OLEH : AHMAD TAHER
(MAHASISWA IAT - FUSI - IAINSU)
BAB l
PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an dalam agama Islam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah bersabda
agar kaum Muslimin senantiasa berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah (hadis)
sebagai bekal untuk keselamatan dunia dan akhirat. Berawal dari sabda Nabi
tersebut, para Sahabat dan generasi
setelahnya senantiasa mencurahkan perhatiannya dalam menyampaikan hadis-hadis Nabi kepada generasi di bawahnya.
Pada mulanya, periwayatan hadis hanya
dilakukan melalui lisan saja, mengingat Rasulullah pernah melarang para Sahabat (yang tidak mendapatkan
izin Nabi) untuk menulis apa saja yang datang dari beliau selain Al-Qur’an
karena ditakutkan percampuran antara
Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Inilah
sebabnya penulisan (pembukuan) hadis belum terlaksana hingga abad ke-2 H.
Mengingat jarak masa antara Nabi dan masa
pembukuan Hadis yang cukup jauh, ternyata ada bebarapa orang atau beberapa kaum
yang dengan sengaja meriwayatkan hadis palsu dan mengatasnamakannya sebagai
hadis Nabi SAW. Berawal dari fakta
tersebut, muncullah beberapa pengkaji/kritikus hadis dari zaman salaf hingga sekarang ini.
Salah satu ulama yang mencurahkan
perhatiannya dalam pengkajian kritik atau otentitas hadis adalah M. Nashiruddin
al-Albani. Semasa hidupnya beliau telah
menulis banyak karya yang berisikan takhrij atau ta’liq
terhadap kitab-kitab hadis. Bahkan kitab Shohih Bukhari yang sudah mendapat
pengakuan dari banyak ulama hadis akan keshahihannya tidak luput dari
kajian/kritikan al-Albani.
Melalui makalah ini, penulis tertarik untuk
memaparkan metode yang digunakan al-Albani dalam mengotentifikasi hadis-hadis
Nabi serta tanggapan para ulama hadis lainnya terhadap hasil pengkajian beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi M. Nashiruddin Al-Albani
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman,
Muhammad Nashiruddin bin Nuh bin Adam al-Najati al-Albani, beliau lebih dikenal
dengan nama al-Albani. Al-Albani lahir pada tahun 1333 H./1914 M. di kota
Ashqodar (Askodera), ibukota Albania pada masa lampau[1].
Beliau berasal dari keluarga yang sederhana dan religius. Dalam suatu riwayat
dijelaskan bahwa ayahnya adalah seorang ulama besar dalam madzhab Hanafi dan
menjadi rujukan masyarakat tentang berbagai permasalahan agama. Tidaklah mengherankan jika al-Albani nantinya menjadi
seorang tokoh agama khususnya dalam bidang hadis.[2]
Pada masa kecilnya, Raja Albania pada saat
itu adalah Ahmad Zagho (Zugu), seorang
raja yang berpaham sekuler, hingga tak jarang muncul kebijakan-kebijakan
kontroversial yang sulit diterima masyarakat. Salah satu kebijakan
kontroversial tersebut adalah larangan penggunaan hijab bagi wanita yang
menyebabkan banyak masyarakat Albania (termasuk keluarga al-Albani) hijrah ke
negara lain seperti Syiria.
