia pun membela Islam tradisional
dari gempuran organisasi tajdîd yang
mempunyai jargon kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
D.
Karir dan Aktivitas
Selama bermukim di Makkah, selain belajar dan memperdalam ilmu agama,
Ahmad Sanusi juga mulai berkecimpung dalam dunia politik. Terjunnya di bidang
ini diawali dengan perjumpaannya dengan tokoh Sarekat Islam (SI) di Mekkah yang
bernama Abd al-Mulûk. Setelah memperlihatkan sebagian besar anggaran dasar
organisasi SI, Ahmad Sanusi mengatakan setuju untuk bergabung ke dalam
organisasi tersebut. Sehingga di sana ia mulai bergaul dan bertukar informasi
dengan tokoh-tokoh pergerakan yang ada di sana yang mempengaruhi pola pemikirannya.
Setelah enam tahun mencari ilmu di kota suci Makkah,
akhirmya tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali
ke Sukabumi. Dia langsung ditawari oleh presiden
SI Sukabumi untuk menjadi penasihat
organisasi tersebut. Ia mengabulkan permintaan tersebut tetapi disertai dengan
beberapa syarat.
Namun ia tidak lama duduk sebagai Penasihat SI lokal. Ia mengajukan
berhenti dengan alasan tidak lagi mengerti akan sepak terjang SI. Namun sering berhubungan dengan
SI lewat para santrinya yang menjadi anggota organisasi itu. Dalam rapat-rapat
terbuka SI pun ia masih sering diundang.
Pada tahun 1927 terjadi aksi sabotase pada jaringan kawat telepon di 2
tempat yang menghubungkan kota Sukabumi-Bandung dan Sukabumi-Bogor. Pihak
penguasa sempat langsung mengalamatkan dalang aksi pengrusakan kepada Ahmad
Sanusi. Asumsi penguasa tersebut adalah kejadian itu terjadi dekat
pesantren genteng yang dipimpinnya.
Walaupun pemerintah Imperialisme tidak mampu membuktikan semua tuduhannya
itu, keputusan surat penahanan tetap dikeluarkan juga. Atas pertimbangan yang
diberikan Gubernur Jawa Barat Hanelust; Adviseur
Voor Inlandse Zaken; Procereur
Generaal J.K. Onnen; Raad Van Indie,
J. Van der Marel; dan Direktur kehakiman, D. Rutgers; Gubernur jenderal
memutuskan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke tanah tinggi, Batavia Centrum.
Dipengasingan Ahmad
Sanusi untuk menulis dan menerbitkan buku seperti buku tafsîr, fiqh, tauhîd dan lain-lain. Bahkan dari peristiwa ini
sampai akhir hayatnya lebih dari 404 karya dalam bidang
keagamaan yang telah dihasilkan oleh Ahmad Sanusi.
Selain itu Gunsaikanbu sebagai badan pertahanan negara Jepang telah
mendokumentasikan karya tulis Ahmad Sanusi sebanyak 101 buah sewaktu
pemerintahannya menjajah Indonesia.
Masuknya faham tajdīd (pembaharuan) ke Sukabumi sekitar tahun 1920-an telah membawa
keresahan umum di masyarakat. Terjadinya kelompok yang pro dan kontra antara
keduanya menimbulkan kebingungan kaum awam untuk memilih salah satunya.
Agresifitas kaum pembaru (Mujaddid)
yang mengobrak- abrik nilai-nilai keagamaan yang sudah terlebih dahulu
mempunyai kemapanan di daerah Jawa Barat itu telah membentuk masyarakat
Sukabumi menjadi kelompok-kelompok yang antara satu dengan yang lainnya saling
mempertahankan fahamnya secara egoistis.
Keadaan semacam ini tidak lepas dari monitoring Ahmad
Sanusi yang pada waktu itu sedang ada dalam pengasingan di Batavia untuk
kemudian melontarkan sebuah ide agar para tokoh-tokoh Islam di daerah Priangan
bersatu dalam satu langkah dan pemikiran. Gagasan ini disampaikannya kepada
para tokoh yang sering menjenguknya ke tempat pengasingannya untuk selanjutnya
dimusyawarahkan bersama para tokoh lainnya agar keadaan sosial keagamaan di Sukabumi
menjadi semakin kondusif.
