JAPAR, S.AG |
Umar ibn Khattab ra. meraih
tangan Abu Bakar ra. sambil berkata, “Inilah pemimpin kalian, bai’atlah dia!,
Umar membai’atnya dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshor. Kemudian berturut-turut
para sahabat lainnya membai’atnya, termasuk
Ali ibn Abu Thalib ra.
Selepas dibai’at, Abu Bakar mulai
berpidato, dan setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, beliau berkata, “Amma
ba’du, hai sekalian manusia sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan
atas kalian dan aku bukanlah yang
terbaik, maka jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku, dan jika aku bertindak
keliru , maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah
adalah suatu pengkhianatan. Orang yang
lemah diantara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan
haknya kepadanya insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat diantara kalian,
maka dialah yang lemah disisiku hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah
kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian
tersebar ditengah kaum kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum
tersebut. Patuhilah akau selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika
aku tidak mematuhi keduanya, maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku.
Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat, semoga Allah merahmati
kalian.” Demikianlah Ibnu Katsir menuliskan kisah bai’at dan pidato tersebut
dalam kitabnya Bidayah wa Nihayah.
Ada beberapa poin penting yang dapat diambil dari kisah tersebut,
sekaligus menjadi renungan bagi kita. Pertama, bahwa Abu Bakar ra. diangkat
berdasarkan hasil musyawarah yang disertai pembai’atan. Ini merupakan salah
satu cara dan dasar mengangkat pemimpin, yang dicontohkan generasi terbaik
Rasulullah saw. Alquran senantiasa
menjadi acuan dalam kehidupan mereka, baik dalam hal akidah, ibadah, muamalah maupun siasah.
Kedua, keinsayafan dan
ketawadhu’an Abu Bakar ketika menerima jabatan sebagai khalifah yang
pertama. Para sahabat memberikan pilihan
kepadanya, namun dia tidak berbangga atas pilihan tersebut. Pilihan yang jatuh
padanya tidak menjadikan ia berbangga, menganggap dirinya yang terbaik. Muncul
kesadaran bahwa dirinya memiliki kekurangan, sehingga dia bermohon kepada
rakyatnya untuk selalu memberikan advis yang terbaik dalam memimpin. Dia tidak merasakan bahwa jabatan yang
diterima sebagai hasil dari sebuah
pertarungan sehingga harus dirayakan dengan pesta pora.
Ketiga, dalam
kepemimpinannya dia senantiasa mengingatkan
bahwa jihad sebagai pilar kemuliaan Islam. Dia takut semangat jihad
pudar atau hilang dari kau muslimin. Dia sadar tanpa jihad maka umat Islam senantiasa
berada dalam kehinaan. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya, merupakan kalimat yang harus dijaga dan dikawal dengan semangat jihad.
Keempat, setelah dibai’at,
perintah praktis yang pertama sekali disampaikan Abu Bakar ra. adalah
melaksanakan shalat. Kedekatan dengan Allah melalui shalat suatu hal yang
mutlak, karena shalat menjadi wasilah bagi kedamaian dan kesejahteraan.
Masyarakat yang shalat adalah masyarakat yang konsisten dalam menegakkan
kedamaian dan perdamaian. Pemimpin yang shalat adalah pemimpin yang konsisten
untuk senantiasa mencegah kekejian dan
kemungkaran. Shalat mengajak kepada kemenangan.
Ini yang menjadi dasar dan diteladankan oleh Abu Bakar ra. sebagai
khalifah.
Setelah Rasulullah saw, Abu Bakar
memperkokoh dasar-dasar pembentukan masyarakat madani dan penegakan peradaban.
Sehingga muncul peradaban yang mampu menguasai bagian terbesar bumi ini dalam
beberapa abad lamanya. Bukan saja sebagai suatu peradaban yang hanya dinikmati
oleh yang memiliki peradaban itu sendiri, tetapi bahkan mempu mengisnpirasi
munculnya peradaban yang baru dan peradaban baru itu berutang budi kepadanya.
Ketika kita melihat fenomena yang
ada saat ini, dimana jabatan pemimpin sebagai sesuatu yang senantiasa
diidam-idamkan oleh mereka yang ambisius untuk meraihnya. Bahkan hasrat itu
juga dimiliki oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan
kapabilitas untuk menjadi pemimpin di wilayah
yang ingin dia pimpin. Meraih jabatan kepemimpinan menjadi ajang kompetisi. Dengan
segala cara dan strategi digunakan, mulai dari yang halal sampai yang haram.
Bahkan perilaku haram dianggap halal demi jabatan kepemimpinan. Sehingga ketika
itu dapat diraih, mereka merasa wajar untuk merayakannya dengan pesta pora yang
begitu meriah.
Kepemimpinan tidak lagi dianggap
sebagai amanah, tetapi dijadikan sebagai profesi yang sangat menjanjikan untuk
memenuhi kebutuhan, hasrat dan syahwat. Jabatan dianggap sebagai prestise yang
dapat mengangkat status sosial ke tingkat yang lebih tinggi. Jabatan
kepemimpinan menjadi eskalator untuk menaikkan popularitas. Pemimpin tidak lagi
menjadi “khadim” bagi kaumnya.
Banyaknya kasus-kasus seperti
itu, menjadikan jabatan kepemimpinan menjadi sesuatu yang buruk bagi
orang-orang yang masih mempunyai mata hati. Tidak heran kalau ada golongan yang
menganggap bahwa jika siap menjadi pemimpin berarti siap memasuki gorong-gorong
yang sempit dan menyesakkan, penuh dengan kemungkaran atau paling tidak
syubhat. Sehingga keluar “fatwa” bahwa “orang-orang baik janganlah menjadi
pemimpin”.
Kepemimpinan adalah
posisi yang sangat mulia, jika diperoleh dan dijalankan dengan cara yang baik
dan halal. Pemimpin yang adil dapat mengantarkan masyarakat kepada kondisi yang
ideal. Pemimpin yang adil juga dapat mengantarkan dirinya menjadi orang yang
mendapat perlindungan Allah swt. di hari kiamat. Adakah figur itu hari ini?
Pajak Sore, ba’da isya,
17/11/2019
Japar.
0 comments:
Posting Komentar