Awal pendidikan agama al-Albani dimulai
dengan mempelajari ilmu bahasa Arab di
Madrasah Jam’iyyah al-Is’af al-Khairiyah di kota Damaskus. Setelah
beliau menyelesaikan pendidikan
ibtidaiyahnya, beliau tidak lagi belajar formal namun beliau lebih fokus
belajar ilmu Fiqh dan ilmu-ilmu agama lainnya secara talaqqi kepada
ayahnya dan ulama-ulama yang ada di
Damaskus pada saat itu. Salah satu guru beliau adalah Said al-Burhani, seorang
ulama qiro’ah yang mengajarkan qiro’ah imam Hafs kepada beliau.[3]
Ketertarikan al-Albani pada kajian hadis
bermula pada saat beliau berumur 20 tahun. Pada saat itu, al-Albani sangat
tertarik membaca tulisan-tulisan Rasyid Ridha yang berisikan ktikan-kritikan
terhadap kita Ihya ‘Ulumuddin karya imam al-Gazali, khususnya tentang
aspek tasawwuf dan hadis-hadis dhaif di dalamnya. Selain itu, al-Albani juga
membaca serta mentahqiq kitab Al-Mugni
‘an Hamli Asfar fi Takhrij Ma fi Ihya’
min al-Akhbar, karangan al-Iraqi
mengenai kitab Ihya ‘Ulumuddin yang meneliti hadis-hadis di dalamnya lalu memisahkan antara hadis
shahih dan hadis dhaif.
Menurut beberapa riwayat, al-Albani tidak
pernah tercatat mendapatkan pendidikan secara formal dalam bidang hadis,
melainkan hanya belajar otodidak dengan mengunjungi perpustakaan–perpustakaan
di Damaskus, khususnya perpustakaan al-Zahiriyah[4].
Di perpustakaan tersebut, al-Albani banyak menghabiskan waktu kesehariannya
untuk membaca kitab-kitab agama khususnya bidang hadis. Waktu berkunjung
perpustakaan tersebut adalah mulai pagi sampai siang (dzuhur), namun khusus
al-Albani telah diizikan oleh penjaga perpustakaan membaca di sana bahkan
sampai malam (isya). Hal ini dilakukan al-Albani disebabkan ekonomi yang tidak mendukung
untuk membeli kitab-kitab agama yang tergolong mahal untuk yang kelas
ekonominya seperti beliau. Begitulah kegiatan sehari-hari al-Albani di samping
penghidupannya yang bekerja sebagai tukang reparasi jam yang ilmunya beliau
warisi dari ayahnya.
Al-Albani pernah mengikuti majelis
pengajian umum yang terdapat di sekitar kota Damaskus, diantara guru al-Albani
adalah :
1. Nuh Najati al-Hanafi (ayah beliau). Melalui ayahnya,
al-Albani belajar al-Qur’an Tajwid, sharf, dan ilmu fiqh madzhab Hanafi
2. Sa’id al-Burhani, seorang ulama madzhab Hanafi di
Damaskus. Dengannya, al-Albani mempelajari kitab Maraq al-Falah dan kitab nahwu
Sudur al-Zahab karya Ibn Hisyam, serta kitab balaghah lainnya.
3. Muhammad Raghib al-Tabbakh. Diceritakan
bahwa al-Albani mendapatkan ijazah periwayatan tanpa diminta, sebagai
penghormatan atas kesungguhan al-Albani dalam menggeluti kajian hadis
4. Ahmad ibn Muhammad Syakir, seorang ahli hadis Mesir
pada zamannya. Beliau adalah murid dari Jamaluddin al-Qasimi.
Setelah sekian lama al-Albani menekuni pengkajian hadis, beliau mulai
menuliskan beberapa artikel yang berisikan kritik-kritik terhadap hadis-hadis
di kitab Ihya’ ‘Ulumiddin dan beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab
hadis, dari sinilah nama al-Albani mulai dikenal bahkan sampai ke luar negeri
seperti Arab Saudi, India, Maroko, dan sebagainya. Ia mulai diundang
oleh lembaga-lembaga pengkajian hadis. Pada akhirnya, di tahun 1961, beliau
mendapatkan gelar profesor hadis dari Islamic University of Madinah.[5]
Al-Albani pernah mengajar hadis dan
kajiannya di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun.