Setelah para kyai yang berdomisili di Sukabumi tersebut
melakukan diskusi dan saling tukar pikiran, maka diputuskan untuk mendirikan
organisasi yang diberi nama al- Ittihâdiyat
al-Islāmiyyah (AII) di Batavia pada bulan November 1931. AII juga mendirikan dan
mengelola sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim piatu, koperasi toko, dan Bait al-Mâl.
Disamping itu, AII juga menerbitkan buku-buku pelajaran agama dan majalah
yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara mereka dan masyarakat.
Majalah atau buletin yang mereka terbitkan yaitu: al-Hidayat al-Islâmiyyah, al-Tablîgh
al-Islâm, al-Mīzân, dan al-Dalīl. Melalui media itu antara lain
mereka menjawab masalah-masalah praktek keagamaan, ekonomi dan sosial.
Pada 1 Agustus tahun 1939, organisasi ini membuka sekolah
yang mengajarkan pengetahuan umum yang berlandaskan Islam dengan kurikulum baru
yang lebih disempurnakan yang diberi nama AII School met den Qoer’an.
Meskipun secara resmi AII menyatakan dirinya Organisasi non politik,
tetapi dalam perkembangannya AII menjadi sebuah organisasi yang menjadi sebuah
organisasi sosial yang paling militan di Jawa Barat. Hal ini terlihat dari
hubungan yang erat antara AII dengan Pasundan, Partindo, dan PNI. Banyak para
tokoh AII yang menjadi pemimpin–pemimpin Partindo dan Gerindo. Sebaliknya
juga banyak para fungsionaris PNI dan Partindo yang mengajar di sekolah-sekolah
AII. Keterlibannya dalam politik terlihat juga dalam tulisan-tulisan mereka,
misalnya: Indonesia Ibu Kita dan Islam dalam Politik Internasional yang
intinya menggugah bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasib serta tanah
kelahirannya, Yang dimuat dalam majalah tengah bulanan Swara Muslim, yang
beredar bulan Juli dan Agustus tahun 1933.
Keterlibatan organisasi AII yang mewarnai dunia politik tersebut lambat
laun membuat khawatir dan curiga fihak Kolonialisme Belanda. Sehingga ada
keinginan dari penguasa setempat agar penahanan Ahmad Sanusi sebagai tokoh
utama AII diperpanjang, supaya tidak
mempertajam pengaruh AII kepada masyarakat.
Namun usul itu kemudian berubah, terutama setelah Gobee memberikan
pandangannya terhadap Ahmad Sanusi dalam surat yang ditulisnya tanggal 5
Pebruari 1934. Menurutnya kekhawatiran pejabat setempat terhadap Ahmad
Sanusi, pada dasarnya dilandasi oleh rasa sentimen pribadi. Menurut Gobee, memang tidak dapat
disangkal bahwa Ahmad Sanusi cukup pintar dan berintelejensia tinggi, sehingga
membuat ahli tafsir sejawatnya menjadi iri. Ditambah lagi dengan keberanian dan
kepercayaan dirinya yang begitu tinggi telah menggoyahkan kyai pekauman serta
ulama lainnya dimata masyarakat. Bagaimanapun menurut Gobee, membawa kembali Ahmad
Sanusi ke daerah Sukabumi harus terlaksana. Sebab dengan kehadirannya di
wilayah itu, justru supaya dia bisa dimintai tanggung jawab atas semua
aktivitas AII.Selanjutnya pemerintah akan mempunyai alasan kuat untuk
mengasingkannya kembali dari daerah itu.
Kurang lebih tiga bulan kemudian, Procureur
Generaal mengirim surat kepada Gubernur Jendral yang isinya setuju dengan
sebagian pemikiran Gobee. Dia setuju Ahmad Sanusi dikirim kembali ke Sukabumi
asalkan tetap dalam status tahanan kota dan tidak boleh kembali ke pesantrennya
di Kampung Genteng. Artinya ketentuan-ketentuan yang berlaku di Batavia atas
tokoh AII itu tetap dipertahankan, hanya tempatnya saja yang dipindahkan ke
kota Sukabumi.dalam hal ini Direktur Kehakiman menyatakan setuju dengan Procureur Generaal. Persetujuan juga
datang dari Raad Van Indie. Atas
dasar surat-surat dan saran itulah akhirnya Gubernur Jenderal mengeluarkan satu
keputusan untuk memindahkan penahanan Ahmad Sanusi ke Sukabumi.
