MODEL KEPEMIMPINAN ABU BAKAR, ADAKAH SOSOKNYA HARI INI?

JAPAR, S.AG


       Umar ibn Khattab ra. meraih tangan Abu Bakar ra. sambil berkata, “Inilah pemimpin kalian, bai’atlah dia!, Umar membai’atnya dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshor. Kemudian berturut-turut para sahabat lainnya membai’atnya, termasuk  Ali ibn Abu Thalib ra.
       Selepas dibai’at, Abu Bakar mulai berpidato, dan setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, beliau berkata, “Amma ba’du, hai sekalian manusia sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian  dan aku bukanlah yang terbaik, maka jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku, dan jika aku bertindak keliru , maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah adalah suatu pengkhianatan.  Orang yang lemah diantara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya insya Allah.  Sebaliknya siapa yang kuat diantara kalian, maka dialah yang lemah disisiku hingga aku mengambil darinya hak milik  orang lain yang diambilnya. Tidaklah  suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian tersebar ditengah kaum kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah akau selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya, maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat, semoga Allah merahmati kalian.”  Demikianlah Ibnu Katsir  menuliskan kisah bai’at dan pidato tersebut dalam kitabnya Bidayah wa Nihayah.
       Ada beberapa poin penting  yang dapat diambil dari kisah tersebut, sekaligus menjadi renungan bagi kita. Pertama, bahwa Abu Bakar ra. diangkat berdasarkan hasil musyawarah yang disertai pembai’atan. Ini merupakan salah satu cara dan dasar mengangkat pemimpin, yang dicontohkan generasi terbaik Rasulullah saw.   Alquran senantiasa menjadi acuan dalam kehidupan mereka, baik dalam hal  akidah,  ibadah, muamalah maupun siasah.
       Kedua, keinsayafan dan ketawadhu’an Abu Bakar ketika menerima jabatan sebagai khalifah yang pertama.  Para sahabat memberikan pilihan kepadanya, namun dia tidak berbangga atas pilihan tersebut. Pilihan yang jatuh padanya tidak menjadikan ia berbangga, menganggap dirinya yang terbaik. Muncul kesadaran bahwa dirinya memiliki kekurangan, sehingga dia bermohon kepada rakyatnya untuk selalu memberikan advis yang terbaik dalam memimpin.  Dia tidak merasakan bahwa jabatan yang diterima  sebagai hasil dari sebuah pertarungan sehingga harus dirayakan dengan pesta pora.
       Ketiga, dalam kepemimpinannya dia senantiasa mengingatkan  bahwa jihad sebagai pilar kemuliaan Islam. Dia takut semangat jihad pudar atau hilang dari kau muslimin. Dia sadar tanpa jihad maka umat Islam senantiasa berada dalam kehinaan. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, merupakan kalimat yang harus dijaga dan dikawal dengan semangat jihad.
Keempat, setelah dibai’at, perintah praktis yang pertama sekali disampaikan Abu Bakar ra. adalah melaksanakan shalat. Kedekatan dengan Allah melalui shalat suatu hal yang mutlak, karena shalat menjadi wasilah bagi kedamaian dan kesejahteraan. Masyarakat yang shalat adalah masyarakat yang konsisten dalam menegakkan kedamaian dan perdamaian. Pemimpin yang shalat adalah pemimpin yang konsisten untuk  senantiasa mencegah kekejian dan kemungkaran. Shalat mengajak kepada kemenangan.  Ini yang menjadi dasar dan diteladankan oleh Abu Bakar ra. sebagai khalifah.
Setelah Rasulullah saw, Abu Bakar memperkokoh dasar-dasar pembentukan masyarakat madani dan penegakan peradaban. Sehingga muncul peradaban yang mampu menguasai bagian terbesar bumi ini dalam beberapa abad lamanya. Bukan saja sebagai suatu peradaban yang hanya dinikmati oleh yang memiliki peradaban itu sendiri, tetapi bahkan mempu mengisnpirasi munculnya peradaban yang baru dan peradaban baru itu berutang budi kepadanya.
        Ketika kita melihat fenomena yang ada saat ini, dimana jabatan pemimpin sebagai sesuatu yang senantiasa diidam-idamkan oleh mereka yang ambisius untuk meraihnya. Bahkan hasrat itu juga dimiliki oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas  untuk menjadi pemimpin di wilayah yang ingin dia pimpin. Meraih jabatan kepemimpinan menjadi ajang kompetisi. Dengan segala cara dan strategi digunakan, mulai dari yang halal sampai yang haram. Bahkan perilaku haram dianggap halal demi jabatan kepemimpinan. Sehingga ketika itu dapat diraih, mereka merasa wajar untuk merayakannya dengan pesta pora yang begitu meriah.
       Kepemimpinan tidak lagi dianggap sebagai amanah, tetapi dijadikan sebagai profesi yang sangat menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan, hasrat dan syahwat. Jabatan dianggap sebagai prestise yang dapat mengangkat status sosial ke tingkat yang lebih tinggi. Jabatan kepemimpinan menjadi eskalator untuk menaikkan popularitas. Pemimpin tidak lagi menjadi “khadim” bagi kaumnya.
      Banyaknya kasus-kasus seperti itu, menjadikan jabatan kepemimpinan menjadi sesuatu yang buruk bagi orang-orang yang masih mempunyai mata hati. Tidak heran kalau ada golongan yang menganggap bahwa jika siap menjadi pemimpin berarti siap memasuki gorong-gorong yang sempit dan menyesakkan, penuh dengan kemungkaran atau paling tidak syubhat.  Sehingga keluar “fatwa”  bahwa “orang-orang baik janganlah menjadi pemimpin”.
       Kepemimpinan adalah posisi yang sangat mulia, jika diperoleh dan dijalankan dengan cara yang baik dan halal. Pemimpin yang adil dapat mengantarkan masyarakat kepada kondisi yang ideal. Pemimpin yang adil juga dapat mengantarkan dirinya menjadi orang yang mendapat perlindungan Allah swt. di hari kiamat. Adakah figur itu hari ini?

Pajak Sore, ba’da isya, 17/11/2019
Japar.

0 comments:

Posting Komentar