Setelah itu ia pindah ke Yordania. Di Yordania, beliau dimintakan oleh kerajaan
untuk mengajar dan menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada fakultas pasca
sarjana di sebuah perguruan tinggi di Yordania. Selain itu, beliau juga mengajar kajian hadis
di damaskus. Banyaknya majelis yang diampu oleh al-Albani, tidak mengherankan
jika muridnya juga sangat banyak, diantaranya adalah:
1. Ihsan Ilahi Zahir, penulis kitab Bayan ‘Aqidah al-Syi’ah
al-Imamiyyah
2. Hijazi Muhammad Syarif, beliau adalah seorang
pentahqiq hadis
3. Zuhail ibn Muhammad al-Syuwais, pentahqiq
kitab Haqiqah al-Shiyam karya Ibn Taimiyyah.
4. Muhammad ‘Aid ‘Abasi, penulis kitab Bid’ah
Ta’ashshub al-Madzhabi.
Semasa
hidupnya, al-Albani telah menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan.
Bukanlah hal yang mustahil jika akhirnya beliau menghasilkan banyak tulisan
baik berupa tahqiq, ta’liq, takhrij, dan ikhtishar. Jumlah
karya tulisnya menurut beberapa pendapat berkisar 117 buku, diantaranya:
1.
Silsilah al-Ahadits al-Shahihah wa Syaiun min Fiqh wa
Fawa’idih
2.
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah wa Al-Maudu’ah wa Atsaruha al-Sayyi’
fi al-Ummah
3.
Irwa’ul Ghalil
4.
Shahih wa Dhaif Jami’ al-Shaghir wa Ziyadatuh
5.
Dhaif Adab al-Mufrad
6.
Shifah Shalah al-Nabi,
7.
Muhktashar Shahih al-Bukhari
8.
Mukhtashar Shahih Muslim
9.
Dan lainnya.
Di akhir hayatnya, al-Albani menderita
penyakit animea serta gangguan hati dan ginjal. Meskipun dalam keadaan
terbaring ketika sakit, beliau masih menyempatkan diri untuk mengkaji hadis,[6]
begitulah kesungguhan beliau dalam menekuni ilmu, khususnya dalam bidang hadis.
Tepatnya pada sabtu 01 Oktober 1999M., beliau menghembuskan nafas terakhirnya
di rumah sakit. al-Albani tutup usia 85 tahun dan dikebumikan di kota Oman,
Yordania, tepatnya setelah isya’ pada hari wafatnya.[7]
B.
Metode Otentifikasi Hadis Al-Albani
Bila kita mencermati tulisan al-Albani dalam mengotentifikasi hadis, maka
kita akan menemukan bahwa metode yang beliau pakai adalah sama dengan metode
yang dipakai oleh ulama-ulama hadis lainnya, yaitu dengan: [8]
1.
menganalisa para rawi hadis dengan berpegang pada kitab-kitab
tarajum (kamus-kamus biografi). Dalam
hal ini, yang paling ditekankan al-Abani adalah ketsiqohan para
rawi serta kemuttasilan dalam periwayatannya.
2.
Apabila ada hadis yang shahih/hasan yang matannya sama dengan
sebuah hadis yang kualitasnya dhaif, maka hadis shahih/hasan tersebut tidak
bisa jadi penguat bagi status hadis yang lemah, akantetapi beliau lebih condong
kepada mentakwil makna dari hadis shahih/hasan tersebut.
3.
Hadis yang sanadnya dhaif, berarti hadisnya juga
dhaif, sehingga penafsiran apapun terhadap matan hadisnya tidak lagi relevan /
penting bagi al-Albani
Menurut Kamaruddin Amin, metode Al-Albani dalam mengotentifkasi hadis
bukanlah suatu yang baru juga bukan inkonsisten, sebagaimana yang dilontarkan
para pengkritiknya. Al-Albani tidak melenceng sedikitpun dari metode yang
dipakai kesarjanaan Muslim tradisional, walau hasil dari pemikirannya berbeda
dengan banyak pengkaji hadis yang turut berpartisipasi dalam mendiskusikan
masalah ini.[9]
Untuk lebih lanjut, penulis akan memaparkan
hasil kajian Kamaruddin Amin terhadap pendhaifan al-Albani terhadap sebuah
hadis yang terdapat pada kitab Shahih Muslim :
لا تذبحوا الا
مسنة الا ان يعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن
”Jangan kalian menyembelih
kuraban kecuali seekor sapi yang cukup umur, kecuali kalau sulit bagimu, maka
seekor domba”.[10]
Menurut al-Albani,
status hadis di atas adalah dhaif, disebabkan salah satu perawinya adalah Abu
Al-Zubair dari Jabir ibn ‘Abdillah. Menurut al-Albani, riwayat Abu Al-Zubair dari Jabir tidak
bersambung dengan alasan:
1.