Bulan Agustus 1934 setelah rumah tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan, dia
memboyong kembali keluarganya ke Sukabumi. Karena tidak bisa kembali ke
Pesantennya di Genteng, maka ia memutuskan untuk membeli sebidang tanah di
Jalan Bhayangkara no. 31 Sukabumi. Disana ia mendirikan pesantren yang
dinamakan Pesantren Syams al-Ulûm atau yang kemudian hari lebih dikenal dengan
Pesantren Gunung Puyuh, yang dibuka pertama kali untuk umum pada tanggal 20
Desember 1937.
Sistem pendidikan yang dipakai oleh pesantren ini adalah sistem
pendidikan klasikal yang telah disusun kurikulum serta jenjang pendidikannya,
mulai dari tingkat dasar; tingkat menengah; dan tingkat tinggi dengan lama
pendidikan yang ditempuh masing-masing sekitar 4 tahun. Dengan
demikian maka bentuk dari pesantren ini adalah sebuah perguruan pendidikan yang
bersifat modern.
Pada Mei 1943 ia diangkat menjadi instruktur sebuah
latihan permanen bagi para kyai (Kaikyo
Kyoshi Koshu-co) yang diselenggarakan oleh Jepang dalam rangka konsolidasi
politiknya terhadap Umat Islam Indonesia. Selain itu, salah satu anggota AII
yang diketuai oleh Ahmad Sanusi, yakni R.M. Syamsuddin diangkat menjadi ketua
gerakan Tiga-A (Nipon Pemimpin Asia, Nipon Pelindung Asia dan Nipon Cahaya
Asia) yang bertugas mengorganisir kaum intelektual, kelompok-kelompok Agama,
pejabat pemerintah dan priyayi, dan juga anggota AII lainnya,
yakni H.M. Basyuni dan
K.H. Abdullah bin Nuh yang juga diangkat sebagai perwira tinggi PETA.
AII sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan pada 27 Juli 1942 pernah
dibubarkan oleh Jepang. Namun dengan kemampun diplomasi yang dimiliki Ahmad
Sanusi, ia dapat bernegosiasi dengan fihak Jepang, pada tanggal 1 Pebruari 1944
organisasi tersebut dihidupkan kembali dengan syarat nama Arab al-Ittihâd
al-Islâmiyyah diganti dengan nama
Indonesia, menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Dengan diakuinya PUII
secara resmi oleh Jepang, organisasi ini menjadi anggota istimewa di dalam
Masyumi. Ahmad Sanusi sendiri diangkat menjadi anggota dewan Majlis Syûrâ Masyumi yang diketuai oleh
K.H.Hasyim Asy’ari.
Pada bulan Januari 1944 ia diangkat menjadi Syuu Sangi Kai (dewan penasehat keresidenan Bogor. Tidak lama
kemudian, pada bulan Desember 1944 ia diangkat menjadi Foku Shuchokan (Wakil Residen) Bogor, dimana ia satu-satunya dari
kalangan kyai di Indonesia yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut.
Sedangkan wakil residen yang lain biasanya diambil dari galongan para priyayi
yang berpangkat tinggi.
Kedudukannya yang dekat dengan Jepang telah menjadikannya
bisa duduk dalam keanggotaan Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hal ini pula yang
menyebabkan Ahmad Sanusi diangkat Menjadi anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dan duduk sebagai anggota Komisi Pembela Tanah Air. Ahmad Sanusi mengusulkan
konsep bentuk pemerintahan berbentuk Imâmah
atau republik. Ia menolak bentuk negara ini menjadi kerajaan. Karena
asumsinya, raja biasanya bertindak diktator dan berkuasa penuh.
Ahmad Sanusi wafat di kota Sukabumi senin malam, tanggal 15 Syawwâl 1369 H (1950 M.) dalam usia 63
tahun. Ia dikuburkan di samping pesantren yang didirikannya yakni, Pesantren
Syams al-Ulûm Gunung Puyuh
B. Karya Ahmad Sanusi dalam bidang
Tafsir
Seperti dari pengakuan Ahmad Sanusi sendiri,
karangan-karangannya kebanyakan dicetak di percetakan Sayyid Yahya bin Usman
Tanah, Abang Weltevredan, percetakan Sayyîd Abdullâh bin Utsmân, Petamburan. Disamping kedua percetakan
itu, sebenarnya tidak sedikit karangan-karangan Ahmad Sanusi yang dicetak di
percetakan Harûn bin Alî Ibrâhîm,
Pakojan Betawi, percetakan al-Ittihâd baik yang di Batavia maupun yang di Sukabumi dan percetakan Sayyîd Alî
Idrûs. Adapun Percetakan di Sukabumi yang beralamat di Vogelweg No. 100
Sukabumi (sekarang menjadi jalan Bhayangkara nomor 33 Sukabumi), merupakan
percetakan bagi karya- karya Ahmad Sanusi yang akan dicetak ulang.
Karya pertamanya dalam bidang tafsir adalah Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, (Tempat Panyalindungan Para Santri dina Nafsiierkeun al-Quran [Tempat berlindungnya Para Santri dalam
Menafsirkan al-Quran]). Tafsir ini ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Arab
(aksara pegon). Seperti terlihat dari
judulnya dalam bahasa Arab yang kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Sunda. Tafsir ini terbit ketika
Ahmad Sanusi berada dipengasingan di Batavia. Tidak diketahui secara persis kapan Tafsîr Maljâ’ mulai ditulis. Tetapi jika melihat tanggal, bulan dan
tahun dalam edisi no 1, tafsir ini terbit 28 Januari 1931. sedangkan tempat
pengumpulan bahan-bahan dilakukan di Tanah Tinggi Senen Welverden ketika ia
berada dalam masa pembuangan di Batavia.
Kemudian ketika kembali ke Sukabumi dari masa
pembuangannya di Batavia, Ahmad Sanusi menulis menulis tafsir serupa meski
lebih terlihat bentuk terjemahan al- Quran yang berjudul Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân.57
Selanjutnya, Ahmad Sanusi menerbitkan sebuah karya tafsir lainnya yang berjudul
Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm
Rabb al ‘Âlamîn. Tafsir ini ditulis dalam bahasa melayu berejaan lama dengan huruf
Latin dengan pengalih-aksaraan (Transliterasi) Arab-Latin.
Ada juga karya Ahmad
Sanusi di bidang tafsir yang hanya membahas satu ayat atau sûrah-sûrah tertentu. seperti Kasyf
al- Zunūn fî Tafsīr Lâ Yamassuhû illâ al-Mutahharûn adalah tafsir
terhadap sûrah al- Wâqi‗ah ayat ke-79.58 Adapun tafsir-tafsir yang
membahas sûrah-sûrah tertentu adalah: Tafrîj al-Qulûb
al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrah Yâsîn, (2) Hidâyah al- Qulûb
C. Berkenalan dengan Tafsir TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN
1. Gambaran
Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Tafsir yang bernama lengkap Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsīr kalām Rabb al-‘Alamīn ini adalah karya
tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi sewaktu dia menjalani tahanan kota di
Sukabumi. Dalam tafsir ini tulisan ayat al-Qur‘annya memakai bahasa Arab dan
dibawahnya dicantumkan alat bantu cara baca dengan tekhnik penuliasan
transliterasi Arab-Latin. Terjemah serta uraian global tentang tentang
tafsirnya ditulis dengan hurup Latin dan berbahasa melayu dengan menggunakan
ejaan Van Ophusyen.
Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini adalah sebuah karya
tulis yang memuat tentang tafsir tetapi memakai format seperti majalah atau
buletin yang terbit secara berkala. Hal ini dalam abad itu mungkin sebuah
terobosan baru yakni, sebuah kitab tafsir memakai format sebuah majalah.
Terbitan perdananya dikeluarkan pada 1 oktober 1934 yaitu setelah 2 bulan
status tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Untuk
terbitan pertama tafsir tersebut dicetak di percetakan Masduki dan hanya
beredar di wilayah kota Sukabumi saja. Pada
penerbitan nomor dua bualan November 1934, percetakannya dipindahkan ke
percetakan al-Ittihâd. Sejak diambil
alih oleh percetakan tersebut, Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn dapat beredar luas di wilayah Bandung, Sukabumi
sampai ke Jakarta. Pada terbitan yang ke 9 peredaran tafsir ini sudah mencapai
ke daerah Sumatra Selatan dan mempunyai agen tetap di kota Bengkulu.
Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui berapa jumlah edisi yang
pernah terbit. Muhammad Indra Nazaruddin mencatat Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn memiliki edisi tahun ke-1 no.1 (1934) hingga tahun ke-5
no.53 (1939).Jumlah halaman setiap jilid berkisar 28-35 halaman.