Para Kritikus hadis menilai Abu al-Zubair sebagai
mudallis
2.
.Abu al-Zubair tidak menjelaskan secara eksplisit
bahwa apakah mendengar langsung hadis tersebut dari Jabir atau tidak, namun ia
hanya menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut dengan lafadz ‘an (dari).
Al-Albani menjelaskan,
sudah konsekuensi ulama hadis bahwa hadis yang diriwayatkan oleh seorang
mudallis dengan menggunakan lapadz ‘an
(tidak menjelaskan secara eksplisit cara penerimaan hadisnya), maka hadis
tersebut dianggaf dhaif atau lemah. Inilah yang menjadi alasan al-Albani dalam mendhaifkan hadis tersebut.
Al-Albani menyimpulkan
bahwa kebenaran setiap hadis yang diriwayatkan oleh abu al-Zubair dari Jabir
atau dari orang lainnya yang menggunakan lafadz ‘an dan sejenisnya harus ditunda. Dengan
kata lain, ketergantungan pada hadis tersebut harus ditunda sebelum cara
penerimaanya jelas bahwa ia meriwayatkan hadis secara langsung.
Bila kita menelaah kitab-kitab biografi
periwayat hadis, maka kita akan
menemukan bahwa sebenarnya penilain para ulama terhadap status abu al-Zuhri
dalam meriwayatkan hadis terbagi dua, ada yang menganggapnya tsiqoh ada
juga yang menganggapnya dhaif. Adapun ulama yang menilainya sebagai periwayat
yang tsiqoh adalah Ibnu Ma’in, al-Nasa’I, Ibn al-Madini. Al-Razi bahkan
menjelaskan bahwa hadis dari Abu al-Zubair bisa dijadikan sebagai hujjah. Ibn
‘Adi menganggapnya sebagai perawi terpercaya dengan alasan bahwa imam Malik
telah meriwayat sejumlah hadis dari Abu al-Zubair, dan imam Malik diketahui
adalah seorang yang selektif dalam meriwayatkan hadis dan tidak meriwayatkan
hadis kecuali dari orang yang terpercaya.
Bila kita teliti lebih dalam, hadis di atas
diriwayatkan dalam kutubus al-Sittah sebanyak 360. Pertanyaannya adalah: apakah
ulama-ulama penyusun Kutub al-Sittah tidak mengetahui status Abu al-Zubair sebagai mudallis? atau
mereka mempunyai alasan penguat lainnya yang membuktikan bahwa riwayat abu
al-Zubair tersebut bisa diterima.