Di dalam cover depan Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn terdapat secara berurutan; nomor terbit, judul
kitab, pengarang, harga langganan, alamat pengarang, agen-agen Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, pengumuman,
dan penerbit. Baru terbit empat nomor telah ada permintaan dari pelanggan agar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn diterbitkan
satu bulan dua kali, tetapi dari pihak penerbit keberatan karena alat
percetakannya tidak memadai. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor enam, tertulis pengumuman bagi
para pelanggan agar mengirimkan uang langganannya dan menjadi pelanggan baru.
Dalam cover depan bagian dalam Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn nomor sepuluh dicantukan surat dari Wedana Batavia yang
mengusulkan agar Tafsir Tamsyiyyat terbit
sebulan empat kali dan dinaikkan harganya. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor
sebelas, tertera pemberitahuan mengenai; agen-agen yang masih punya tunggakan
uang langganan, hanya enam pelanggan yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit satu bulan empat kali. Dalam
cover depan bagian luar Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn nomor tiga belas diberitahukan bahwa yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit
satu bulan empat kali telah mencapai enam belas agen.
2.
Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn pada awal abad ke-20 tidak lepas dari pro kontra dari pihak
―kelompok tradisional. Hal ini terjadi karena
tafsir tersebut berbahasa melayu dan
berhuruf latin serta tafsir ringkasnya yang didobel tulisan al-Quran nya dengan
huruf Latin. Bagi masyarakat Priangan, penerjemahan dan penafsiran Alquran apalagi transliterasi Alquran ke dalam tulisan latin
merupakan hal yang baru untuk masa tahun 30-an.
Walaupun sikap reaktif kelompok tradisional oleh Ahmad
Sanusi, tetapi para pengikut dan murid-muridnya terpanggil untuk merespon sikap
kyai-kyai itu dengan mengusulkan agar Ahmad Sanusi menolak perkataan-perkataan
mereka. Karena celaan- celaan dan hinaan itu kepadanya tidak berhenti juga,
maka Ahmad Sanusi menerima usulan dari pengikutnya dengan memerintahkan kepada
para anggota majlis al-Ittihâd di
Sukabumi dan Bogor supaya mengadakan musyawarah tentang menulis al-Quran dengan
huruf Latin.
Dalam musyawarah itu—diadakan di majlis al-Ittihad
Sukabumi sebanyak dua kali dan di majlis al-Ittihad Bogor sebanyak tiga
kali—diundang kyai-kyai yang mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi dalam
beberapa musyawarah yang beberapa kali
dilakukan tersebut tidak seorang pun dari pihak yang kontra datang, kecuali
ketika musyawarah yang diadakan di Bogor. Adapun yang datang adalah H. Usman
Perak. Pada waktu itu dari pihak yang pro terhadap Ahmad Sanusi dan yang paling
banyak berkomentar adalah Kyai Damanhuri.
Sikap reaktif atas terbitnya Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn tidak terbatas pada perdebatan oral saja, melainkan
sudah pada perseteruan media cetak. Salah satu contohnya adalah terbitnya
sebuah buku yang kontra terhadap Ahmad Sanusi yang ditulis oleh H Mansur yang
berjudul Tasfiyat al-Afkâr.Terbitnya
buku itu mendapat reaksi dan jawaban dari Ahmad Sanusi sendiri dengan
menerbitkan buku yang berjudul Tahzîr al-
Afkâr.
Di samping dari kelompok tradisional, reaksi terhadap Tafsîr Tamsyiyyat al- Muslimîn juga datang
dari pihak pekauman (elit birokrasi keagamaan )‘. Reaksinya pun tidak kalah
sengitnya, misalnya pada 4 Oktober tahun 1936 diadakan diskusi yang
dilaksanakan di Cipelang Sukabumi. Dalam diskusi itu dibentuk sebuah badan
netral yang bernama Comite Permoesjawaratan
Menoelis Qoeran. Dalam diskusi tersebut, tidak hanya dihadiri oleh pihak
pekauman yang mewakili pihak yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
menulis al-Quran dengan huruf latin. Di samping itu, hadir pula kelompok yang
kontra terhadap Ahmad Sanusi lainnya seperti pengurus sekolah Ahmadiyah
Sukabumi, Umar Sanusi (Pengurus al-Rabitah al-Alawiyah), Sayyid Yahya bin
Utsman, Sayyid Ali bin Yahya, Sayyid Ali bin Sahab (ketiganya dari Batavia),
Tubagus Arsyad (Rangkasbitung, Banten), Sayyid Alawi bin Tohir, Sayyid M. Sodik
al-Jufri, Wirasanjaya (Surat Kabar al- Mu‘min) dan H. Fachrurraji (Surat Kabar
al-Mukhtar). Kemudian komite tersebut mengajukan surat permohonan kepada pihak
pemerintah—yang waktu itu Indonesia masih dikuasai
Belanda—agar Ahmad Sanusi dalam status tahanannya diberi izin untuk menghadiri
diskusi yang diadakan itu.
Menurut koran “Perbintjangan” seperti yang dikutup oleh Muhammad Iskandar, diskusi itu menghasilkan
keputusan yang dikeluarkan oleh komite yang menyatakan bahwa transliterasi itu
hukumnya boleh. Selanjutnya
diskusi-diskusi lainnya sering diadakan, tetapi selalu diakhiri oleh keributan.
Seperti misalnya perdebatan yang terjadi di al-Azhâr School Sukabumi pada tanggal 2
november 1936. perdebatan berakhir dengan kerusuhan dan terpaksa dibubarkan
oleh polisi.
Motif-motif pro-kontra dan perbedaan tentang masalah agama merupakan pertarungan
antara ide antara di antara pemuka agama dalam merebut hegemoni sosial politik
di wilayah tersebut. Walaupun fihak yang kontra terhadap penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn terus bertambah, Ahmad
Sanusi tetap menulis tafsir tersebut sampai dia meninggal dunia.
3. Teknis
Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn
Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn disetiap awal sûrah, diurai dengan detail masalah yang berkaitan dengan
surat yang dikaji. Misalnya tentang jumlah ayat, tempat turunnya ayat,
tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam sûrah, nama-nama lain dari surat
tersebut, dan seterusnya. Salah satu contoh pada kasus sûrah al-Fâtihah. Disini Tafsîr Tamsyiyyat menguraikan
nama-nama lain dari surat yang telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW,
seperti: Umm al-Qurân, Al-Sab‘ul al-Matsânî’ dan lain
sebagainya.
Kemudian setelah memberi penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan
surat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini
memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi
ayat dalam setiap surat. Setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat yang
dipenggal, teks arabnya ditulis lalu mencantumkan terjemahannya disamping teks
Arab ayat tersebut. Di bawah redaksi ayat dan teks terjemahnya, diberikan
eksplorasi secara luas atas ayat-ayat yang dikaji tersebut.
Sistematika penyajian tafsir yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsir
Tamsyiyyat adalah runtut berdasarkan tertib
susunan surat yang ada dalam Mushaf
Utmani atau Tartîb al-Mushaf.
Bentuk penyajian yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah
bentuk penyajian global, yang biasanya bentuk ini lebih menitik beratkan kepada
inti dan maksud ayat ayat yang dikaji. Bentuk ini bisa diidentifikasi
melalui model analisis tafsir yang
digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah, sesekali asbâb al-Nuzûl, dan perumusan pokok-pokok
kandungan dari ayat-ayat yang dikaji.
Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn, Ahmad Sanusi terlihat menggunakan bentuk penyajian
rinci ketika menafsirkan (Q.S 2:183) sampai menghabiskan dua puluh dua halaman
penuh. Sementara ia menjelaskan
ayat lainnya hanya menjelaskan secara singkat saja. Hanya saja frekuensinya
lebih banyak menggunakan penyajian global daripada bentuk penyajian rinci.
Dalam bentuk penulisan yang terdapat dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslim di beberapa tempat Ahmad Sanusi
menyebutkan sumber rujukannya, tetapi ia tidak memenpatkannya dalam bentuk
catatan kaki, catatan perut, dan lain sebagainya seperti halnya tatacara
penulisan ilmiah.