Hadis diatas ternyata juga diriwayatkan oleh
‘Uqbah ibn ‘Amir, dan juga diriwayatkan oleh Mujasyi ibn Mas’ud yang keduanya
dinilai tsiqoh (shahih) oleh para ulama hadis, termasuk al-Albani. Namun al-Albani
mentakwilkan kedua hadis tersebut dengan menjelaskan bahwa kebolehan
penyembelihan domba berumur satu tahun hanya berlaku khusus bagi ‘Uqbah saja.[11]
Menurut Kamaruddin Amin, seorang sarjanawan
barat bernama Motzki membahas secara rinci signifikansi terminologi periwayatan
(Al-Tahamm wa al-Ada’) pada masa awal Islam. Dengan mengalisis riwayat Ibn
Juraij (W. 114M/732H). Motzki
berkesipulan bahwa terminologi isnad (“samia” dan yang serupa, atau “an” dan
sejenisnya) tidak digunakan secara konsisten pada masa mereka
(Sahabat/Tabi’in), dengan kata lain, kata-kata tertentu digunakan secara
bergantian. Tampaknya kesimpulan Motzki tentang riwayat Ibn Juraij dari ‘Atho’
juga berlaku pada kasus Abu al-Zubair – Jabir. Ini berarti, Abu al-Zubairpun
mungkin menggunakan terminologi isnad secara inkonsisten.[12]
Dengan demikian, terminologi-terminologi tersebut (al-Tammul wa al-Ada’
) tidak berlaku sebagai kriteria keshahihan hadis bagi para ulama abad pertama
hijriyah. Artinya, para perawi di abad
tersebut tidak secara sengaja dan tidak sadar menggunakan beragam terminologi
tersebut sebagai cara menentukan tingkat keshahihan dan tidaknya sebuah hadis.
C.
Respon Ulama
Hadis terhadap pemikiran Al-Albani
Semasa hidupnya, al-Albani sangatlah produktif
dalam menghasilkan karya tulis. Diriwayatkan bahwa beliau telah berhasil
menuliskan kurang lebih 117 tulisan. Bila kita teliti lebih lanjut, maka kita
akan menemukan banyak pemikiran beliau yang berseberangan dengan pemikiran para
ulama lainnya, khususnya dalam kajian penetapan status hadis. Berdasarkan fakta
ini, maka muncullah banyak komentar para ulama hadis yang membantah serta
menolak pemikiran beliau disamping ada juga ulama yang memuji akan usahanya.
Diantara ulama yang kontra dengan pemikiran beliau adalah:
1.
Syaikh Hasan Ali al-Segaf yang mengatakan dalam bukunya Tanaqudh
al-Albani al-Wadhihah, bahwa banyak
sekali (sekitar 1.200) pemikiran al-Albani yang kontradiksi dan inkonsistensi .
2.
Abdullah al-Harari, seorang ulama hadis negara Syiria yang
menjelaskan kesalahan-kesalahan al-Albani melalui bukunya yang berjudul Tabyin
al-Dhalah al-Albani.
3.
Abdullah al-Ghumari, ulama hadis asal Maroko
4.
Syaikh Ramadhan al-Buthi juga mengkritik al-Albani melalui bukunya
yang berjudul Al-Lamadzhabiyah Akhtar Bid’ah Tuhadiduhu al-Syari’ah
al-Islamiyyah
5.
Mahmud Sa’id Mamduh
mengarang kitab al-Ta’rif bi Awham man Qassama al-Sunan ila Shahih wa
Dhaif yang berisikan kritikan terhadap al-Albani ketika menshahihkan juga
mendhaifkan hadis-hadis pada kitab sunan
6.
KH. Musthafa Ya’qub, guru besar Hadis serta mantan
imam besar masjid al-Istiqlal, Jakarta
7.
A. Shihabuddin. Beliau mengkritik al-Albani lewat bukunya yang
berjudul Membongkar Kejumudan Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahabi
Adapun
ilmuan yang memuji pemikiran al-Albani
diantaranya:
1.
Muhammad Raghib al-Tabbakh, seorang ulama hadis
sekaligus sejarawan di kota Halab (Aleppo). Berdasarkan pengakuannya
terhadap keilmuna hadis al-Albani, al-Tabbakh memberikan ijazah sekaligus sanad
yang bersambung sampai imam Ahmad ibn Hanbal
2.
Zaid ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Fayyadh, mantan guru besar di Jami’ah
al-Imam Muhammad ibn Su’us al-Islamiyyah, beliau mengatakan bahwa al-Albani
adalah guru besar dalam bidang hadis pada abad
ini
3.