Kitab-tafsir yang dijadikan sumber rujukan dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn: Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain
ibn Mas’ud al-Bagawi, Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsir, Tafsîr
Tanwîr al-Miqbâs karya Fairuzabadi,
Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya
Fachruddin al-Razy, Tafsir Madârik al-Tanzîl karya al-Nasafi, Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al-Khâzin, Tafsîr Rûh al-Ma‘anî karya al-Alûsi
Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari
4. Metodologi
Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn
Metode penafsiran yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah
metode tafsir riwayat. Ahmad Sanusi banyak
sekali menjadikan riwayat Nabi maupun sahabat yang dijadikan sebagai sumber
penafsiran dalam menafsirkan ayat al-Quran. Walaupun dibeberapa tempat ia
memakai metode . seperti ketika ia menafsirkan Sûrah al- Taubah ayat 60: Ayat ini menerangkan
tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Menurut Ahmad Sanusi mustahiq menurut ayat ini adalah: pertama, fakir, yaitu orang yang
penghasilannya hanya bisa memenuhi setengah atau kurang dari kebutuhannya
sehari-hari. Kedua, miskin, yaitu
orang yang penghasilannya hanya bisa menutupi lebih sedikit dari setengah dari
keperluannya sehari-hari. Ketiga,
‘âmilîn, yaitu orang yang ditunjuk oleh ulama setempat sebagai pengumpul
dan pembagi zakat kepada para mustahiqnya. Hak sebagai ‘âmilîn ini bisa gugur apabila, (1) para wajib zakat itu membagikannya sendiri
tanpa melalui ‘âmilîn, (2), dengan
mengutif kitab jika ternyata para ‘âmilîn
tersubut adalah arang yang mampu dari segi materi. Keempat, golongan mu’allaf , yaitu
orang yang lemah imannya, dengan ukuran jika dia dibujuk untuk pindah kepada
agama lain, maka kemungkinan besar ia akan menjadi (murtad). Oleh karena itu, zakat tersebut harus diberikan kepadanya
sebagai penguat imannya.
Kelima, budak, yaitu semua budak (orang yang
dibeli) yang sudah perjanjian dengan tuannya buat menebus kebudakannya dengan
cara mencicil. Keenam, golongan ghârimîn, yaitu orang yang berhutang
akibat menyelesaikan perselisihan dua pihak yang muslim. walaupun orang itu
mampu, tetap berhak menerima zakat. Ketujuh,
golongan sabîl Allah, yaitu orang
yang berperang dijalan Allah. Kedelapan,
ibn al-sabîl, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan sedang
berkunjung ketempat pengumpulan zakat, sementara orang tersebut tidak mempunyai
uang tidak mempunyai biaya untuk kembali ketempat asalnya.
Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan sebagai tafsir yang memiliki
nuansa/corak fiqhi. Walaupun dalam cover belakang dari setiap edisi yang dikeluarkan oleh
penerbitnya, tetapi banyak masalah-masalah mengenai fiqh yang diprioritaskan
untuk dibahas lebih mendetail. Sehingga
dominasi nuansa fiqh sangat kental dan terasa dalam Tafsîr Tamsyiyyat.
Contohnya adalah ketika Ahmad sanusi
menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 183, yang membicarakan tentang puasa. Ia
membahas segala aspek tentang puasa tersebut mencapai dua puluh dua halaman,
dan juga ketika menjelaskan Sûrah al-Baqarah ayat 196-198, yang berbicara
mengenai ketentuan haji dan umrah, ia membahasnya sampai menghabiskan empat
puluh tujuh halaman.
Pendekatan Tafsîr Tamsyiyyat al-
Muslimîn adalah pendekatan kontekstual. Ini bisa terlihat ketika ia
menafsirkan surat al- Taubah ayat 60
yang berhubungan dengan masalah mustahiq zakat. Menurut Ahmad
Sanusi, mustahiq zakat yang ada di
pulau Jawa pada masa itu hanya lima golongan di antaranya: fakir, miskin, ,muallaf, gharîm dan Ibnu Sabil. Sedangkan dalam surat al- Taubah tadi yang berhak menerima
zakat ada tujuh golongan sisanya al-riqâb (budak) dan amil. Yang dua
golongan terakhir ini tidak layak menerima zakat karena perbudakan hanya
berlaku pada zaman Nabi. Adapun alasan amil
tidak berhak menerima zakat karena
pada masa Ahmad Sanusi amil zakat
diurus oleh para pihak pekauman yang notabene orang mempunyai jabatan
dan berasal dari keturunan ningrat yang sangat mampu dari segi materi.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa Ahmad Sanusi
menafsirkan ayat dengan menarik maksud ayat ke dalam konteks pembaca (penafsir) dimana ia hidup.Dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn adalah bahasa melayu dengan huruf
latin. Kedua, dari segi paparan penjelasan yang diberikan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn,
pertama-tama diberikan pendahuluan, kemudian menjelaskan nama sûrah,
menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika ada), dan memberikan penjelesan umum seputar
kajian ayat. Kemudian setelah itu menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat,
mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika
ada), dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat, dan yang terakhir
dijelaskan tentang perbedaan qira’ah.
tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn dan
Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî
Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung bernunsa fiqh. Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimīn dalam pendekatannya lebih terlihat cenderung kontekstual.