Dr. Amin al-Mishri, mantan kajur pascasarjana di Jam’iyah al-Islamiyyah. Beliau
berkata bahwa termasuk kemalangan dunia adalah bahwa para doktor seperti beliau
menjadi guru besar bidang hadis di perguruan tinggi, padahal orang seperti
beliau masih layak menjadi murid al-Albani
4.
Dr.
Syubhi Ash-Salah, mantan kepala
bidang Hadis di Universitas Damaskus
5.
Dr. Ahmad al-Asal, kepala studi islam di Universitas Riyadh
Dari
sekian banyak kritikus terhadap pemikiran al-Albani, menurut penulis , pemaparan A . Shihabuddin termasuk yang
cukup mengherankan. Beliau memaparkan bahwa:
1.
Al-Albani sendiri secara -tidak langsung- pernah mengakui kecerobohannya dalam
menilai hadis. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab Taraju’ al-Allamah al-Albani
fi ma Nashsha ‘alaih Tashhihan aw Tadh’ifan. Dalam kitab ini, al-Albani
mengakui keslahannya dalam menshahihkan serta mendhaifkan hadis yang berjumlah
sebanyak 621 hadis
2.
Al-Albani mendapatkan kritikan dari ulama yang sefaham dengannya, yaitu
Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin. Dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-‘aqidah
al-Wasathiyah, al-Utsaimin menjelaskan:
“Dewasa
ini, ada seorang laki-laki (al-Albani) yang tidak memiliki ilmu agama sama
sekali yang mengatakan bahwa adzan jum’at yang pertama adalah bid’ah,
karena tidak dikenal pada zaman Rasul, dan kita harus membatasi pada adzan
kedua saja. Kita katakan kepada laki-laki tersebut, bahwa sesungguhnya sunnah
Utsman RA. adalah sunnah yang harus
diikuti apabila tidak menyalahi sunnah Rasul. Dan tidak ditentang oleh
seorangpun dari kalangan Sahabat yang lebih mengetahui dan lebih punya Ghirah
terhadap agama Allah dari pada dia (al-Albani). ‘Utsman termasuk Khulaf
al-Rasyidin yang memperoleh petunjuk, dan diperintahkan Rasul untuk diikuti.”[14]
BAB III
KESIMPULAN
Muhammad Nashiruddin al-Albani ibn Nuh ibn
Adam al-Najati merupakan ulama kontemporer kelahiran Albania, yaitu salah satu
negara bagian barat semenanjung negara-negara balkan di eropa. Sewaktu beliau
masih kecil, keluarga beliau pindah ke negeri Syiria disebabkan
kebijakan-kebijakan pemerintah (kerajaan) yang mengarah kepada faham sekuler,
dan untuk menjaga kesucian pemahaman agama, ayahnya memutuskan untuk hijrah ke
Negeri Syiria, tepatnya ke kota damaskus.
Al-Albani mulai tertarik mendalami kajian
hadis ketika berumur 20 tahun. Menurut beberapa riwarat, al-Albani hanya
belajar otodidak di beberapa perpustakaan yang ada di kota Damaskus, tanpa melalui bimbingan seorang guru,
kemudian hal inilah yang menjadi salah satu celah bagi pengkritiknya dalam
menjatuhkan atau menyalahkan pemikiran-pemikiran beliau yang notabene
berseberangan dengan pemikiran para pakar hadis lainnya.
Adapun metode otentifikasi hadis oleh
al-Albani pada dasarnya tidak ada perbedaan yang siknifikan dengan pakar hadis
lainnya, yaitu dengan menganalisa rentetan sanad hadis dengan berpegang kepada
kitab-kitab biografi hadis. Menurutnya, hadis yang sanad/periwayatnya
tidak tsiqah, maka matannya otomatis tidak perlu dikaji lagi, karna
status hadis tersebut sudah otomatis menjadi dhaif. Di samping itu, al-Albani
juga terkesan tidak menerima hadis yang serupa (tapi sanadnya berbeda) sebagai
syahid untuk meningkatkan keabsahan hadis yang dianggap dhaif olehnya. Dengan
demikian, banyak hasil tahqiqan hadis beliau yang bertentangan dengan
pemikiran ahli hadis lainnya.
Pro dan kontra atas karya dan pemikiran
beliau tidak pernah surut. Dari beberapa hasilpenelitian menunjukkan bahwa
al-Albani tidak konsisten dalam penetapan status hadis. Oleh karena itu, hasil takhrij
al-Albani sudah selayaknya dikaji ulang guna melihat metode penetapan kualitas
hadis yang beliau gunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Bakar
,Umar. Nashiruddin al-Albani dalam Kenangan, terj. Abu Ihsan al-Maidani,
(Solo: At-Tibyan , 2000).
Ibn Bamualim
, Mubarak. Biografi Syaikh al-Albani; Mujaddid dan ahli Hadis Abad ini.
(Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2002).
Al-Gharib,
Abdul Basith ibn Yusuf. Koreksi Ulang Syaikh al-Albani, terj. Abd.
Al-Munawwar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Al-Qusyari,,
Muslim ibn Hajjaj. Al-Jami’ al-Shahih. (Dar kutub al-‘Arabiyah).
Al-Sadhan ,
Abdul Aziz. al-Imam al-Albani,(Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1986).
Al-Syaibani,
Muhammad Ibrahim. Hayah al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanau al-‘ulama’ ‘Alaih,
(Maktabah al-Saddawa , 1987).
Amin.,
Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:
Hikmah, 2009).
Audah ,
Athiyah. Shafahat Baidha min Hayati al-Albani, (Yaman: Dar ‘Atsar,
2001).
Nafisatulmuawwanah.blogspot.com/2015/10/normal-0-false-in-x-none-ar.html?m=1
Shihabuddin,
A. Membongkar Kejumudan menjawab
Tuduhan-tuduhan Salfi Wahabi, (Jakarta: Noura Books, 2014).
[1] Muhammad Ibrahim al-Syaibani, Hayah
al-Albani wa Atsaruhu wa Tsanau al-‘ulama’ ‘Alaih, (Maktabah al-Saddawa ,
1987), hlm. 44
[2]. Mubarak bin Bamualim, Biografi Syaikh
al-Albani; Mujaddid dan ahli Hadis Abad ini. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i,
2002), hlm. 12
[3]. Abdul Basith ibn Yusuf al-Gharib, Koreksi
Ulang Syaikh al-Albani, terj. Abd. Al-Munawwar, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), hlm. 23
[4]. Umar Abu Bakar, Nashiruddin al-Albani
dalam Kenangan, terj. Abu Ihsan al-Maidani, (Solo: At-Tibyan , 2000), hlm.
26
[5].Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 71.
,
[6] . Athiyah Audah, Shafahat Baidha min
Hayati al-Albani, (Yaman: Dar ‘Atsar, 2001), hlm 93
[7]. Abdul Aziz Al-Sadhan , al-Imam al-Albani,(Riyadh:
Maktabah Al-Ma’arif, 1986), hlm.292
[8]. Dr.
Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 73-75
[9]. Dr.
Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 73
[10]. Muslim ibn Hajjaj al-Qusyari, Al-Jami’ al-Shahih. (Dar
kutub al-‘Arabiyah), Hadis No. 1374/1955.
[11]. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji
Kembali…, hlm. 75
.
[12] Dr.
Phil. Kamaruddin Amin, MA., Menguji Kembali…, hlm. 78
[13]Nafisatulmuawwanah.blogspot.com/2015/10/normal-0-false-in-x-none-ar.html?m=1,
diakses pada tanggal 09 Oktober 2018.
[14] A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan
menjawab Tuduhan-tuduhan Salfi Wahabi, (Jakarta: Noura Books, 2014), hlm.
18, 22.
0 comments:
Posting Komentar