5. Kelebihan dan Kekurangan
Adapun kelebihannya adalah, pertama,
tafsir ini salah satu pelopor dalam penulisan tafsir yang memakai bahasa
Melayu/Indonesia khususnya didaerah Jawa Barat. Kedua, penulisan tafsir ini dalam pembahasannya menyertakan
transliterasi al-Quran (mendobel huruf Arabnya dengan cara baca latin) yang
memudahkan bagi pembacanya yang tidak bias membaca huruf Arab. Ketiga, tafsir ini diterbitkan dengan
memakai format yang berbeda dari tafsir konvensional lainnya, yakni seperti
format sebuah majalah yang dikeluarkan dalam satuan edisi (satu bulan sekali).
Hal ini pada masa itu, merupakan terobosan baru bagi penulisan karya tafsir di
Indonesia.
Adapun kekurangan tafsir ini adalah, pertama,
tafsir ini dalam tampilannya tidak mencantumkan nomor urut ayat. Hal ini
bisa membuat kesulitan bagi para pembacanya untuk menentukan nomor urut ayat
yang sedang dibahas. Kedua, tafsir ini, dengan format majalahnya, disamping mempunyai
kelebihan, juga mempunyai kekurangan. Dengan bentuk yang diterbitkan tiap edisi
satu bulan sekali ini, bisa mengakibatkan tafsir ini mudah dilupakan oleh para
pembacanya karena sifatnya yang terpisah-pisah, tidak seperti layaknya tafsir
konvensional lainnya. Adapun kekurangan yang ketiga, adalah tafsir ini tidak selesai penulisannya secara
keseluruhan (30 Juz).
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan dalam yang lalu telah dijelaskan bahwa sebuah tafsir
terdiri dari aspek teknis penafsiran serta aspek metodologis penafsiran.
Penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Aspek teknis Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn : pertama, sistematika
penyajian Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah
runtut sesuai dengan urutan tertib ayat dan sûrah seperti dalam Mushaf ‘Usmâni. Kedua, bentuk penyajian yang digunakan adalah rinci
walaupun dalam tempat lain terkadang global. Ketiga, bentuk penulisan yang dipakai oleh tafsir ini adalah non
ilmiah, yakni tidak seperti skripsi atau tesis yang ditulis untuk keperluan
akademik. Keempat, Tafsîr Tamsyiyyat
al-Muslimîn ini mempunyai sifat individual atau ditulis oleh satu orang
penulis, dan yang terakhir, Kelima, tafsir
ini memakai sumber-sumber rujukan buku tafsir klasik.
2.
Sedangkan aspek Metodologis Tafsîr
Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah, Pertama,
Tafsir ini memakai metode penafsiran riwayat. Kedua, Tafsir Tamsyiyyat ini
memiliki nuansa atau corak fiqh, karena pembahasan dalam tafsir tersebut banyak
menitikberatkan terhadap masalah fiqh. Ketiga, pendekatan tafsir yang dipakai
dalam tafsir ini adalah metode pendekatan kontekstual.
DAFTAR
BACAAN
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Study
Tentang Pandangan Hidup Kyai,Jakarta: LP3ES, 1982
al-Dzahabî, Muhammad Hussain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Beirût:
Markaz al-Tsabît al-Arabî, 1989
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992
Yusuf, Yunan, Karakteristik
Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’ān, No. 4, Volume III, 1992.
Hasan Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan K.H. Ahmad Sanusi (Proyek Penelitian
Departemen Agama, 1986).
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta:
Debdikbud, 1982
,
Para Pengemban Amanah; Pergulatan
pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001,
Cet. 1
Mawardi, A.
Mukhtar, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup
dan Perjuangannya, Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Adab UIN Syarif
Hidayatullah, 1985
Nazaruddin, Muhamad
Indra, Analisis Terhadap Tafsir
Tamsyiyyat al-Muslimin, Jakarta: Skripsi Sarjana
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Ada
berbagai pendapat mengenai tahun kelahiran Ahmad Sanusi. Pendapat ini dikemukakan oleh S.
Wanta dalam bukunya K.H. Ahmad Sanusi dan
Perjuangannya, (Jakarta, PBPUI, 1986).
Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 192-205
Iskandar, Para Pengemban Amanah, hlm. 178
Iskandar,
Para Pengemban Amanah, hlm. 177
Lihat, Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, hlm. 14-15